Tulisan ini akan menguraikan soal toleransi dalam Al-Quran. Khususnya yang tertera dalam Surat Al-An’am ayat 108, yakni topik tentang larangan memaki sesembahan orang lain. Dan Surat Thaha ayat 44 yang berbicara soal cara dan sikap dakwah yang santun. Kita sendiri tahu bahwa Indonesia memiliki beragam suku, agama dan budaya. Hal ini mengaharuskan kita menjunjung tinggi rasa dan perilaku toleransi. Keberagaman yang dimiliki Indonesia di satu sisi bernilai positif karena ia merupakan kekayaan Indonesia. Di sisi lain, ia rawan menjadi “alat” pemicu konflik horizontal. Salah satu alat yang sering digunakan sebagai “bahan” justifikasi konflik adalah perbedaan agama. Dalam beberapa tahun belakangan konfik antar agama menjadi isu yang hangat baik secara Nasional maupun Internasional.
Meskipun bila ditelisik lebih dalam, biasanya akar kasus konflik antar agama adalah perseteruan yang terjadi antar individu/kelompok “beragama”, bukan antar agama. Ingat, ketika individu/kelompok “beragama” melakukan sesuatu yang menyimpang, (radikalisme atau intoleransi misalnya) ia tidak bisa menjadi representasi agama yang dianut. Sehingga tidak bijak jika kemudian mengeneralisir bahwa agama yang dianut individu tersebut merupakan agama yang mengajarkan radikalisme dan intoleransi. Hal yang tidak tepat adalah perilaku dan pemahaman individu/kelompok terhadap ajaran agamanya, bukan agama yang dipeluknya. Karena saya yakin, jika individu mempelajari agama secara baik dan benar, maka ia akan menebarkan perdamaian kepada sesama. Jadi, jangan permasalahkan agamanya, tapi salahkan individunya. Baca Juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran Dalam Islam, sikap toleran terhadap penganut agama lain banyak diajarkan dan dianjurkan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Salah satu ajaran toleransi dalam Al-Quran adalah larangan memaki sesembahan orang lain. Ini kita lihat dalam surat al-An’am ayat 108:وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q.S Al-An’am Ayat 108)
Ayat di atas menjelaskan bahwa larangan memaki sesembahan orang lain adalah dilarang. Sebagai hamba yang tidak ingin Tuhannya dicela, maka larangan memaki sesembahan orang lain ini sangat dianjurkan oleh Al-Quran. Beberapa tahun terakhir terdapat fenomena orang-orang non-Muslim masuk agama Islam. Tentu kita senang dan bersyukur, karena saudara Muslim semakin banyak dan Islam makin syiar. Namun ada beberapa hal yang disayangkan, sebagian mereka kemudian diberikan mimbar berbicara di depan jamaah. Apakah hal ini salah? Tentu saja tidak. Menurut saya mimbar adalah tempat umum, siapa saja boleh berada di sana. Hal yang kurang tepat adalah ketika sudah diberikan mimbar kemudian ia menghujat agama yang dianut sebelumnya. Ini yang menjadi problem, karena bisa saja hal ini menjadi penyebab konflik antar agama.
Padahal secara jelas dalam ayat di atas Allah melarang umat Islam memaki-maki sesembahan non-Muslim. Dalam Tafsir Bahr al-Muhid meskipun ayat tersebut turun berkenaan dengan kasus tertentu ketika Nabi Muhammad masih hidup akan tetapi ia masih tetap berlaku sampai saat ini. Ajaran Islam secara tetap dilarang menghina dan memaki-maki sesembahan non-Muslim.
Hal tersebut karena ketika kita memaki sesembahan non-Muslim dengan dalih menyampaikan kebenaran agama, dikhawatirkan dampak yang ditimbulkan menjadi buruk, mereka malah memaki-maki Allah swt yang kita sembah dengan membabi-buta dan ini merupakan impact yang tidak baik. Baca Juga: Inilah Rambu-Rambu Toleransi Beragama Menurut Al-Quran: Perbedaan Adalah Keniscayaan Al-Maraghi dalam tafsirnya menyatakan “sesuatu yang meminbulkan dampak tidak baik, maka sejatinya ia pun buruk”. Toh, kebaikan dan perkara haq bisa disampaikan dengan baik dan lemah lembut tanpa memaki-maki. Anda tentu tahu Fir’aun, penguasa Mesir yang luar biasa kejamnya. Namun ternyata ketika Allah mengutus Nabi Musa as dan Harun as untuk memperingatkan Fir’aun dan menyampaikan kebenaran kepadanya. Allah swt berfirman :
فَقُولَا لَهُۥ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَىٰ
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (Q.S Thaha Ayat 44)
Kepada Fir’aun yang sedemikian kejamnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa as dan Harun as untuk berlemah lembut. Terus masihkan kita akan menggunakan bahasa menghujat ketika menyampaikan kebenaran? Wallahu a’lam bi al-Shawab