BerandaTafsir TematikMakna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama

Makna Fahsya’ dan Munkar dalam Al-Qur’an, Mirip Namun Tak Sama

Al-Qur’an sebagai mukjizat nan agung dengan upper class literature memang sudah tidak dapat diragukan lagi eksistensinya. Berbagai bentuk derivasi kata dengan makna nan elok yang dikandung, seakan tak ada tandingannya. Maka, tugas terbesar kita sebagai umat Islam adalah menggali dan mendalami lebih jauh kandungan makna tersebut agar semakin mempertajam pemahaman kita terhadap kitab Allah ini, sekaligus menguak pesan-pesan tersirat di dalamnya.

Dari sekian ribu kata yang ada dalam Al-Qur’an, satu hal yang menjadi pokok kajian tulisan ini ialah perbedaan kandungan makna fahsya’ dan munkar. Dua lafaz ini sering kali disalahartikan hingga menimbulkan kerancuan dan misunderstanding di kalangan awam khususnya. Pasalnya, banyak yang menganggap bahwa dua istilah ini memiliki arti serupa. Padahal, jika kita telisik lebih lanjut ternyata menyimpan dua perspektif makna yang sedikit berbeda. Lantas, seberapa jauh perbedaan makna keduanya?

Makna dan derivasi kata fahsya’ dalam Al-Qur’an

Lafaz fahsya’ dengan kata dasar yang terdiri dari tiga huruf, yaitu fa’, ha’, dan syin memiliki arti amat buruk, amat kejinya sesuatu, serta berbagai hal buruk yang melebihi batas. Ini sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Zakariyya dalam Mu’jam al-Maqayyis fi al-Lugah (Ibnu Zakariyya, 1994, hal. 827). Berbagai macam derivasinya disebutkan sebanyak 24 kali pada 23 ayat yang berbeda di dalam Al-Qur’an (Fauzan, 2018, hal. 66). Kata ini termasuk kategori ism dari akar kata fahusya dengan bentuk jamaknya, fahisyah dan fawahisy. Baik fahsya’ ataupun fahisyah, keduanya sama-sama berbentuk mashdar

Secara etimologi, kata fahsya’ dimaknai sebagai segala bentuk perilaku yang dianggap sangat buruk dalam perspektif agama, kultur, naluri kemanusiaan, dan akal sehat, serta melibatkan ucapan maupun perbuatan. Sedangkan secara istilah, fahsya’ lebih mengacu pada kekejian perilaku dan perkataan, kecurangan, pengingkaran syariat, atau sejenisnya. Bisa juga dikatakan bahwa fahsya’ adalah tindakan yang keluar dari jalur norma kemanusiaan dan hukum, serta ketetapan Allah (Fauzi, 2020, hal. 274-275).

Adapun dalam kitab Al-Mu’jam al-Wasit diterangkan bahwa kata fahsya’ beserta derivasinya memiliki arti berbagai hal yang qabih (sangat buruk, kotor, menjijikkan, hina), syani’ (amat buruk, tidak sedap dipandang), baik berupa perkataan (aqwal) maupun perbuatan (af’al) (Anis, 1973, hal. 675). Sementara Ibnu Manzur menjelaskan bahwa fahsya’ adalah setiap perkara yang sangat besar keburukannya dari segala bentuk dosa serta kemaksiatan.

Sebagai contoh yaitu pendapat Ibnu al-Asir yang menyatakan bahwa kata al-fahisyah lebih mengarah pada makna zina, lantaran zina itu sendiri adalah fahisyah dan termasuk kategori perilaku fahisyah seperti disebutkan pada QS. An-Nisa’ (4): 19 (Manzur, 1990, hal. 325). Contoh lain perbuatan manusia yang tergolong fahsya’ di antaranya adalah kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, termasuk pemaksaan pernikahan pada usia ini yang justru akan merusak mental dan psikologis anak (Fauzi, 2020, hal. 282).

Baca juga: Aplikasi Pendekatan Tafsir Maqashidi Atas Surat al-Mujadilah: Perlawanan Perempuan Terhadap Diskriminasi

Makna dan derivasi kata munkar dalam Al-Qur’an

Selanjutnya, terkait dengan kata munkar terulang penyebutannya sebanyak 15 kali di dalam Al-Qur’an. Pada Kamus Bahasa Al-Qur’an, ditemukan bahwa kata ini pada awalnya memiliki arti suatu hal yang tidak masyhur atau dikenal sehingga mengalami pengingkaran, dalam artian tidak disetujui. Itulah mengapa Al-Qur’an menyandingkan kata ini yang bermakna tidak dikenal atau diingkari dengan kata al-ma’ruf yang berarti dikenal atau disetujui.

Dalam penafsirannya, sebagian ulama menginterpretasikan kata al-munkar sebagai segala hal yang membentur norma-norma keagamaan dan adat istiadat pada masyarakat. Melalui pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa kata al-munkar mengandung makna yang jauh lebih luas daripada sebatas kata ma’shiyah atau maksiat (Hariyanto, 2016, hal. 1-2). Sehingga, munkar mencakup segala perilaku durhaka kepada Allah dengan berbagai bentuknya, yang sudah barang tentu dilarang oleh Islam serta tidak bisa diterima akal sehat dan fitrah manusia.

Tindakan pencurian menjadi salah satu contoh dari perbuatan munkar yang mana tidak dapat diterima oleh akal sehat. Fitrah maupun akal sehat manusia dapat menilai bahwa tidak sepantasnya seseorang mengambil sesuatu yang bukan miliknya tanpa disertai alasan yang kredibel (Fauzi, 2020, hal. 278-279).

Penempatan kata fahsya’ yang disandingkan dengan kata munkar dalam Al-Qur’an dapat dijumpai pada QS. An-Nahl (16): 90.

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Quraish Shihab menerangkan bahwa kata al-fahsya’ pada ayat tersebut merupakan nama bagi segala tindakan ataupun ucapan, hingga keyakinan tertentu yang dipandang buruk oleh jiwa maupun akal sehat, serta memberikan pengaruh negatif bagi diri sendiri dan lingkungan.

Sedangkan kata al-munkar menurutnya, dengan merujuk pada gagasan Ibnu ‘Asyur adalah segala sesuatu yang dianggap buruk dan diingkari oleh masyarakat tertentu, serta bertolak belakang dengan nilai-nilai ilahi (Shihab, 2002, hal. 701-702). Bentuk dari kemungkaran ini juga beraneka ragam dan memiliki tingkatan tersendiri. Mulai dari yang berhubungan dengan pelanggaran kepada Allah, baik dalam persoalan ibadah maupun non-ibadah. Hingga yang berhubungan dengan manusia dan lingkungannya.

Baca juga: Tiga Posisi Amr Ma’ruf Nahi Munkar dalam Tafsir Ar Razi

Kesimpulan

Melalui berbagai uraian tersebut, maka dapat ditarik benang merah bahwa interpretasi lafaz fahsya’ mengacu pada interpretasi lafaz munkar. Namun, tidak setiap kemungkaran termasuk fahsya’, lantaran makna yang dikandung lafaz fahsya’ lebih spesifik daripada lafaz munkar (Fauzi, 2020, hal. 279).

Di samping beberapa perbedaan tersebut, kata fahsya’ dan munkar juga memiliki keterkaitan yang dapat disimpulkan dalam dua hal, yaitu keduanya merupakan perbuatan dosa yang sama-sama berasal dari setan sebagaimana diterangkan dalam QS. An-Nur (24): 21. Selain itu, fahsya’ sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari munkar. Pasalnya, berbagai bentuk dosa fahsya’ yang lebih mengarah pada dosa-dosa sosial sangat berhubungan dengan konteks makna munkar yang jauh lebih luas.

Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa antara makna fahsya’ dan munkar memang mempunyai korelasi, namun tidak benar-benar identik satu sama lain. Hal ini berarti, kita tidak bisa serta merta mengartikan dua kata ini dengan makna yang serupa, terlebih lagi hanya berdasarkan terjemahan Al-Qur’an. Wallahu A’lam.

Baca juga: Problem Status Terjemah dan Tafsir Al Quran

Bagas Maulana Ihza Al Akbar
Bagas Maulana Ihza Al Akbar
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....