Dalam kajian Ilmu Al-Quran kita mengenal istilah Al-Wujuh (satu lafad, beda makna). Ini karena di dalam Al-Quran ditemukan banyak satu kata yang sama, namun mempunyai arti dan penekanan yang berbeda-beda. Sebagai contoh kali ini yaitu kata Hayat. Ada beberapa makna hayat yang meski makna dasarnya sama, namun mempunyai maksud yang belum tentu sama.
Baca Juga: Kata al-Mahabbah (Cinta) dan Persaudaraan Universal dalam Al-Quran
Makna hayat: kehidupan dan ciri-cirinya
Al-Hayat (الحياة) biasa diterjemahkan dengan “kehidupan”. Namun apabila dilihat dalam kitab al-Mufradat fi Gharib al-Quran, di sana diuraikan bahwa makna hayat dapat menunjukkan beberapa hal; Pertama, lafadz al-hayat yang menunjukkan potensi untuk tumbuh atau kemamopuan untuk hidup. Hal ini berlaku untuk hewan maupun tumbuhan.
Terkait makna hayat yang pertama ini, juga bisa berlaku untuk manusia jika dihubungkan dengan konsep manusia menurut Ibn Sina. Menurutnya, dalam diri manusia memiliki tiga unsur nafs, yakni nafs al-nabatiyah (jiwa tumbuhan), nafs al-hayawan (jiwa hewani – mencakup nafsu, naluri atau insting), dan nafs al-natiqqiyah (jiwa rasio – demikian inilah yang membedakan manusia dengan hewan).
Ada juga istilah, “jiwa tumbuhan”, yang demikian itu memiliki makna, manusia mampu tumbuh, tumbuh dalam konteks tumbuh menjadi besar, tumbuh menjadi tinggi; dapat dikatakan, نباتٌ حيٌ nabatun hayyun “tumbuhan hidup.” Allah berfirman dalam QS. Al-Hadid [57]: 17,
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ يُحْىِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ ٱلْأيَٰتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya kami telah menjelaskan kepada kamu ayat-ayat supaya kamu memikirkannya.”
Dalam penafsiran M. Quraish Shihab, ayat di atas menunjukkan bahwa Allah menghidupkan bumi dari kematiannya, yakni Allah membasuh bumi yang kering dengan air hujan. Demikian, lebih jauh lagi penulis Tafsir Al-Misbah ini berpesan, agar manusia memperlakukan hati juga demikian, yakni, ketika hati telah mati, menjadi kering, kehausan, maka tugas kita harus menyiram hati dengan dzikkrullah.
Allah berfirman, dalam QS. Qaf [50]: 9-11,
وَنَزَّلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً مُّبَٰرَكًا فَأَنۢبَتْنَا بِهِۦ جَنَّٰتٍ وَحَبَّ ٱلْحَصِيدِ (9) وَٱلنَّخْلَ بَاسِقَٰتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ (10) رِّزْقًا لِّلْعِبَادِ ۖ وَأَحْيَيْنَا بِهِۦ بَلْدَةً مَّيْتًا ۚ كَذَٰلِكَ ٱلْخُرُوجُ (11)
Artinya, “Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu kemudian Kami tumbuhkan dengannya kebun-kebun dan biji-biji tanaman yang ditua, dan pojon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba, dan Kami menghidupkan dengannya tanah yang mati. Seperti itulah Kebangkitan.”
Makna hayat yang berarti berpotensi hidup atau menghidupkan juga tersirat dalam kalimat pernghormatan seperti tahiyyah (تحيَّةٌ), yang diucapkan dengan menyebut “حياك الله” yakni memiliki arti, “semoga Allah memberikan kehidupan untukmu.”; kata تحية tahiyyah berasal dari kata hayaatun (حياةٌ)
Baca Juga: Tafsir Al-Baqarah Ayat 28: Alasan dan Cara Mensyukuri Kehidupan Dunia
Adapun makna hayat yang kedua adalah sesuatu yang memiliki indra. Berdasarkan pada pemaknaan inilah, kita menemui hewan dalam bahasa Arab dinamai hayawaanun (حيوان), adapun manusia adalah hayawaanun natiq atau bermakna “hewan yang berakal.”
Allah berfirman, dalam QS. Al-Fathir [35]: 22,
وَمَا يَسْتَوِى ٱلْأَحْيَآءُ وَلَا ٱلْأَمْوَٰتُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَآءُ ۖ وَمَآ أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِى ٱلْقُبُورِ
Artinya, “Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang didalam kubur dapat mendengar.”
Pada firman-Nya, dalam QS. Al-Mursalat [77]: 25-26,
أَلَمْ نَجْعَلِ ٱلْأَرْضَ كِفَاتًا (25) أَحْيَآءً وَأَمْوَٰتًا (26)
Artinya, “Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul, Orang-orang hidup dan orang-orang mati ?”
Demikian berarti bahwa memiliki indra yang berfungsi merupakan salah satu tanda dari adanya kehidupan, berlaku untuk manusia bisa juga untuk hewan.
Makna hayat yang ketiga menunjuk pada potensi bekerja dan berpikir, sebagaimana yang terlukis dalam firman Allah, QS. Al-An’am [6]: 122,
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ
Artinya, “Dan apakah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan…”
Al-Qurtubi dalam tafsirnya, menghubungkan ayat ini dengan proses penciptaan manusia. Dikatakan maytan ketika penciptaan manusia masih berupa nutfah (air mani) dan baru dinamakan hayat (hidup) ketika ditiupkan ruh. Dan setiap jasad yang ditiupkan ruh, Allah juga membekalinya dengan potensi bekerja dan berpikir.
Makna keempat, yakni ungkapan untuk hilangnya duka cita atau kesedihan; Makna yang kelima adalah menunjukkan kehidupan yang abadi di akhirat. Yang demikian itu dapat dicapai dengan kehidupan duniawi yang disertai dengan ilmu dan amal (taqwa). Seperti kehidupan akhirat yang disampaikan dalam bentuk lafad hayat pada ayat berikut,
يَقُولُ يَٰلَيْتَنِى قَدَّمْتُ لِحَيَاتِى
Artinya, “Alangkah baiknya sekiranya diriku dahulu mengerjakan amal shalih untuk kehidupanku.” (QS. Al-Fajr [89]: 24).
Baca Juga: Berikut Lima Makna Safar dalam Al-Qur’an
Makna hayat berikutnya yaitu Yang Hidup. Ini dimaksudkan pada sifat Allah. Apabila dikatakan هو حيٌّ (Dia Maha Hidup), maka maknanya adalah, Allah tidak mengenal kematian, yang demikian ini hanya dimiliki oleh Allah semata.
ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ
Artinya, “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya.” (QS. ali-Imran [3] ayat 2)
Satu lagi makna hayat yang disampaikan oleh Ibn Manzur. Menurutnya, dalam kitab Lisanul Arab, kata al-Hayyu (الحيُ) menunjukkan keberimanan seseorang. Sedangkan kebalikannya, kata al-maut menggambarkan kekafiran seseorang.
Kata hayat jika dilihat dari konteks keseluruhan ayatnya, maka dapat diketahui bahwa ia tidak hanya menginformasikan sebuah makna ‘kehidupan’, tetapi sekaligus memberitahu ciri-ciri dari kehidupan itu sendiri. Wallahu a’lam