BerandaTafsir TematikTafsir IsyariMakna Puasa dan 3 Tingkatannya menurut Tafsir Sufistik

Makna Puasa dan 3 Tingkatannya menurut Tafsir Sufistik

Puasa Ramadan ternyata tidak hanya menyimpan aspek eksoteris (dimensi lahiriyah), akan tetapi sarat akan nuansa esoteris (dimensi batiniyah atau sufistik). Benar kata Syekh Ibrahim al-Kurani dalam Ithaf al-Dzaki bahwa setiap ayat Al-Quran mengandung makna lahir dan batin, yang dalam istilahnya disebut sebagai dzul wajhain (dua sisi wajah Al-Quran), tak terkecuali makna puasa Ramadan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 183. Bila kita telaah tafsir-tafsir sufistik, kita akan menemukan dimensi esoteris puasa tersebut.

Pada pembahasan kali ini akan mengulas makna puasa dalam perspektif tafsir sufistik. Pertanyaan yang mungkin muncul ialah apakah memang betul bahwa puasa hanya menahan diri untuk tidak makan, minum, bersanggama, dan seterusnya atau jangan-jangan puasa menyimpan dimensi batiniyah atau aspek sufi yang luar biasa? Simak selengkapnya di bawah ini.

Makna Puasa menurut Tafsir Sufistik

Ada beberapa ulama sufi seperti al-Qusyairi, al-Ghazali, al-Jilani, Ibn ‘Arabi, Ibn ‘Ajibah, Ibnu ‘Atiyyah dan lain sebagainya yang mengulas makna puasa Ramadan perspektif tafsir sufistik. Berikut penjelasannya.

Penafsiran pertama disampaikan al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat-nya, ia mengemukakan,

الصوم على ضربين: صوم ظاهر وهو الإمساك عن المفطرات مصحوباً بالنية، وصوم باطن وهو صَوْنُ القلب عن الآفات، ثم صون الروح عن المساكنات، ثم صون السِّرِّ عن الملاحظات

“Puasa itu terbagi menjadi dua, yaitu puasa zahir dan batin. Puasa zahir ialah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa dengan disertai niat. Adapun puasa batin adalah menjaga hati dari penyakit hati, menjaga jiwa dari rasa miskin, dan menjaga rahasia (sirr) dari hingar bingar keramaian”.

Puasa batin, demikian kata al-Qusyairi, adalah menjaga lisan dari ghibah (shaun al-lisan ‘an al-ghibah), menjaga takaran dari riba (shaun al-tharfi ‘an al-nadzari bil ribah), menjaga segala hal yang dapat membatalkan puasa sampai malam tiba, dan menjaga diri dari keburukan sehingga menyaksikan kebenaran (an yasyhadu al-haqqu). Sebagaimana sabda Nabi saw, “shumu wa afthiru liru’yatihi”.

Baca juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Jika pada umumnya, ulama menafsiri kata “liru’yatihi” dengan jika kalian telah melihat hilal Ramadan, maka bukalah, demikian pula tatkala melihat hilal bulan syawal. Namun bagi al-Qusyairi tidak, ia menafsiri hadits tersebut dengan “puasa mereka karena ingin menyaksikan Allah, buka mereka juga karena Allah, perjumpaan mereka hanya kepada Allah tidak kepada yang lain. Sebab Allah lah tujuan hidup dan puasa mereka”.

Lebih jauh, al-Qusyairi tatkala membagi maqamat tasawuf-nya dalam Risalah al-Qusyairiyah sarat akan ibadah puasa. Pendek kata, semua maqamat tasawufnya tidak ada yang tidak mengandung dimensi puasa. Lihat saja setapak demi setapak, setiap maqamatnya harus dilalui dengan mengosongkan perut, meninggalkan syahwat, mujahadah, sabar, syukur, ikhlas, jujur, istiqamah dan takwa. Bukankah itu semua tahapan ibadah puasa menuju derajat muttaqin?

Tidak puas dengan penafsiran al-Qusyairi, al-Baqli dalam Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Quran,

فرض عليكم الامساك عن الكون اصلا لانكم في طلب المشاهدة فواجب ان تصوموا عن مالوفات الطبيعة فى مقام العبودية كما كتب على المرسلين والنبين والعارفين والمحبين من قبلكم لكى تخلصوا عن رجس البشرية وتصلوا مقام الامن والقربة

“Diwajibkan atas kamu sekalian untuk menjauhkan diri dari alam semesta terlebih dahulu karena tujuan kamu adalah musyahadah. Maka, wajib bagimu untuk berpuasa dari segala hal yang berbau materialisme sebab puasa jenis itu adalah tingkatannya seorang hamba (maqamat al-‘ubudiyyah) sebagaimana diwajibkan atas para utusan-Nya, nabi-Nya, ‘arif billah-Nya, pecinta-Nya sebelum kamu agar kalian ikhlas menjalankannya dari kepelikan persoalan manusia dan agar kalian tetap berdoa memohon supaya aman dan dekat kepada-Nya”.

Tidak jauh berbeda, Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menggunakan istilah shiyam untuk menyebut puasa Ramadan, berikut penuturannya,

وصيامهم هو الإمساك عن كلّ قول وفعل وحركة وسكون ليس بالحق للحق

“Puasa (shiyam) adalah menahan dari segala perkataan, perbuatan dan segala aktifitas serta kenyamanan kecuali dengan kebenaran untuk kebenaran”.

Lebih lanjut, al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani mendefinisikan puasa adalah menahan diri secara khusus (al-imsaku ‘an al-makhshushi) dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari di bulan Ramadan atau yang dikenal dalam terminologi syariat (lisan al-syari’ah). Adapun puasa transendental yaitu menolak segala hal yang berlainan dengan kebenaran karena ia merupakan orang yang berakal (li ulin nuha), yakin dan mukasyafah terhadap segala sesuatu yang sirr (‘an sara-ir al-umuri).

Hampir senada dengan al-Jilani, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil dan Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz lebih menjelaskan puasa Ramadan kepada puasa dari pembicaraan yang tidak berguna (imsakun ‘an al-kalami). Ia juga menggunakan diksi al-shaum untuk menjelaskan definisi puasa Ramadan, yaitu menahan diri dari makan dan minum, serta jima’ dengan disertai niat di waktu yang khusus (al-imsaku ‘an al-akli wa al-syurbi wa al-jima’i ma’an al-niyyati fi waqti makhshushin).

Baca juga: Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Adapun penjelasan lebih rinci dikemukakan oleh Ibn Ajibah, al-Ghazali dan ulama Indonesia, KH. Sholeh Darat. Ketiganya sepakat bahwa puasa Ramadan terbagi menjadi tiga, yaitu puasanya orang awam, puasanya orang khas, dan puasanya orang khawashul khas.

Ibn Ajibah misalnya, dalam al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid, ia berkalam yang kemudian diamini oleh al-Ghazali dalam Ihya-nya dan KH. Sholeh Darat dalam Faid al-Rahman-nya,

واعلم أن الصيام على ثلاث درجات: صوم العوام، وصوم الخواص، وصوم خواص الخواص. أما صوم العوام: فهو الإمساك عن شهوتَي البطن والفَرْج، وما يقوم مقامَهما من الفجر إلى الغروب، مع إرسال الجوارح في الزلاَّت، وإهمال القلب في الغفلات. وصاحبُ هذا الصوم ليس له من صومه إلا الجوع، لقوله صلى الله عليه وسلم: ” مَنْ لم يَدَعْ قولَ الزُور والعملَ به فليس لله حاجةٌ في أنْ يدع طعامَه وشرابَه ” وأما صوم الخواص: فهو إمساك الجوارح كلَّها عن الفَضول، وهو كل ما يشغل العبد عن الوصول، وحاصلُه: حفظ الجوارح الظاهرة والباطنة عن الاشتغال بما لا يَعْنِي. وأما صوم خواص الخواص: فهو حفظ القلب عن الالتفات لغير الرب، وحفظ السر عن الوقوف مع الغير، وحاصله: الإمساك عن شهود السَّوى، وعكوفُ القلب في حضرة المولَى، وصاحب هذا صائم أبداً سرمداً. فأهل الحضرة على الدوام صائمون، وفي صلاتهم دائمون، نفعنا الله بهم وحشرنا معهم

“Ketahuilah puasa (shiyam) terbagi tiga maqam, yaitu puasanya orang awam, khas dan khawashul khawas. Adapun puasanya orang awam, yaitu menahan dari nafsu syahwat perut dan kemaluan mulai dari munculnya fajar hingga tenggelamnya matahari, disertai dengan segenap badan dan membiarkan hatinya tetap dalam kondisi lalai.

Dan puasa jenis ini tidak lain hanya mendapat dahaga (ju’), sebagaimana sabda Nabi saw, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (dusta), serta tetap mengamalkannya atau berlaku bodoh, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan”. Sementara itu, puasa khas yaitu menahan segenap anggota badan dari rasa curiga dan segala hal yang menghalangi dirinya dari sampai (wushul) kepada Allah. Hasilnya adalah ia senantiasa menjaga segenap anggota badan lahiriyah dan jiwa batiniyah untuk sibuk mendekat dan bersama-Nya.

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Adapun puasa khawashul khawas yaitu menjaga hatinya dari segala sesuatu yang dapat menghalangi perjumpaannya dengan Tuhannya, menjaga sirri-nya dari sesuatu yang dapat menghentikannya sehingga pantang baginya untuk berpaling dari kebenaran, senantiasa mempersembahkan hatinya kepada derajat yang lebih tinggi, Allah swt serta orang yang berpuasa dengan tipologi seperti ini akan kekal selamanya.

Maka, bagi orang yang berpuasa dengan tipe khawashul khas mereka senantiasa hudur (hadir) kepada Allah swt, setiap doanya kekal (dikabulkan) oleh-Nya. Semoga Allah senantiasa memberkahi kita dan mengumpulkannya dengan mereka.”

Dari tiga tingkat puasa itu dapat disederhanakan bahwa berpuasa menurut tafsir sufistik adalah menahan seluruh anggota badan dari perkataan dan perbuatan yang buruk, menjaga pandangan dan kemaluannya, tidak mengumbar syahwat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat, serta berbuka dengan yang halal. Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...