Setelah sebelumnya terbit tulisan tentang ibadah dimensi sosial dalam Surah Al-Maun, tulisan ini secara spesifik mengulas pemakaan ria. Ria merupakan suatu penyakit hati yang dapat berpengaruh pada prilaku seseorang termasuk ibadah. Mengingat banyaknya makna ria dalam Alquran, tulisan ini bertujuan mengetahui makna ria secara khusus dalam surah Al Maun yang membedakannya dengan ria dalam ayat lainnya.
Makna Leksikal
Dalam bahasa Indonesia, ria bermakna dua, yakni gembira dan sombong. Ria yang bermakna sombong, secara etimologi menurut beberapa kamus seperti Kamus Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia tulisan Mahmud Yunus, maupun rujukan KBBI, berasal dari bahasa Arab, raa‘a yang berarti melihat.
Ahmad Fariz bin Zakariya dalam kamusnya mendefinisikan kata raa‘a sebagai melihat, menyaksikan dengan mata atau pengelihatan. Kata Raa’yun (راءى) tersebut diartikan sebagai melakukan suatu perbuatan semata-mata untuk dilihat manusia. (Mu’jam Maqaayis al-Lughah, hlm. 473)
Ria dalam Al-Quran
Di dalam Alquran, kata ra’a dan turunannya terulang sebanyak 282 kali. Dari keseluruhan ayat tersebut, terdapat beragam pemaknaan sesuai dengan konteksnya diantaranya, melihat, memandang, berfikir, menunjukkan, berkuasa, menampakkan, mengemukakan, bermimpi, dan ria.
Sebagai contoh Raa‘a yang bermakna mimpi, dikarenakan menggambarkan informasi pengetahuan yang didapatkan melalui mimpi. Contohnya seperti yang tertulis pada surah Yusuf [12]: 4-5 yang mengisahkan tentang aduan nabi Yusuf kepada ayahnya tentang mimpi yang ia alami. Pada ayat tersebut, Yusuf tidak melihat kejadian yang ia alami secara nyata melalui mata, melainkan ia peroleh melalui mimpi.
Baca Juga: Surah Alma’un dan Ibadah Dimensi Sosial
Raa‘a yang bermakna ria ditulis sebanyak lima kali dalam Alquran yang terbagi dalam dua bentuk perubahan kata. Pertama kata dalam bentuk mashdar yakni Riaa’a (رِئَاۤءَ) terdapat pada tiga ayat, Q.S. Al-Baqarah[2]:264, An-Nisa’[4]:38, Al-Anfal [8]:47. Kedua, dalam bentuk yuraa’uuna (يُرَاۤءُوْنَ) yakni pada surah An-Nisa’[4]:142 dan Al-Ma’un [107] : 6.
Selain itu, lima ayat diatas bila dibaca melalui konteks ayat, makna ria terkait dengan tiga hal berupa perbuatan dan peristwa. Pertama, ria dalam konteks salat yang terdapat pada Q.S An-Nisa’[4]: 142 yang berbunyi:
Q.S 4:142
اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْۚ وَاِذَا قَامُوْٓا اِلَى الصَّلٰوةِ قَامُوْا كُسَالٰىۙ يُرَاۤءُوْنَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ اِلَّا قَلِيْلًاۖ
Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah membalas tipuan mereka (dengan membiarkan mereka larut dalam kesesatan dan penipuan mereka). Apabila berdiri untuk salat, mereka melakukannya dengan malas dan bermaksud riya di hadapan manusia. Mereka pun tidak mengingat Allah, kecuali sedikit sekali.
Pada ayat tersebut, Allah menyifati orang-orang munafik sebagai orang yang terdapat penyakit ria dalam hatinya. Ia mencontohkan tentang ketidak konsistenan orang munafik ketika salat ketika dalam sepi dan keramaian. Dalam tafsir kemenag ditambahkan, mereka adalah orang-orang yang hatinya kosong dan tidak meyakini adanya hari pembalasan. Mereka tidak melakukan salat kecuali pada waktu dihadapan umat muslim.
Kedua, ria dalam konteks sedekah atau infak yang terdapat pada Q.S Al-Baqarah[2]: 264 dan Q.S An-Nisa[4]: 38 yang berbunyi:
Q.S 4:38
وَالَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ وَمَنْ يَّكُنِ الشَّيْطٰنُ لَهٗ قَرِيْنًا فَسَاۤءَ قَرِيْنًا
(Allah juga tidak menyukai) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya kepada orang (lain) dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Akhir. Siapa yang menjadikan setan sebagai temannya, (ketahuilah bahwa) dia adalah seburuk-buruk teman.
Ayat ini menyandingkan orang yang berbuat ria dalam berinfak dengan orang-orang yang tidak beriman pada Allah dan hari akhir. Hamka menjelaskan perbuatan ria dalam ayat ini termasuk dalam kemusyrikan dikarenakan menyamakan kedudukan Allah dengan manusia. Mereka yang bersedekah bukan karena ingat bahwa harta hanyalah titipan Allah, melainkan ingin mendapat pujian dari manusia. (Tafsir Al-Azhar, jilid 2, hlm. 1219-20)
Ketiga, ria dalam konteks penggambaran Allah kepada orang-orang kafir yang hendak melaksanakan perang badar. Ayat ini terletak pada surah Al-Anfal [8]: 47 yang berbunyi.
Q.S 8:47
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَّرِئَاۤءَ النَّاسِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ بِمَايَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah Maha Meliputi apa yang mereka kerjakan.”
Tujuan ayat ini tidak lain sebagai pelajaran kepada umat Islam untuk tidak mencontoh prilaku tercela orang-orang kafir, dan agar tetap mengingat Allah.
Ria dalam Surah Al-Ma’un
Sedangkan Surah Al-Ma’un [107]: ayat 6 secara khusus tidak merujuk pada makna tertentu. Mayoritas ulama berpendapat ria dalam ayat 6 ini dalam konteks salat, sebab dua ayat sebelumnya membicarakan salat. Mufasir yang berpendapat demikian seperti at-Thabari, Ibnu Katsir, As-Suyuthi. Sementara itu, Ahli Hadis yang berpendapat sama seperti ibnu Abu Hatim, dan Baihaqi dalam kitab sunnahnya yang merujuk pada riwayat Ali bin Abi Talib. (Ad-Durru al-Mantsur at-Tafsiiri bi al-Ma’tsuur, jilid 15, hlm. 689)
Pendapat lain mengatakan makna ria dalam surah Al-Ma’un [107]: ayat 6 dalam hal sedekah. Pendapat ini dikemukakan oleh Hamka dan Al-Mawardi. Quraish Shihab lebih memilih netral dalam menafsirkan ayat ini dengan tidak menunjukkan kekhususan makna ria. Ia mendefinisikan ria secara kebahasaan dan memberi perumpamaan ria dengan merujuk Q.S Al-Baqarah[2]: 264. (Tafsir Al-Azhar, jilid 15, hlm. 551)
Al-Mawardi membagi menjadi dua maksud dari ayat 6 diatas, pertama secara khusus ditujukan kepada orang-orang yang berbuat ria ketika salat. Kedua, ria dalam segala perbuatan baik yang tidak dilandaskan pada keikhlasan karena Allah. (An-Nuktu wa al-‘Uyuun Tafsiir al-Maawardii, jilid 6, hlm. 352)
Berdasarkan penelusuran diatas, penulis setuju dengan makna ria dalam Al-Ma’un [107]:6 menurut Shihab yakni melakukan pekerjaan bukan karena Allah, melainkan pujuan manusia. Pendapat ini didasarkan oleh tidak adanya keterangan khusus terkait rujukan ria dalam ayat ini.
Jika dikaitkan dengan keseluruhan ayat-ayat yang membicarakan ria dan keseluruhan ayat dalam surah Al-Ma’un, dapat dipahami tujuan dari ria disini dalam hal ibadah berupa salat dan muamalah berupa sedekah, infak, dan zakat. Seluruhnya terdapat satu kesamaan berupa ketidak tulusan niat karena Allah dalam melakukan amal saleh, dan mengharapkan pujian manusia.