BerandaTafsir TematikMalam yang Diberkahi Lailatul Qadar atau Nishfu Syaban?

Malam yang Diberkahi Lailatul Qadar atau Nishfu Syaban?

Al-Quran merupakan kalam qadim Allah Swt. yang dijadikan pedoman bagi orang-orang yang beriman. Al-Quran juga menjadi berkah bagi seluruh alam semesta, karena di dalamnya terdapat berbagai aturan dan tatanan yang membawa kebaikan untuk semuanya. Kemuliaan Al-Quran menjadikan aktifitas membaca, mentadaburi, mempelajari, dan mendengarnya menjadi aktifitas yang  dinilai sebagai ibadah. Hal ini menandakan bahwa keberkahan Al-Quran tidak hanya melimpah bagi yang membaca dan mentadaburinya semata, tetapi selain mereka pun bisa mendapatkan keberkahan Al-Quran. Lebih luas lagi, tentang keberkahan Al-Quran, bahkan malam diturunkannya Al-Quran pun dijadikan Allah sebagai malam yang diberkahi (lailah mubarakah). Selaras dengan pernyataan tersebut, Allah berfirman dalam surah Ad-Dukhan [44] ayat 3:

إِنَّاۤ أَنزَلۡنَـٰهُ فِی لَیۡلَةࣲ مُّبَـٰرَكَةٍۚ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِینَ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kamilah yang memberi peringatan.” (Q.S. Ad-Dukhan (44): 3]

Melalui ayat di atas, dapat dimengerti bahwasanya Al-Quran–yang dalam ayat sebelumnya diredaksikan dengan al-kitab al-mubin–itu diturunkan pada malam yang diberkahi. Akan tetapi mengenai bagaimana maksud diturunkannya Al-Quran pada malam tersebut tentu kurang bisa kita tangkap secara langsung. Sehingga perlu bagi kita yang ingin memahaminya untuk merujuk penafsiran ulama ahli tafsir.

Baca juga: Menyambut Malam 27 Ramadhan dan Tafsir Isyari Ibnu Abbas Ra Tentang Lailatul Qadr

Dalam Tafsir al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab, disebutkan bahwa malam tersebut merupakan malam dimulainya penurunan Al-Quran. Penafsiran serupa juga disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir. Sedangkan Imam Ibnu Katsir dan Syekh Ahmad ash-Shawi menafsirkan bahwa pada malam tersebut Al-Quran diturunkan dari lauhil mahfudz ke langit dunia, sebelum diwahyukannya Al-Quran secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw.

Selain pembahasan tentang maksud diturunkannya Al-Quran pada malam tersebut, pembahasan yang juga menjadi sorotan ulama ahli tafsir berkenaan dengan ayat di atas ialah tentang waktu terjadinya malam yang diberkahi (lailah mubarakah) itu. Jika mengacu pada Al-Quran surah Al-Qadar [97] ayat 1: “inna anzalnahu fi lailah al-qadr, (sesungguhnya Kami menurunkannya pada lailatil qadr)” dan Al-Quran surah Al-Baqarah [2] ayat 185: “syahr ramadhan alladzi unzila fihi Al-Quran, (bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran), maka secara mudah disimpulkan bahwa maksud dari “lailah mubarakah” adalah malam lailatul qadar yang terjadi pada bulan Ramadan.

Baca juga: 13 Tempat dalam Al-Qur’an yang Disunnahkan Baca Doa atau Wirid Khusus (Part 3)

Tetapi jika lebih dalam menelusuri kitab-kitab tafsir, ternyata tidak semua ulama tafsir mengamini kesimpulan tersebut. Karena pada kenyataannya masih terdapat malam lain yang berpeluang menjadi malam yang diberkahi (lailah mubarakah), selain lailatul qadar. Malam yang juga disebut sebagai tafsiran dari lailah mubarakah itu ialah malam nishfu Syaban. Karena berdasar riwayat yang ada, malam nishfu Syaban memang memiliki beberapa nama lain, seperti al-lailah al-mubarakah, lailah al-baraah, lailah ar-rahmah, dan lain sebagainya.

Oleh karenanya, pantas saja jika kemudian Imam Jalaluddin al-Mahalli dalam Tafsir al-Jalalain, menafsirkan lailah mubarakah dengan dua kemungkinan sekaligus, yakni (pertama) bisa jadi maksud dari malam yang diberkahi itu ialah malam lailatul qadar, tapi (kedua) bisa juga maksudnya ialah malam nishfu Syaban. Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Syekh Fakhrudddin ar-Razi menuturkan bahwa penafsiran yang pertama merupakan pendapat Qatadah dan Ibn Ziyad, yang diikuti oleh sebagian besar ulama tafsir. Sedangkan penafsiran yang kedua merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ‘Ikrimah dan hanya diikuti oleh sebagian kecil mufassirin.

Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 114: Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa

Meski kedua penafsiran di atas sama-sama memiliki hujjah, tetapi Syekh Ahmad ash-Shawi lebih mengunggulkan pendapat yang menyatakan bahwa maksud dari lailah mubarakah merupakan lailatul qadr. Adapun alasan beliau, karena sebaik-baik penafsiran ialah penafsiran yang didasarkan pada sesuatu yang terdapat dalam dari Al-Quran atau yang datang dari Nabi Muhammad Saw (ter-warid). Bahkan Syekh Ibnu ‘Asyur secara tegas menyatakan bahwa pendapat yang menyebutkan bahwa lailah mubarakah maksudnya ialah malam nishfu Syaban, itu merupakan pendapat yang lemah. Wallahu a’lam bish shawab.

Habib Maulana Maslahul Adi
Habib Maulana Maslahul Adi
Lulusan Program Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Nyantri di PP Darul Mubarok Kudus & PP Al-Luqmaniyyah Yogyakarta.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Sikap al-Qurṭubī Terhadap Riwayat Isrāīliyyāt

0
Tema tentang Isrāīliyyāt ini sangat penting untuk dibahas, karena banyaknya riwayat-riwayat Isrāīliyyāt dalam beberapa kitab tafsir. Hal ini perlu dikaji secara kritis karena riwayat ...