BerandaTafsir TematikManusia sebagai Makhluk Terbaik dalam Surah At-Tin Ayat 4

Manusia sebagai Makhluk Terbaik dalam Surah At-Tin Ayat 4

Artikel ini akan mengulas tentang manusia sebagai makhluk terbaik yang terdapat dalam Q.S at-Tin ayat 4. Allah Swt berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)

Pernahkah kita sadari, bahwa di antara sekian banyak makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini, kita adalah makhluk terbaik yang Allah hadirkan ke dunia ini.

Jika malaikat diciptakan Allah dengan dibekali akal tanpa nafsu, sementara binatang diciptakan dengan disertai nafsu tanpa akal, maka manusia Allah ciptakan dengan bekal yang komplit, yaitu dilengkapi akal dan nafsu. Dan untuk membimbing akal dan nafsu yang dimiliki manusia itu, Allah menurunkan wahyu berupa kitab suci.

Baca Juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Husain Mazhahiri dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘ala al-Gharaiz fi Hayat al-Insan. menjelaskan bahwa secara eksistensial, manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya.

Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensi hayawani.

Jika seseorang mampu mengoptimalkan dimensi ruhy yang ada dalam dirinya, serta mengendalikan dimensi jismy-nya, maka dia bisa menjadi lebih mulia dari malaikat sekalipun. Sebaliknya, jika dimensi jismy-nya lebih dominan dan mengalahkan dimensi ruhy-nya, maka tidak menutup kemungkinan dia akan menjadi lebih rendah dan hina dari binatang.

Kembali kepada penjelasan ayat di atas, bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia dalam bentuk terbaik. Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj menjelaskan bahwa makna fi ahsani taqwim adalah sebaik-baik rupa, sebagus-bagus bentuk, sesempurna-sempurna anggota tubuh, dengan susunan yang tertata rapih dan seimbang. Ditambah lagi dengan ilmu, pemikiran, kalam (komunikasi), kepemimpinan dan kebijaksanaan (hikmah), semakin menegaskan bahwa manusia layak menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ini.

Dari keterangan ini jelaslah bahwa makhluk terbaik yang diciptakan Allah itu bernama manusia. Segala potensi, keistimewaan, kemuliaan ada pada diri dan selalu melingkupi manusia. Kemuliaan tersebut akan terus ada dan menyertai manusia, jika dia mempertahankan dan menjaganya melalui aktivitas mulia berupa peningkatan kualitas hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas). Dengan kata lain, kemuliaan manusia akan terjaga dengan baik jika ibadah ritual dan ibadah sosial terjalin erat satu sama lain.

Sebaliknya, jika kualitas hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia terabaikan, atau salah satunya terabaikan, maka kemuliaan yang sudah ada pada dirinya akan berganti dengan kehinaan. Keistimewaan yang melingkupinya akan berubah menjadi kerendahan.

Lanjutan dari ayat di atas menegaskan hal tersebut.

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

“Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”

Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur’an menjelaskan bahwa kondisi “serendah-rendahnya” (asfala safilin) pada manusia itu terjadi ketika ia sudah menyimpang dari fitrah yang telah digariskan oleh Allah Swt. Ketika manusia lebih memilih hawa nafsunya, meninggalkan ajaran agamanya, tidak mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, pada saat itulah posisinya jatuh pada tingkat yang serendah-rendahnya (asfala safilin).

Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56

Bahkan, menurut Sayyid Quthb, pada kondisi ini, binatang lebih tinggi derajatnya dari manusia, karena mereka tetap pada fitrah yang telah Allah tetapkan, yakni mereka tetap bertasbih kepada Allah. Sedangkan manusia yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, menyimpang bahkan menentang aturan Allah Swt.

Al-Qur’an membimbing manusia untuk tetap pada fitrahnya, sehingga selalui berada pada posisi sebagai makhluk terbaik, yaitu dengan tetap memegang teguh keimanan, kemudian menyempurnakannya dengan amal saleh. Dengan cara seperti ini, manusia tetap akan berada pada posisi sebagai makhluk terbaik di antara seluruh makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini.

Didi Junaedi
Didi Junaedi
Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...