Masjid Agung Demak adalah salah satu masjid yang tertua di Indonesia. Masjid peninggalan Walisongo dan Raden Patah ini dibangun pada sekitar abad ke-15 Masehi. Masjid yang berlokasi di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah tidak pernah sepi pengunjung. Hal ini bisa jadi karena dipengaruhi oleh letaknya yang strategis, yakni berdekatan dengan alum-alun.
Konon, Masjid Agung Demak pada zaman dahulu digunakan sebagai pusat kegiatan keislaman dan merupakan tempat berkumpul Walisongo untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Jawa. hal inilah yang kemudian menjadikan kota Demak dijuluki sebagai kota Wali hingga sekarang ini.
Masjid Agung Demak, dilihat dari segi arsitektur sangatlah khas dan sarat akan makna, serta memberikan kesan yang mewah, indah, anggun, dan penuh dengan kharisma. Bagian atap yang berbentuk linmas memberikan makna akidah Islam yakni iman, ihsan, dan islam. Selain itu, di Masjid ini terdapat empat tiang utama yang disebut saka Tatal atau Saka Guru, tiang ini dibuat secara langsung oleh Walisongo.
Perinciannya yaitu pada bagian timur laut dibuat oleh Sunan Kalijaga, bagian tenggara dibuat oleh Sunan Ampel, dan bagian barat daya dikerjakan oleh oleh Sunan Gunung Jati, sedang di bagian barat laut dibangun oleh Sunan Bonang. Selain itu, terdapat peninggalan Pintu Bledheg yang dibuat Ki Ageng Selo dan delapan tiang di teras Masjid yang disebut Saka Majapahit.
Baca Juga: Bukan Hanya Pintu Bledeg Ki Ageng Selo, Mushaf Kuno di Museum Masjid Agung Demak Ini Juga Menawan
Di antara banyak peninggalan Walisongo, terdapat peninggalan yang cukup menarik untuk diketahui, yakni peninggalan berupa manuskrip atau naskah Alquran kuno. Manuskrip ini ditempatkan di Museum Masjid Agung Demak dengan jumlah keseluruhan 14 buah yang terdiri dari 11 buah manuskrip dan 3 buah mushaf cetakan India.
Peneliti Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, Ali Akbar, sudah menuliskan spesifikasi mushaf di museum tersebut, dan dia mengemukakan bahwa sebagian mushaf diperoleh dari masyarakat dan sebagian yang lain diperoleh dari atap masjid. (Mushaf Kuno Nusantara Jawa, 2019). Salah satu manuskrip yang cukup popular adalah manuskrip Tafsir Jalalain yang telah berumur ratusan tahun dan diduga milik Sunan Bonang.
Manuskrip milik Sunan Bonang ini ditulis menggunakan tinta hitam dan merah, tinta merah digunakan untuk menuliskan lafal bismillahirrahmanirrahim dan ayat-ayat Alquran yang lain, sedangkan tinta hitam digunakan untuk menuliskan makna ayat.
Manuskrip dengan ukuran naskah 34×21 dan ukuran teks 20×12 ini memiliki sampul yang masih utuh, hanya saja beberapa lembar naskah mulai tampak geripis terutama di bagian pinggiran. Namun hal ini tidak menimbulkan masalah, sebab dilihat dari segi umur, naskah yang terbilang cukup lama tersebut, teks di dalamnya masih bisa terbaca dengan jelas.
Di sisi lain, beberapa pakar cukup meragukan kitab ini sebagai karya dari Sunan Bonang, di antaranya dikarenakan tahun kelahiran Sunan Bonang dan tahun kepengarangan sangat berdekatan. Namun demikian, hal ini tidak serta merta mengurangi kharismatik kitab ini karena kehadirannya pada abad ke-15 telah menguatkan pendapat bahwa pada saat itulah dunia penafsiran mulai muncul di Indonesia dan digunakan oleh para ulama untuk menyebarkan ajaran agama islam.
Baca Juga: Naskah Tafsir Jalalain di Museum Masjid Agung Jawa Tengah
Dari segi isi, manuskrip ini terdiri dari 15 juz dimulai dari surah al-Kahfi dan diakhiri dengan surah an-Nas, dengan jumlah baris/halaman 19. Pada bagian baris awal teks tercantum “…surah al-Kahfi..bismillahirrahmanirrahim alwahyu wahuwa..”, Sedangkan pada baris akhir teks tertulis “…tammat hadzal kitab al-musamma bitafsir akhirah yaum…ing…syamsi di waktu Dhuha fisyahri…hiya hijrah an-Nabi SAW min sanah alfu…”
Bagitulah kiranya uraian mengenai mushaf tafsir Jalalain yang diduga milik Sunan Bonang, kami berharap kedepannya peninggalan sejarah keislaman, seperti tafsir akan tetap eksis di masyarakat, semoga tulisan ini sedikit menambah literasi, dan semoga bermanfaat! Wallah a’lam.