BerandaTafsir TematikMaulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Maulid Nabi Muhammad SAW dan Pengangkatan Martabat Perempuan

Quraish Shihab menyebut perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. di dunia dengan dua isilah berbeda, yakni maulud dan maulid. Maulud ialah perjalanan hidup Nabi yang menekankan pada sosoknya. Hal ini berdasarkan kosakata maulud sendiri yang menunjukkan makna yang dilahirkan, sehingga berhubungan dengan sosok. Sementara maulid, diartikan dengan informasi-informasi yang berkaitan dengan perjalanan hidup Nabi. Sebagaimana maulid, yang bermakna tempat atau waktu dilahirkannya Nabi, sehingga titik tekan maulid ada pada peristiwa yang melingkupi hidup Nabi Saw.

Dengan demikian, jika kita bicara maulid Nabi, berarti kita mengisahkan segala peristiwa yang bersinggungan dengan kehidupan Nabi. Peristiwa yang melingkupi perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw. berkenaan dengan dakwah Islam menyimpan nilai kasih dan sayang untuk seluruh umat manusia. Kasih itu salah satunya terejawantah dari upaya meretas kekerasan, ketertindasan dan ketidakadilan pada diri perempuan.

Upaya itu kita temui dari berbagai ayat dan hadis yang Nabi telah sampaikan pada kita. Mulai dari perlindung hidup perempuan yang dapat kita lihat dari larangan membunuh bayi perempuan, hingga penyetaraan hak untuk berkarya.

Meretas jejak kekerasan pada perempuan

Dalam perjalanan Nabi berdakwah, ia membawa misi untuk menumpas kekerasan terhadap perempuan yang telah menjadi budaya pada fragmen sejarah masa lalu. Antara lain, membekukan tradisi membunuh bayi perempuan yang telah masyhur di masyarakat Arab Jahiliyyah. Ini termaktub dalam surat An-Nahl ayat 58-59:

وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهٖۗ اَيُمْسِكُهٗ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهٗ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu. (Q.S. An-Nahl [16]: 58-59)

Mengutip Muhammad al-Ghazali dalam al-Ma’ah fil Islam, sebelum Nabi hadir dengan membawa ajaran Islam, masyarakat dunia menstigmatisasi perempuan dengan berbagai hal buruk, bahkan sampai tidak dianggap sebagai manusia. Di Romawi Kuno, perempuan hanya dijadikan objek pelampiasan hawa nafsu, sama sekali tak memiliki hal. Begitu pun dalam masyarakat Arab Jahiliyyah. Mereka menstigmatisasi perempuan sebagai sumber kefakiran dan kerendahan. Stigma ini kemudian yang melahirkan tradisi membunuh bayi perempuan hidup-hidup sebagaimana yang dinarasikan ayat di atas.

Baca juga: Mengenal Nabi Muhammad saw Lebih Dekat Melalui Al-Quran dan Hadis

Lalu, Nabi datang dan menyampaikan ayat itu pada umatnya, agar sadar tindakan mereka salah. Allah menutup firman-Nya itu dengan penjelasan bahwa yang mereka perbuat itu buruk. Berdasarkan satu riwayat dalam Tafsir al-Baghawi, frasa ala sa’a ma yahkumun di akhir ayat itu ditujukan pada penguburan bayi perempuan hidup-hidup.

Sementara itu, penghapusan kekerasan perempuan yang Nabi sabdakan sendiri antara lain berupa larangan memukul, yang ada pada riwayat Abdullah bin Za’mah dalam Fathul Bari:

عن عبد الله بن زمعة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يجلد أحدكم امرأته جلد العبد ثم يجامعها في آخر اليوم

“Dari Abdullah bin Zam’ah dari Nabi Saw., bersabda: “janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya layaknya memukul hamba sahaya, (padahal) ia menggaulinya di ujung hari”

Hadis ini disabdakan Nabi dalam konteks menyindir pada laki-laki yang memukul istrinya, yang harusnya dicintai. Dari sindiran ini, tampak bahwa Nabi mengajarkan untuk menjunjung martabat perempuan dengan larangan menginjak harga dirinya melalui praktik anarkistik.

Menumpas ketertindasan dan ketidakadilan

Penumpasan ketidakadilan Nabi sampaikan antara lain tentang perubahan ketentuan waris, yang asalnya hanya hak laki-laki, kemudian juga diberikan pada perempuan. Hal ini tampak pada firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 7:

لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan” (Q.S. An-Nisa [4]: 7)

Mengutip al-Wahidi dalam Asbabun Nuzul, ayat ini merespons Ummu Kujjah yang ditinggal mati suaminya, Aus bin Tsabit. Ia dan tiga putrinya terancam tidak dapat warisan karena waktu itu, perempuan tidak memiliki hak waris. Keponakan mediang suaminya yang bersikeras mengambil harta warisan itu memperparah kondisi Ummu Hujjah, hingga ia beranikan mengadu pada Nabi saw.

Baca juga: Mengapa Nama Nabi Muhammad Saw Sedikit Sekali Tersebut Oleh Al-Quran?

“Pulanglah dulu, sampai aku dapat jawaban dan Allah swt”, jawab Nabi Saw.

Lalu, ayat ini turun untuk menyerukan keadilan laki-laki dan perempuan dalam hak waris, sekaligus memberangus tradisi Jahiliyyah yang menindas perempuan.

Selain perihal waris, Nabi juga berupaya menghilangkan praktik pemaksaan pernikahan pada perempuan melaui sabdanya. Mengutip Faqihuddin Abdul Kodir dalam 60 Hadis Hak-hak Perempuan dalam Islam: Teks dan Interpretasi, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Buraydah dalam Sunan Ibnu Majah dan An-Nasa’i:

عن ابنِ بُريدةَ عن أبيهِ قالَ : جاءت فتاةٌ إلى رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وعلى آلِهِ وسلَّمَ فقالت : إنَّ أبي زوَّجني ابنَ أخيهِ ليرفعَ بي خسيستَه ، قالَ : فجعلَ الأمرَ إليها فقالت : قد أجزتُ ما صنعَ ولَكنِّي أردتُ أن أُعلِمَ النِّساءَ أن ليسَ إلى الآباءِ من الأمرِ شيءٌ

“Dari Ibnu Buraydah dari ayahnya. Sang ayah berkata: “ada seorang perempuan muda datang ke Nabi Saw, dan bercerita: “Ayah saya menikahkan saya dengan anak saudaranya untuk mengangkat derajat melalui saya”, Nabi Saw. memberikan keputusan akhir di tangan sang perempuan. Kemudian perempuan itu berkata: “Ya Rasulullah, saya rela dengan yang dilakukan ayah saya, tetapi saya ingin mengumumkan kepada para perempuan bahwa ayah-ayah tidak memiliki hak untuk urusan ini””

Budaya Arab pra Islam yang benar-benar tidak menyediakan ruang berbicara dan berpendapat bagi perempuan, diganti oleh hadis ini, yang mempertegas kewenangan perempuan untuk menentukan pilihannya. Tidak melulu bertekuk lutut pada apa kata lelaki. Hadis beserta ayat di atas sekaligus dapat kita pahami bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi baik melalui perantara firman-Nya, maupun sabdanya sendiri, sarat akan keadilan dan kesetaraan hak untuk laki-laki dan perempuan.

Defini maulid yang dituturkan Quraish Shihab di atas, mengajak kita untuk tidak memperingati maulid dengan hingar-bingar seremoninya semata. tetapi lebih jauh, dengan merenungi perjalanan Nabi saw. mensyiarkan Islam yang penuh kasih dan sayang untuk semesta. Perjalanan yang begitu beratnya dan tidak sebentar dalam menumpas kekerasan dan ketidakadilan sampai menjadikannya sebagai insan paling mulia. Shallu ‘Alannabiy.

Wallahu A’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...