Melihat Decentering Islamic Studies dari Kacamata Mushaf Nusantara

Salah satu mushaf di Museum Institut PTIQ Jakarta
Salah satu mushaf di Museum Institut PTIQ Jakarta

Decentering Islamic Studies merupakan tema utama dalam kolokium yang diadakan oleh Universitas Islam Internasional Indonesia pada 12-13 Juli 2022 lalu. Ada catatan menarik yang penulis ingin sajikan dalam artikel ringan ini.

Penulis bersama dua kolega (Alif Jabal Kurdi dan Muhammad Azka Rijal) dari Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta berkesempatan untuk mempresentasikan karya kolaborasi kami dalam acara tersebut. Acara dengan tema Decentering Islamic Studies: Towards New Approaches in The Study of Islam and Muslim Societies ini menerima paper kami yang berjudul Study of Qur’anic Manuscripts and Decentering of Islamic Studies: Unraveling the Lack of Attention to SEA Qur’anic Manuscript.

Baca juga: Menembangkan Al Quran: Manuskrip Macapat Tafsir Surah Al Fatihah dalam Aksara Jawa

Kolokium yang diselenggarakan tersebut merupakan langkah untuk mendiskusikan lebih lanjut dalam konteks kajian Islam global, khususnya kedudukan Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas muslim terbesar dunia. Secara sederhana, decentering Islamic Studies adalah upaya untuk memperjuangkan potret keislaman di berbagai wilayah sebagai suatu keotentikan. Maka, tidak bisa melihat Arab sebagai great tradition, sementara Indonesia dan potret Islam lainnya sebagai little tradition.

Mengutip salah satu liputan mengenai acara tersebut, Faried F. Saenong selaku ketua acara menyampaikan bahwa, “Decentering Islamic Studies pada dasarnya melanjutkan cita-cita ulama Nusantara dulu untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat studi Islam di dunia”, jelasnya.

Bagi kami, hal ini relevan dengan perhatian yang masih minim terhadap kajian mushaf Nusantara sebagai korpus penelitian dan konservasi.

Pengantar decentering Islamic studies

Decentering Islamic Studies perlu menjadi penekanan yang serius karena masih adanya dikotomi antara great tradition dan little tradition, menggunakan istilah dari Robert Redfiels. Nusantara, atau secara khususnya adalah Indonesia merupakan salah satu pemeluk Islam terbesar di dunia. Namun, dikotomi yang selama ini terjadi membuat Islam di wilayah Nusantara menjadi pelengkap saja.

Ini yang menurut Talal Asad patut dikritisi, karena setiap tradisi memiliki keunikannya masing-masing. Setiap tradisi tentu menampilkan ekspresi yang beragam akan keyakinannya pada Islam. Begitupun secara teologis, Islam hadir justru ingin mendobrak kelas-kelas sosial yang ada. Setiap pemeluk Islam dipandang secara sama tanpa ada yang direndahkan.

Baca juga: Mushaf Kuno dan Ekonomi Kreatif

Ekpresi atas Islam tentu ada beragam baik melalui tradisi lisan, teks, gambar, arsitektural, hingga upacara ritual. Tradisi teks apalagi, sebagaimana yang disebutkan Talal Asad bahwa Islam Diskursif tidak bisa dilepaskan dari teks. Begitupun yang disebut oleh Nasr Hamid Abu Zayd bahwa umat muslim menjalani kehidupan melalui peradaban teks (hadharatun nash). Teks kemudian bisa dimaknai secara luas, teks yang dalam dasar-dasar Islamic law bermakna sumber hukum terdiri dari Alquran, Hadis, Ijmak, dan Qiyas. Namun dalam konteks yang lebih umum, teks itu mencakup segala jejak yang ada, yang bersinggungan dengan Islam dan keislaman.

Menerka peradaban dari mushaf Nusantara

Khusus mengenai Alquran, ‘teks kitab suci’ ini disepakati oleh seluruh umat Muslim sebagai objek wajib dari rukun iman sekaligus pedoman kehidupan. Sayangnya, Alquran masih dilihat dalam konteks penafsiran dan diskursus isinya saja. Dalam artian, ada sisi Alquran yang tidak dilihat secara utuh oleh Umat Muslim dan para sarjana yaitu mushaf Alquran. Mushaf Alquran dianggap sebagai masa lalu yang telah lewat yang berhasil dituntaskan oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan. Pembahasan mushaf Alquran dianggap sudah selesai. Padahal ada banyak perkembangan yang terjadi, baik meliputi rasm, syakl, harakat, tanda waqaf, qiraat, hingga bentuk mushaf (manuskrip, cetakan atau digital).

Manuskrip Alquran juga selama ini mendapat perhatian berbeda, misalnya pendapat Filolog kolonial yang menganggap bahwa manuskrip Alquran Nusantara adalah salinan terburuk yang tidak otoritatif daripada manuskrip Alquran dari Timur Tengah –dalam keterangan British Library–. Dalam kajian filologi, banyak sarjana yang mendiamkan manuskrip Alquran Nusantara karena secara resmi mushaf Alquran sudah selesai dikanonisasi, bagi mereka tidak ada yang perlu dikaji lagi apalagi disunting.

Baca juga: Penulisan Al-Quran sebagai Awal Tradisi Intelektual Islam Menurut Ali Romdhoni

Keadaan tersebut tentu berbeda jika melihat kajian mushaf dari sisi lain dan tidak untuk menyunting teks Alquran. Kajian dengan pendekatan kodikologi yang mengupas segala aspek fisik naskah seperti kertas yang digunakan, iluminasi, sampul, tinta, dan lainnya menjadi bagian yang harus diperjuangkan dan menjadi perhatian serius. Begitupun paleografi yang menunjukkan perkembangan gaya penulisan manuskrip Alquran dari zaman ke zaman.

Bisa dibayangkan bagaimana jika manuskrip mushaf Nusantara dilihat sebagai tradisi yang utuh, maka akan tampak peradaban yang begitu kompleks dan memiliki keunikan sendiri. Sisi-sisi seperti ini menjadi bukti bahwa perlu melihat desentralisasi kajian Islam melalui mushaf Nusantara. Upaya yang dilakukan seperti menyemarakkan riset mushaf Nusantara dan menampilkan digitalisasinya merupakan langkah yang harus diapresiasi dan terus dikembangkan.

Wallahu a’lam