BerandaUlumul QuranMelihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Pertanyaan tentang “apakah Nabi menafsirkan ayat al-Qur’an seluruhnya dan telah menyampaikannya kepada para sahabat?” telah menyebabkan adanya dua kelompok yang berpandangan berbeda. Bagi pembaca Al-Tafsir wa Al-Mufassirun mungkin akan menarik jika melihat respon Adz-Dzahabi ketika menguraikan persoalan ini. Maka tulisan ini akan difokuskan untuk mengurai respons dan kritik Adz-Dzahabi atas dua pandangan yang berbeda tersebut.

(Baca: Apakah Nabi Menafsirkan Ayat Al Quran Seluruhnya atau Sebagian?)

Kelompok Pro

Menurut Adz-Dzahabi kedua kelompok tersebut memiliki kesalahan dalam menyimpulkan dalil. Kelompok Ibn Taimiyah yang merupakan kelompok pro terhadap pendapat bahwa Nabi menafsirkan keseluruhan al-Qur’an, dianggap telah melakukan istidlal bathil saat menjadikan Q.S. al-Nahl [16]: 44 sebagai dalil mereka. Baginya, tafsir Q.S. al-Nahl [16]: 44 adalah Nabi menjelaskan redaksi-redaksi yang musykil bagi para sahabat sehingga tidak bisa dimaknai dengan Nabi yang menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan.  

Sementara itu dalil kedua dianggap memiliki kelemahan sebab lafaz hadis itu dapat bermakna umum bahwa sahabat tidak hanya mempelajari al-Quran sampai paham isinya hanya dari Nabi saja. Mereka juga berlaku demikian tatkala belajar dengan sahabat lainnya yang lebih mumpuni. Dengan dipahami demikian maka respon ini juga mematahkan argumentasi ketiga di mana penguasaan sahabat atas al-Quran dan maknanya bisa saja tidak didapat langsung dari Nabi melainkan melalui sahabat yang telah disahkan oleh Nabi sebagai rujukan penafsiran seperti Ibn Abbas.

Kesimpulan pada dalil keempat juga dianggap keliru dalam mengambil pemahaman. Hadis yang menyatakan Nabi wafat sebelum menyampaikan tafsir ayat Riba’, tidak dapat dijadikan dasar jika pada setiap ayat yang turun Nabi selalu menjelaskannya. Adz-Dzahabi tetap berpegang pada prinsipnya bahwa Nabi hanya menafsirkan redaksi-redaksi yang dianggap musykil atau dipertanyakan oleh sahabat.

Kelompok Kontra

Hadis yang diriwayatkan Fatimah dan digunakan sebagai dalil pertama oleh kelompok ini dinilai oleh Adz-Dzahabi sebagai hadis munkar dan gharib. Penyebabnya adalah adanya seorang rawi yang bernama Muhammad ibn Ja’far al-Zubairi. Rawi ini dinilai tidak layak diikuti hadisnya oleh al-Bukhari serta dianggap munkir al-hadits oleh al-Hafidz Abul Fath al-Azdi. Status hadis ini memperlihatkan ketidaklayakan hadis ini dipakai sebagai dasar argumentasi.

Pada dalil kedua kelompok ini beranggapan bahwa Nabi hanya sedikit sekali menafsirkan al-Qur’an. Adz-Dzahabi pun menolaknya dan menyatakan bahwa banyak sekali tafsir Nabi yang dapat ditemui dalam kitab-kitab hadis. Ini menunjukkan bahwa redaksi musykil dalam pandangan sahabat tidaklah sedikit dan Nabi berkewajiban untuk memberikan penjelasannya.

Komentar terakhir dari Adz-Dzahabi bahwa ia menerima pendapat bahwa doa Nabi kepada Ibn Abbas merupakan simbol Nabi tidak menafsirkan al-Qur’an seluruhnya karena memberikan sahabatnya ruang untuk menjadi rujukan. Akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa Nabi sangat jarang menafsirkan al-Qur’an sebab adanya sahabat seperti Ibn Abbas. Bagaimanapun Nabi tetaplah pemegang otoritas utama penafsiran al-Qur’an pada saat itu.

Setelah merespon masing-masing pandangan, maka pendapat yang mana yang dipilih oleh Adz-Dzahabi?

Pilihan Adz-Dzahabi

Dalam urainnya, Adz-Dzahabi memilih menempatkan dirinya dalam posisi yang netral. Ia berpendapat bahwa Nabi memang tidak menafsirkan al-Qur’an secara keseluruhan namun juga tidak hanya menafsirkan dalam jumlah sedikit. Hal ini baginya dapat dibuktikan dengan menelusuri banyaknya riwayat penafsiran Nabi dalam kitab-kitab hadis.

Adz-Dzahabi melanjutkan bahwa Nabi tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an disebabkan oleh adanya pembagian tersendiri dalam makna al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Abbas bahwa, “tafsir terbagi pada empat level makna: level yang dapat diketahui oleh orang Arab sebab al-Qur’an berbahasa Arab, level yang mungkin dipahami oleh orang awam atau tidak pandai, level yang hanya dipahami Ulama dan level yang hanya diketahui oleh Allah”.

Atas dasar itulah Nabi hanya menafsirkan al-Qur’an pada redaksi yang memuat level makna ketiga ataupun yang diperkenankan Allah untuk menyampaikannya. Selain itu ada dalil lain yang diambilnya untuk menguatkan argumentasi bahwa Nabi tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an yakni perbedaan para sahabat terhadap takwil suatu ayat. Seandainya Nabi menyampaikan keseluruhan makna Al-Qur’an kepada para sahabat niscaya tidak akan didapati perselisihan di antara mereka mengenai makna ataupun takwil ayat. Wallahu a’lam

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...