BerandaKhazanah Al-QuranMelihat Tradisi Khataman Al-Quran Sebagai Objek Penelitian

Melihat Tradisi Khataman Al-Quran Sebagai Objek Penelitian

Khataman al-Quran menjadi salah satu tradisi yang bisa dibilang selalu ada dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Tetapi tahukah pembaca bahwa tradisi Khataman al-Quran bisa menjadi salah satu objek yang diteliti lebih mendalam? Khataman al-Quran tentu tidak serta merta begitu saja ada, tetapi ada latar belakang yang mendasarinya. Latar belakang itulah yang menjadi objek yang bisa untuk ditelusuri lebih jauh dalam aktivitas penelitian.

Fenomena khataman al-Quran adalah satu dari sekian banyak tradisi di Indonesia yang membawa al-Quran di dalamnya. Adapun Khataman al-Quran atau Khatmil Qur’an merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab. Khatm sendiri merupakan bentuk masdar dari khatama yang bermakna “menutup, menamatkan, menyelesaikan atau memberi stempel”. Maka tradisi Khataman al-Quran atau Khatmil Qur’an merupakan sebuah tradisi yang digelar sebagai bentuk rasa syukur terhadap terlaksananya aktivitas menamatkan al-Quran baik secara bacaan maupun hafalan.

Tradisi Khataman al-Quran ini tentu tidak begitu saja muncul di tengah masyarakat Indonesia. Dalam ilmu Living Qur’an, ada asumsi teoritis bahwa setiap sikap maupun tradisi yang membawa al-Quran di dalamnya merupakan bentuk dari fungsi performatif al-Quran. Sebelum dilanjutkan, mungkin perlu diperjelas apa itu Living Qur’an dan apa itu fungsi performatif.

Baca Juga: Anda Sedang Khataman Al-Quran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya

Nah Living Qur’an itu merupakan ilmu untuk mempelajari fenomena Qur’an in every day life (al-Quran dalam kehidupan keseharian). Sederhananya adalah ilmu yang melihat bagaimana al-Quran itu diresepsi dan mengilhami (dimaknai dan difungsikan dalam) berbagai bentuk perilaku masyarakat. Maka dari definisi tersebut, jelas bahwa tradisi Khataman al-Quran masuk ke dalam bagiannya.

Adapun yang dimaksud fungsi performatif adalah salah satu dari resepsi fungsionalis terhadap al-Quran. Fungsi performatif ini sendiri didefinisikan sebagai bentuk penerimaan masyarakat terhadap al-Quran yang kemudian dimanifestasikan atau diwujudkan dalam berbagai bentuk sikap dan perilaku (bisa disebut tradisi) di masyarakat. Maka dari definisi ini tepat jika Khataman al-Quran dimasukkan dalam kategori fungsi performatif.

Lalu setelah mengetahui kedua hal tersebut, maka ada asumsi teoritis lain yang perlu diketahui. Asumsinya bahwa fungsi performatif selalu dipengaruhi oleh nuansa sosial-budaya masyarakat sehingga satu tradisi yang sama di masyarakat bisa memiliki ragam perbedaan dalam perwujudan dan pelaksanaannya. Nuansa sosial-budaya ini dipengaruhi oleh konteks ruang dan waktu.

Sederhananya konteks ruang ini merupakan wujud geografis dan demografis yang mempengaruhi budaya suatu masyarakat, maka perbedaan ruang akan memicu perbedaan nuansa sosial-budaya. Misalnya jika membandingkan antara masyarakat Medan dan Yogya, tentu akan ditemukan perbedaan nuansa sosial-budaya di antara keduanya. Selanjutnya konteks waktu, maka yang dimaksud di sini adalah rentang zaman atau masa. Misalnya jika membandingkan antara zaman klasik dan modern atau zaman pra-reformasi dan reformasi, maka akan ditemui perbedaann di antara keduanya.

Maka variabel itulah yang perlu untuk ditelusuri secara mendalam dalam melihat fenomena Living Qur’an atau dalam hal ini adalah tradisi Khataman al-Quran. Sebab dengan melihat variabel tersebut, akan ditemukan ciri khas serta filosofi yang mendasari hadirnya suatu tradisi yang ada di masyarakat. Temuan ini akan memberikan kontribusi dalam mengembangkan dan menambah perbendaharaan referensi rujukan dalam ranah Living Qur’an.

Selain itu, melihat variabel tersebut juga dapat memberikan informasi lain yaitu dinamika pemaknaan yang ada di balik tradisi. Maksudnya adalah bahwa dengan perbedaan konteks ruang dan waktu juga memicu adanya asumsi bahwa masing-masing masyarakat memiliki pemakanaan tersendiri dalam setiap laku tradisi yang mereka jalankan.

Maka bisa saja masyarakat di daerah A memaknai tradisi Khataman al-Quran sebagai ekspresi rasa syukur semata, Namun masyarakat di daerah B memaknainya sebagai barometer atau standar derajat seseorang di masyarakat sehingga semakin meriah dan mewah acara yang digelar maka menandakan bahwa orang tersebut merupakan masyakat dengan golongan ekonomi menengah ke atas.

Begitupula jika dilihat dari sisi historis, bisa saja masyarakat A di zaman A memaknai tradisi Khataman al-Quran sebagai kewajiban untuk mengapresiasi usaha buah hatinya. Namun ternyata setelah pergantian zaman, masyarakat A yang sudah berada di zamman B memaknainya sebagai ajang adu gengsi. Dari sisi ini akan ditemui bahwa makna bisa saja terus mengalami dinamika perubahan, meskipun tradisi yang dijalankan tetap sama secara tata cara dan ketentuan-ketentuannya.

Baca Juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran

Untuk menganalisis variabel yang telah diuraikan tadi, perlu adanya sebuah pisau analisis yaitu teori sebagai landasan untuk menyusun argumentasi ilmiah. Teori yang populer dijadikan sebagai pisau analisis dalam ranah kajian Living Qur’an adalah teori-teori sosiologi-antropologi yang berkaitan dengan transmisi dan transformasi pengetahuan, konstruksi sosial serta fenomenologi dan makna. Teori-teori tersebut bisa ditemui penerapan langkah-langkahnya dan dirujuk dengan membaca jurnal-jurnal ilmiah yang membahas fenomena sosial-budaya.

Jadi apa yang ingin dibagikan dalam tulisan ini adalah cara pandang seorang akademisi. Maka untuk menjadi seorang akademisi, jangan pernah menganggap sesuatu hal yang biasa adalah hal yang biasa. Sebab bisa saja sesuatu hal yang biasa tersebut memiliki sisi-sisi yang bisa dikulik dan dijadikan sebagai academic problems atau rumusan masalah penelitian ilmiah akademik. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU