Kesimpulan dan Pelurusan
Millah Ibrahim ini adalah buku yang ditulis oleh salah satu ideolog ISIS, Abu Muhammad al-Maqdisiy, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Aman Abdurrahman, Amir JAD. Buku ini menjadi bahan wajib doktrinasi kelompok teror yang terafiliasi dengan ISIS.
Intisari dari buku ini adalah propaganda untuk mengikuti sesuatu yang dikonsepsikan dan diklaim sebagai ajaran Nabi Ibrahim, yang menurut mereka berupa memusuhi dan memerangi kekafiran secara terbuka dan keras, bahkan melibatkan serangan fisik, sebagaimana Nabi Ibrahim menghancurkan patung berhala. Ini dalam bahasa mereka diistilahkan juga dengan ajaran al-Wala’ wa al-Bara’, suatu istilah keislaman yang baru dan tidak dikenal oleh mayoritas umat Islam.
Buku ini keliru secara konsep keislaman karena banyak hal, di antaranya adalah kesalahan dalam menempatkan konteks pemaknaan setiap peristiwa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, mengambilnya secara sepotong dan membelokkan maknanya secara subjektif dalam versi rekaan yang paling keras.
Baca juga: Meluruskan Doktrin ‘teror’ Millah Ibrahim (Bagian 1)
Misalnya saat Ibrahim menghancurkan patung berhala yang ada di kampungnya. Saat itu Ibrahim masih berusia 16 tahun dan belum diutus menjadi nabi, tentu saja belum mengemban wahyu sehingga status ucapan maupun perbuatannya sama seperti manusia umumnya, yang tidak ada konsekuensi harus diikuti baik ucapan maupun perbuatannya. Di sisi lain syariat Islam sebagai risalah terakhir yang telah menghapus risalah-risalah sebelumnya, secara tegas melarang penghancuran tempat ibadah apa pun, baik masjid, gereja maupun sinagoge (Q.S. Al-Hajj: 40).
Buku ini juga secara tidak adil membuang dan meninggalkan ayat-ayat lain dalam Alquran yang juga berbicara tentang sisi lengkap Nabi Ibrahim. Misalnya tentang kelembutan dan kesantunan Nabi Ibrahim, yang tergambar dalam sikap dan caranya dalam menyampaikan dakwah kepada ayahnya, Azar, yang merupakan seorang pembuat, penjual, sekaligus penyembah patung berhala. Ibrahim menyampaikannya berulang-ulang dengan kelembutan tanpa ada kata kasar sama sekali, apalagi kekerasan. Ibrahim bahkan tidak marah saat ayahnya menolak dakwahnya. Dengan kelembutan, Ibrahim berkata:
“Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan bagimu. Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia Mahabaik kepadaku.” (Q.S. Maryam: 47).
Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim
Di sisi lain, Nabi Ibrahim adalah sosok yang sangat pemurah, terutama terhadap tamu, siapa pun bahkan tamu yang tidak dikenal, tidak diketahui apa agama dan akidahnya. Nabi Ibrahim bahkan tidak pernah makan siang atau malam, kecuali ada tamu yang menemaninya. Ia rela berjalan berkilo-kilo untuk mencari tamu agar dapat makan bersamanya. Karena itu Ibrahim dijuluki sebagai Khalilullah (kekasih Allah).
Alquran juga menggambarkan Nabi Ibrahim sebagai sosok yang berakhlak tinggi, penyabar, dan tidak marah saat berhadapan dengan orang-orang yang tidak berilmu:
“Sesungguhnya Ibrahim benar-benar seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (Q.S. Al-Taubah: 114).
Baca juga: Deskripsi Alquran tentang Nabi Ibrahim di Beberapa Surah
Selain fakta-fakta kebaikan Nabi Ibrahim di atas yang bertolak belakang dengan klaim kekerasan dan kebrutalan buku Millah Ibrahim ini, juga perlu diingat fakta bahwa 3.000-an tahun setelah kehidupan Nabi Ibrahim, Allah telah mengutus Nabi Muhammad saw. untuk membawa risalah terakhir dan menggantikan risalah semua nabi sebelumnya, di mana konsekuensinya adalah, bagi umat Islam hanya ada satu syariat yang berlaku, yaitu syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Sebagai penutup, karena buku ini telah mengilhami dan mendorong banyak orang melakukan tindakan kekerasan dan teror, baik fisik maupun nonfisik, maka wajib bagi negara untuk membatasi dan mencegah berkembangnya ajaran buku ini di tengah masyarakat, untuk menghindari lahirnya pelaku teror baru korban penyesatan doktrinasi yang keliru, serta menjamin keamanan dan kenyamanan masyarakat yang lebih luas. Buku semacam ini mencederai citra agama dan berlawanan dengan semangat agama dan cita-cita Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.