Al-Quran telah menghiasi kehidupan manusia, khususnya umat muslim dalam kehidupannya selama berabad-abad sejak diwahyukan. Definisi mayoritas terhadap al-Quran sebagai kalamullah telah mengantarkan al-Quran pada kedudukan yang tinggi (sakral) dan disucikan.
Penilaian “sakral” pada al-Quran telah membawanya pada variasi penyikapan umat Islam terhadapnya. Dalam sejarah arsitektur Islam, al-Quran yang diekspresikan dalam bentuk tulisan (kaligrafi) banyak digunakan sebagai hiasan interior maupun eksterior yang secara hakiki fungsinya tidak hanya sebagai hiasan melainkan simbol yang menandai bahwa bangunan itu merupakan bangunan yang sakral (masjid) atau tempat yang terhormat seperti istana kerajaan.
Sakralitas al-Quran juga yang membawa penyikapan umat Islam untuk selalu menempatkan Kaligrafi tersebut di bagian atas ruangan sebagai simbol bahwa kemuliaan kalam Ilahi ini di atas segalanya. Sikap ini juga sekaligus mencegahnya diperlakukan dengan tidak pantas, seperti diinjak atau disejajarkan dengan benda-benda yang secara “level” ada di bawahnya.
Baca Juga: Tiga Tantangan Pembelajaran Tafsir Menurut Quraish Shihab
Salah satu ayat al-Qur’an, telah memicu respon berbagai dimensi umat Islam, ada yang menekankan bahwa sebelum berinteraksi dengan al-Qur’an, umat Islam harus menyucikan dirinya terlebih dahulu sebab al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang suci.
Q.S al-Waqi’ah [56]: 77-79:
اِنَّهٗ لَقُرْاٰنٌ كَرِيْمٌۙ فِيْ كِتٰبٍ مَّكْنُوْنٍۙ لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ
dan (ini) sesungguhnya Al-Qur’an yang sangat mulia, dalam Kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh), tidak ada yang menyentuhnya selain hamba-hamba yang disucikan.
Aspek “kesucian diri” ini pun mendapatkan respon yang berbeda-beda, ada yang menekankan bahwa umat Islam harus suci secara rohani agar dapat memahami kalam Tuhan ini, adapula yang memahaminya sebagai praktik penyucian jasmani dengan berwudhu.
Kemuliaan dan kesucian al-Qur’an tidak hanya berdampak pada penilaiannya sebagai sesuatu yang “sakral” dan tidak sembarang orang boleh mendekatinya. Namun juga berdampak pada pemahaman bahwa kalam Tuhan yang “sakral” ini dapat dijadikan sebagai obat yang mujarab bagi penyucian (penyembuhan) manusia dari segala penyakit. Sebagaimana budaya beberapa masyarakat yang menilai bahwa sesuatu yang “sakral” memiliki sisi magis yang dapat menjadi obat dan penyembuh segala penyakit.
Baik itu penyakit yang non-metafisis (penyakit dalam dunia medis) maupun yang metafisis (penyakit non-medis seperti kejinan/ kesurupan). Sebagaimana bisa disaksikan dalam riwayat surah muawwidzatain (al-Falaq dan al-Nas) yang menceritakan lepasnya sihir dari Nabi setelah membacanya. Bahkan Allah sendiri juga menegaskan bahwa al-Qur’an adalah obat atau penawar yang Dia turunkan, sebagaimana salah satunya dalam Q.S. al-Isra [17]: 82:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ
Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman
Kemudian perihal masalah eskatologis (perihal hal-hal seperti kematian, hari akhir, dan kebangkitan pasca mati), al-Qur’an juga menjadi bekal “sakral” untuk menghadapinya nanti. Umat Islam meyakini bahwa ada surah-surah tertentu dalam al-Qur’an (berdasar pada berbagai hadis mengenai faidah al-Qur’an dari sisi eskatologis) yang memiliki spirit khusus dan dapat menjadi teman sekaligus penolongnya dalam perjalanan setelah kematian. Maka salah fenomena yang sejak dulu sampai saat ini terus berlangsung adalah hadirnya majelis-majelis al-Qur’an.
Selanjutnya mari melihat bahasa yang digunakan al-Qur’an. Bahasa Arab yang digunakan sebagai mediator komunikasi antara pesan-pesan Tuhan dengan manusia dalam al-Qur’an, juga membawa implikasi bagi sikap umat Islam terhadapnya. Bahasa Arab dianggap sebagai simbol identitas umat Islam. Anggapan ini terekspresikan secara empiris dari banyaknya negara-negara mayoritas Islam (yang bukan dari jazirah Arab) yang menkonversi dan mengadopsi kosa kata bahasa Arab.
Baca Juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya
Penguasaan bahasa Arab juga dijadikan standar bagi seorang intelektual dalam upaya memahami al-Qur’an. Bahkan dalam pemberian nama, banyak kosa kata bahasa Arab yang termaktub dalam al-Qur’an yang dijadikan sebagai inspirasi dalam pemberian nama seorang anak. Dalam percakapan umat Islam, ungkapan-ungkapan bahasa Arab yang tertulis dalam al-Qur’an juga sering dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, semisal, insyaallah, alhamdulillah, allahu akbar, ma sya allah dan lain sebagainya.
Sakralitas al-Quran yang dinilai oleh umat Islam, telah membawa mereka pada berbagai penyikapan terhadapnya. Berbagai penyikapan ini tak jarang berkembang dari generasi ke generasi dan menjadi budaya turun-temurun. Maka tidak heran jika antara satu tempat ke tempat lain akan ditemukan berbagai macam ekspresi penyikapan atas sakralitas al-Quran. Sebab masing-masing tempat memiliki budaya dan masing-masing budaya memiliki ciri khas.
Fenomena inilah yang dalam kajian Living Qur’an dianggap sebagai resepsi. Masing-masing resepsi atau penilaian atas al-Qur’an oleh umat Islam baik itu berdasar pada landasan yang valid (hadis maupun atsar) maupun atas kreativitas manusia itu sendiri merupakan objek yang menarik untuk dikaji dan diteliti. Bukan untuk menemukan benar/salah, namun untuk menyingkap filosofi dan makna yang ada di baliknya. Wallahu a’lam.