BerandaTafsir TematikMemaknai Surah al-Nahl Ayat 125 dalam Konteks Quranic Parenting

Memaknai Surah al-Nahl Ayat 125 dalam Konteks Quranic Parenting

Surah al-Nahl [16]: 125 sejatinya memuat inspirasi dakwah Qur’ani di mana al-Qur’an memberikan tiga langkah yang bijak dalam berdakwah. Namun dalam tulisan kali ini tiga langkah tersebut akan dijadikan sebagai pijakan inspiratif dalam mengaktualisasikan Quranic Parenting (metode pendidikan dalam ranah rumah tangga).

Alasan mendasar yang menjadikan ayat ini juga cocok dalam konteks Quranic Parenting adalah bahwa anak merupakan objek dakwah bagi orang tuanya. Orang tua memiliki kewajiban untuk mengajak anaknya dan menuntunnya pada hal-hal prinsipil sebagai seorang muslim.

Berikut lafadz dan terjemah dari Q.S. al-Nahl [16]: 125:

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.

Pada artikel yang pernah saya tulis mengenai ayat ini, ada tiga langkah bijak dalam mengajak dan menuntun seseorang. Ketiga langkah tersebut ialah hikmah, mauidzhah hasanah dan husnul jadl. Untuk memperjelas aktualisasi dari ketiga langkah tersebut dalam ranah Quranic Parenting, masing-masing langkah akan diuraikan secara ringkas.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Membudayakan Mauidzah Hasanah dalam Pendidikan Islam

Pertama, dalam upaya ud’u ila sabil rabbik bil hikmah, anak harus diberikan pendidikan tauhid sejak dini lewat teladan orang tua. Dalam bahasa arab, anak dapat dipadankan dengan kata ibn yang masih satu akar dengan kata bana yang bermakna membangun atau berbuat baik. Maka anak dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan yang harus dibangun dengan pondasi yang kokoh agar tidak goyah ditimpa badai maupun guncangan.

Dalam mengaktualisasikan poin pertama tersebut, orang tua memiliki tanggungjawab untuk memberikan teladan. Semisal orang tua harus memperlihatkan bahwa mereka melaksanakan kewajibannya sebagai umat beragama dengan baik dan tidak pernah melalaikannya. Dengan begitu anak akan menilai bahwa apa yang dicontohkan oleh orang tuanya merupakan hal prinsipil sebagai umat beragama dan mereka pun akan menirukannya.

Kedua, dalam rangka pemberian pengajaran (mau’idzah hasanah) mengenai hal-hal prinsipil dalam Islam, hendaklah orang tua menggunakan bahasa yang baik dan penuh kasih sayang sebagai bentuk kedekatan secara psikologis. Dalam al-Qur’an kita menemukan penggunaan term bunayya yang merupakan isim tashgir dari ibn, yang memiliki faidah al-iqtirab (kedekatan).

Misalnya ketika Nabi Nuh memanggil anaknya agar ikut menaiki perahunya (Q.S al-Hud: 42), ketika Luqman menasehati anaknya (Q.S Luqman: 13), dan ketika Nabi Ya’qub menasehati anaknya, Nabi Yusuf, agar tidak menceritakan mimpinya kepada saudara-saudaranya (Q.S Yusuf: 5).

Begitulah seharusnya komunikasi yang terjalin antara orang tua dengan anaknya, yakni dengan hubungan yang penuh kedekatan, yang mengedepankan kelembutan dan kasih sayang. Bukan hubungan yang menonjolkan kekerasan dan kebencian. Sebab anak laksana cermin, jadi perilaku orang tua kepadanya akan sangat mungkin dibalas sama.

Ketiga, menerapkan model pendidikan demokratis (jadilhum billati hiya ahsan). Model pendidikan ini sangat efektif terutama dalam membangun kesepahaman antara orang tua dan anak yang sudah menerima pendidikan formal di sekolah. Model dialog ini pun juga harus ditempuh dengan cara yang ramah dan santun serta penuh kejujuran. Seperti halnya yang diperagakan oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail, yang digambarkan dalam Q.S al-Shaffat: 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Story Telling, Metode Pendidikan Islam Paling Ampuh

Tentunya sebuah dialog seperti ini tidak akan terjadi jika sebelumnya tidak diajarkan dan dibiasakan dalam kehidupan keluarga, ini juga yang dikatakan oleh Quraish Shihab dalam tafsirnya.

Berkat pendidikan yang dibangun dengan pondasi keagamaan yang baik serta dengan metode penyampaian yang baik maka terbukti akan mencetak seorang anak yang shalih dan berkarakter (qurrata a’yun), seperti halnya Nabi Ismail. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...