Salah satu ulama terkemuka yang menjadi rujukan penting dalam perjalanan kajian Al-Qur’an, termasuk di Indonesia, adalah Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Karya-karya yang ia tulis tidak kurang dari lima ratus kitab dengan berbagai disiplin keilmuan seperti disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an, Ulumul Hadis, Fiqh, Ulumul Balaghah, Sejarah, Adab, Tasawwuf, Fiqh Lughah, Nahwu, dan lainnya.
Di sini, saya akan berfokus pada kontribusi As-Suyuthi terhadap kajian Al-Qur’an, terumata dari sisi pembacaan konteks Al-Qur’an. Karena itu, saya akan memilih disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an. Pemilihan ini berdasarkan fakta bahwa As-Suyuthi lebih marak dirujuk dalam disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an daripada disiplin keilmuan lainnya.
Selain itu, hal ini juga berdasarkan fakta awal Al-Qur’an ketika diwahyukan oleh Allah SWT lalu ke Malaikat Jibril lalu ke Nabi Muhammad SAW hingga masyarakat Arab, yang dalam proses penyampaian tersebut terikat erat degan konteks bangsa Arab era pewahyuan. Tetapi, seiring perkembangannya, pemahaman konteks Al-Qur’an mulai ditinggalkan, dan banyak yang hanya berfokus pada teks tulis Al-Qur’an.
Biografi dan Tiga Karya Fenomenalnya
Imam Jalaluddin As-Suyuthi dilahirkan di daerah Asyuth, Mesir, pada tahun 849 H/ 1445 M dan wafat pada 911 H/1505 M. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman ibn Kamal ibn Abu Bakr ibn Muhammad Sabiqudin ibn Fakhr Utsman ibn Nazirudin Muhammad ibn Saifudin ibn Hadir ibn Najmudin ibn Shalah Ayub ibn Nashirudin ibn Muhammad Ibn Syaikh Hamamuddin Al-Hamam Al-Hudhairi Al-Suyuthi Al-Syafi’i (As-Suyuthi, 2007).
Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif
Ayahnya berasal dari keturunan Persia, ia dikenal sebagai keturunan terakhir dari keluarga Hamamuddin yang tinggal di As-Suth. Sementara ibunya berasal dari Sikasian yang merupakan salah satu etnis di daerah Sirkasia yang terletak di Kaukasus Utara. Sebelum pindah ke Mesir, leluhurnya berasal dari Al-Khudairiyya di Baghdad. Namanya sebagai As-Suyuthi menjadi penanda bahwa ia dilahirkan dan besar di As-Suyuth, Mesir (Yusrin Abdul Ghani Abdullah, 2004).
Mengenai karya-karyanya, tiga karya yang paling fenomenal adalah Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul (2002), Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (2007), dan Tafsir Jalalain (1999) yang semuanya berada dalam disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an. Kitab Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul merupakan kitab yang menjelaskan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, yang tergolong besar selain kitab Asbab Nuzul Al-Qur’an (1991) karya Al-Wahidi.
Sementara, kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an merupakan kitab yang membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, yang tergolong besar dan komprehensif selain kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (2006) karya Az-Zarkhasyi. Adapun kitab tafsir Jalalain yang ditulis bersama Jalaluddin Al-Mahalli (764-891 H) menjadi kitab yang terbilang ringkas tetapi sangat populer digunakan dari berbagai kalangan.
Kehidupan dan tiga karya fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi tersebut mengindikasikan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengaruh dan memiliki sumbangsih besar dalam perjalanan kajian Tafsir dan Ulumul Qur’an. Jasanya terus mengalir dalam kajian Al-Qur’an, di antaranya adalah upaya menggali pemahaman konteks Al-Qur’an yang termuat dalam kitab-kitab tersebut.
Membaca Konteks Al-Qur’an
Tiga kitab Jalaluddin As-Suyuthi di atas saling terkait satu sama lain yang dapat kita ambil benang merahnya pada pemahaman konteks Al-Qur’an. Bahkan, ketiga kitab tersebut menempatkan diskusi konteks Al-Qur’an sebagai bagian sangat penting.
Di dalam kitab Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul, kita disajikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dari berbagai riwayat. Di sana, kita akan memahami bahwa sebuah ayat Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW kemudian kepada masyarakat Arab yang terikat pada konteks tertentu.
Dari sini, ulama Al-Qur’an kemudian melahirkan sebuah kaidah bahwa Al-Ibrah bi Khusus Al-Sabab, la bi Umumil Lafdz. Dengan kata lain, memahami Al-Qur’an penting dilibatkan mengenai konteks pewahyuannya.
Lebih jauh, Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul seringkali menjelaskan sebab turunnya Al-Qur’an dengan mengemukakan lebih dari satu konteks. Upaya As-Suyuthi ini memberi dua pemahaman: (1) satu ayat kerapkali diwahyukan lebih dari sekali, dan (2) satu ayat dapat dipahami dan dikaitkan pada beberapa konteks.
Misalnya, ketika menjelaskan sebab turun QS. Al-Baqarah [2]: 256, As-Suyuthi mengemukakan dua riwayat yang menunjukkan dua konteks sebab turunnya surah tersebut. Konteks pertama adalah seorang ibu yang hendak memaksa anaknya masuk Islam (As-Suyuthi, 2002). Konteks kedua adalah Al-Hushain (seorang Ayah) yang hendak memaksa anaknya masuk Islam (As-Suyuthi, 2002).
Kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an menyajikan ilmu-ilmu yang digunakan dalam memahami Al-Qur’an. Sebenarnya, di dalam kitab tersebut memuat ilmu yang terkait teks tulis Al-Qur’an, dan ilmu yang terkait konteks Al-Qur’an. Namun, posisi pentingnya pembacaan konteks dalam kitab tersebut akan disadari jika dilihat penempatan diskusi konteks oleh As-Suyuthi yang ditempatkan pada bab-bab awal.
Ini mengindikasikan bahwa sebelum memahami ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya, terlebih dahulu penting memahami konteks pewahyuan Al-Qur’an. Lebih jauh, upaya yang dilakukan oleh As-Suyuthi tersebut juga mengindikasikan bahwa pemahaman konteks Arab dan wahyu (Al-Qur’an) merupakan dua hal yang terkait erat dalam memunculkan pemahaman yang utuh terhadap pesan Ilahi.
Adapun diskusi konteks yang dimaksud dalam kitab Al-Itqan di antaranya adalah wahyu yang disampaikan di Mekkah dan Madinah; wahyu yang disampaikan saat menetap dan perjalanan; wahyu yang disampaikan saat siang dan malam; wahyu yang disampaikan di musim panas dan dingin; wahyu yang disampaikan di tempat tidur dan selama Nabi tidur; wahyu yang disampaikan di bumi dan langit; dan seterusnya (As-Suyuthi, 2007).
Kitab Tafsir Jalalain dapat disebut sebagai praktik atau penerapan pertemuan wahyu dan diskusi konteks. Meski terbilang ringkas, tetapi tafsir Jalalain sangat sering mengungkap pembacaan konteks Al-Qur’an dalam menjelaskan pemahaman sebuah Ayat.
Misalnya, ketika menafsirkan ‘yang berhak memegang kunci Ka’bah’, sebagaimana tersirat ketika disampaikan QS. An-Nisa [4]: 58, As-Suyuthi mengemukakan konteks pewahyuannya sehingga jelaslah bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah Usman ibn Thalhah (As-Suyuthi, 1999).
Dalam kasus ayat lainnya, QS. ‘Abasa misalnya, terjemahan ayat tersebut mengatakan “Dia berwajah masam dan berpaling”. Terjemahan ini tidak jelas tentang siapa yang bermuka masam? Mengapa dia bermuka masam? Dan kepada siapa ia bermuka masam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya dapat terjawabkan melalui pembacaan konteks pewahyuannya.
Baca Juga: Tafsir Al-Jalalain tentang Surah Al-Ahzab Ayat 37 dan Beberapa Komentar Atasnya
Di sini, As-Suyuthi mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan teguran Allah SAW kepada Nabi Muhammad SAW yang bermuka masam kepada Abdullah ibn Ummi Maktum. Ini terjadi karena Nabi Muhammad SAW mengabaikan permintaan Abdullah ibn Ummi Maktum untuk belajar tentang Islam (As-Suyuthi, 1999).
Bagi kita, paparan konteks Al-Qur’an di atas dapat dikaitkan. Kitab tafsir Jalalain sebagi produk penafsiran yang ketika proses penafsirannya membutuhkan kitab Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul yang ilmunya terdapat pada kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.
Dari paparan pembacaan konteks Al-Qur’an melalui tiga karya fenomenal di atas dapat dipahami bahwa Imam Jalaluddin As-Suyuthi sangat mengedepankan dan mementingkan adanya pemahaman konteks ketika hendak memahami sebuah ayat Al-Qur’an. Dengan pemahaman konteks tersebut, maka pemahaman Al-Qur’an dapat ditemukan dan dirasakan secara utuh. [] Wallahu A’lam.