Dalam ayat-ayat Alquran, terkadang Allah menggunakan lafal yang bersifat global (mujmal) dan universal, dengan tujuan agar Alquran dapat terus berdialog dengan realitas kehidupan dan senantiasa menjadi pedoman manusia. Implikasinya, hal ini menyebabkan makna dari lafal tersebut tidak dapat dipahami secara langsung oleh akal manusia.
Dari sinilah ulama ushul fikih -yang memang berperan untuk menguak, merumuskan, dan mengorbitkan sebuah kaidah hukum Islam yang ada dalam nas-nas syariat- menciptakan sebuah teori yang bernama mujmal.
Baca Juga: Tidak Semua Lafal Mudah Dipahami: Mengenal Lafal-Lafal Khafi ad-Dalalah dalam Al-Quran
Definisi dari mujmal sendiri banyak terdapat dalam kitab-kitab usul fikih, salah satunya dalam kitab Ilmu Usul Fikih (hal. 152), karya Abdul Wahab Khallaf yang menjelaskan bahwa mujmal adalah sebuah lafal yang belum jelas maknanya, serta tidak dapat dipahami dengan hanya semata-mata memahami dari teks yang ada. Juga tidak ada faktor yang mampu menjelaskannya, baik dari indikasi lafal (قرينة لفظية ) mau pun ihwal keadaan (قرينة حالية ).
Artinya, kemusykilan tersebut murni ditimbulkan dari lafal tersebut, bukan sebab sesuatu yang baru datang. Selain itu, lafal mujmal sendiri memiliki beberapa kemungkinan makna yang tarafnya setara dan tidak ada yang lebih diunggulkan.
Terkait lafal-lafal dalam Alquran apakah termasuk kategori mujmal atau tidak, terklasifikasi menjadi dua bagian. Ada teks yang disepakati termasuk golongan mujmal, dan ada yang masih diperdebatkan terkait kemujmalan lafal tersebut.
Contoh dari ayat yang masih debatable dalam internal ulama ushul fikih terdapat dalam kitab Ghayah al-Wushul, salah satunya, seperti dalam potongan surah Almaidah (5): 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا
Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.
Salah satu pendapat mengatakan bahwa ayat di atas mengandung dua kemusykilan, sehingga layak digolongkan ayat mujmal. Kebingungan pertama, karena ayat di atas menggunakan kata “يد” secara mutlak, maka masih belum jelas standarisasi ukuran tangan yang wajib dipotong. Apakah seukuran lengan, atau mulai dari jari sampai siku, atau bisa saja seluruh tangan hingga lengan yang dimaksud ayat tersebut. Sementara, kemusykilan kedua terletak pada lafal “القطع” yang mengarah pada dua kemungkinan, yakni dengan memotong dengan sekali tebas, atau dengan dilukai.
Akan tetapi, kemusykilan-kemusykilan tersebut dibantah dengan tegas oleh pengarang kitab tersebut, yakni Syekh Zakariyya Al-Anshari. Beliau mengatakan bahwa kata “يد”, sudah mendapat legitimasi dari adat (‘urf) yang berlaku saat itu, yakni mulai dari ujung jari hingga lengan. Sementara, terkait teks ” القطع “, telah mendapat penjelasan dari syari’ itu sendiri, yakni Nabi Muhammad, yang ketika melakukan praktik dari perintah ayat di atas dengan sekali tebas, bukan melukai.
Sementara, contoh dari lafal Alquran yang telah disepakati masuk dalam kategori mujmal, seperti dalam potongan surah Albaqarah (2): 228, yang membahas terkait ketentuan ‘iddah seorang perempuan:
وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ
Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’.
Titik perdebatan dalam ayat tersebut ada pada lafal قُرُوْۤءٍۗ, yang memiliki dua makna sekaligus. Kalangan Syafi’iyyah memaknai teks tersebut dengan arti suci, sementara kubu Hanafiyyah mengartikannya sebagai masa haid. Jika menurut Syafi’iyyah habisnya masa ‘iddah -bagi perempuan yang haid- jika telah memasuki masa suci yang ketiga, maka Hanafiyyah mengatakan sebaliknya, yakni selesainya iddah ketika masuk masa haid yang ketiga.
Baca Juga: Rincian Fungsi Hadis sebagai Penjelas Alquran
Syekh Wahbah Az-Zuhaily menuturkan terdapat tiga macam sebab-sebab lahirnya lafal mujmal, dalam kitabnya Al-Wajiz fi Usul al-Fiqhi (hal. 186). Pertama, yakni sebab lafal tersebut memiliki banyak makna (isytirak), di samping tidak ada indikator yang mampu menentukan satu makna dari beberapa makna tersebut. Contoh lainnya seperti dalam Albaqarah (2): 237:
اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِۗ
Atau jika mereka atau pihak yang memiliki kewenangan nikah membebaskannya.
Ayat di atas, berbicara mengenai kewajiban suami yang harus membayar separuh mahar ketika ia bercerai dengan istrinya yang belum disentuh, sementara ia telah menentukan mahar di awal akad. Dan suami dapat bebas dari mahar jika dibebaskan oleh pihak yang berwenang, seperti disinggung teks di atas. Akan tetapi, di sini masih ambigu terkait siapa sebenarnya yang memiliki hak (wewenang), apakah istri atau wali dari si istri. Oleh karena itu, ayat di atas masuk kategori ayat yang mujmal.
Kedua, terdapat lafal-lafal dalam Alquran yang asing dalam literatur bahasa Arab. Salah satu contohnya, yakni lafal اَلْحَاۤقَّةُۙ dan اَلْقَارِعَةُۙ, yang tidak dapat diambil mafhum sama sekali. Dan ketika telah menelaah ayat-ayat yang lain, maka kedua ayat ini diartikan sebagai “hari kiamat”. Ketiga, lafal-lafal yang dipindah dari makna lughawi kepada makna syar’i. Semisal lafal salat, zakat, dan puasa yang sebelumnya dipahami secara bahasa, dialihkan pada makna syariat setelah adanya penjelasan dari Sunah Nabawiyah.
Lafal-lafal mujmal yang telah dijelaskan di atas, tidak dapat dihilangkan, kecuali telah mendapat penjelasan ulang dari syariat. Oleh karena itu, maka mau tak mau para mujtahid harus mencari penjelasannya langsung dari Alquran dan Hadis. Jika teks yang mujmal sudah dijelaskan secara rinci -oleh syariat- sehingga hilang kemusykilannya, maka ia berubah status menjadi mufassar atau mubayyan yang berarti “telah dijelaskan”.
Akan tetapi, jika penjelasan yang ada tidak mampu menghilangkan kebingungan secara keseluruhan, maka derajat mujmal berubah menjadi musykil. Dan disinilah urgensi peran orang-orang yang memiliki kredibilitas dalam bidang ijtihad -mujtahid- dibutuhkan, untuk membahas dan menjelaskan kemusykilan lafal tersebut.