BerandaKisah Al QuranMemuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban: Intisari Doa Asiyah Binti Muzahim

Memuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban: Intisari Doa Asiyah Binti Muzahim

Salah satu perempuan yang dimuliakan oleh Allah swt dan diabadikan namanya dalam Al-Quran adalah Asiyah binti Muzahim. Ia merupakan istri Fir’aun, dan ibu asuh Nabi Musa a.s. Ia merupakan satu dari sekian nama yang dicatat oleh Allah swt akan keimanannya yang sangat tangguh dan pengorbanannnya yang begitu besar.

Maka tak heran sesungguhnya tema International Women Day 2021 tempo lalu adalah “choose to challenge” (dari tantangan menuju perubahan). Dalam konteks ini, Asiyah binti Muzahim menemukan relevansinya di sini. Asiyah adalah perempuan yang tidak hanya sekadar dipenuhi tantangan dan pilihan yang sulit, namun tetap struggle, tetap berpendirian teguh memegang keyakinannya. Inilah makna sesungguhnya peringatan International Women Day itu.

Sungguhpun demikian, memuliakan perempuan berarti memuliakan peradaban sejatinya telah disiratkan-Nya dalam Q.S. al-Tahrim [66]: 11,

وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوا امْرَاَتَ فِرْعَوْنَۘ اِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِيْ عِنْدَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ وَنَجِّنِيْ مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهٖ وَنَجِّنِيْ مِنَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَۙ

Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun, ketika dia berkata, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir‘aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim,” (Q.S. al-Tahrim [66]: 11)

Baca juga: Term Fasad dan Pemaknaannya dalam al-Qur’an, dari Penyimpangan sampai Kerusakan Lingkungan

Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 11

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Thabari menafsirkan ayat ini bahwa Allah Swt membuat perumpamaan bagi orang-orang yang shiddiq (jujur) dan mengesakan-Nya, istri Fir’aun yaitu Aisyah binti Muzahim adalah wanita yang benar-benar beriman kepada Allah swt dan mengesakan-Nya. Ia bersaksi atas kebenaran yang dibawa Nabi Musa a.s.

Kondisi Asiyah kala itu benar-benar di bawah musuh-musuh Allah, yaitu lingkungan orang kafir. Namun begitu, tidak membahayakannya apalagi meruntuhkan keimanannya kepada Allah Swt. Al-Thabari juga mengatakan redaksi doa yang terkandung dalam ayat tersebut bermakna bahwa Allah Swt mengabulkan doa Asiyah, istri Fir’aun dengan membangunkan sebuah rumah yang indah di surga. Dalam tafsir yang lain, makna doa tersebut ialah senantiasa dekat kepada rahmat dan karunia Allah swt sebagaimana disampaikan Al-Syaukani, Al-Zamakhsari dan Al-Baghawy.

Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir misalnya, bahwa Allah swt mengumpamakan sesungguhnya pergaulan orang mukmin terhadap orang kafir tidaklah membahayakan dirinya, jikalau memang mempunyai keperluan kepada mereka. Serta tetap memegang teguh keyakinan mereka, urusan mereka sebatas persoalan duniawi, kemanusiaan, tidak lebih dari itu.”Bagimu agamamu, bagiku agamaku”, demikian firman Allah swt dalam Surah al-Kafirun.

Baca juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56

Lebih lanjut, Ibnu Katsir mengutip firman-Nya Q.S. Ali Imran [3]: 28 dengan tafsiran, “janganlah kalian orang-orang mukmin mengambik orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin”. Artinya, terkait keyakinan dan akidah, kita tetap harus mengutamakan orang-ornag mukmin ketimbang non muslim.

Asiyah sebagaimana digambarkan ayat di atas merupakan perempuan suci, bahkan kekafiran suaminya (Fir’aun) tak lantas membahayakan dirinya, sebab Asiyah senantiasa taat kepada Allah swt tanpa sedikitpun ia merasa gentar untuk menolak segala keburukan yang dilakukan suami-Nya termasuk bersetubuh (jima’) dengannya.

Makna doa Asiyah di atas sebagaimana kata Al-Zamakhsyari tidak hanya ingin dibangunkan rumah di surgaNya, melainkan agar ia senantiasa dekat dengan rahmat Allah. Dalam Tafsir al-Kasyaf ia menuturkan,

فإن قلت ما معنى الجمع بين عندك وفي الجنة؟ قلت طلبت القرب من رحمة الله والبعد من عذاب أعدائه، ثم بينت مكان القرب بقولها { فِى ٱلْجَنَّةِ } أو أرادت ارتفاع الدرجة في الجنة

Apa makna (doa ayat di atas) baina ‘indaka (di sisi-Nya) dan fil jannah (dalam surga)? Al-Zamakhsyari menjawab, “sesungguhnya ia bermakna bahwa Asiyah meminta agar senantiasa dekat dengan rahmat-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya. Kemudian makna dekat itu ia lukiskan dalam redaksi fil jannah. Artinya, di surga-Nya adalah representasi ketinggian derajat (jannat al-ma’wa) seorang hamba dan kedekatannnya dengan Allah Swt”.

Penafsiran ini kemudian dikonfirmasi Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir-nya bahwa yang dimaksud doa itu ialah rumah yang dekat dengan rahmat Allah Swt (baitan qariban min rahmatika). Dan ketinggian derajat serta diriingi ridha-Nya di setiap aktifitasnya.

Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil justru menggambarkan doa Asiyah, istri Firaun dengan nuansa sufistik. Bahwa Allah Swt akan membuka atau menyingkap (kasyaf) surga sehingga Asiyah melihatnya. Dalam satu kisah, ketika Asiyah akan dieksekusi mati, Fir’aun hendak melemparkan batu sangat besar (shakhrah ‘adzimah) kepada istrinya, lalu Asiyah berdoa, “idz qalat rabbibni lii ‘indakan baitan fil jannah”, maka saat itu juga Allah swt memperlihatkan mutiara surga beserta kenikmatannya kepadanya.

Lalu Allah swt mencabut ruhnya sebelum dilempar batu oleh Fir’aun sehingga Asiyah tanpa sedikitpun merasa kesakitan. Berkata Al-Hasan dan Ibnu Kisan: Allah swt mengangkat Asiyah ke atas surga-Nya, dan ia sedang bersuka ria meminum dan memakan di dalam surga. Sementara redaksi berikutnya, wa najjini minal qaumidz dzalimin, Muqatil menafsirkannya dengan Allah swt menjauhkan Asiyah dari amalan Fir’aun berupa syirik. Abu Shalih dari Ibn ‘Abbas berkata: yang dimaksud amalan itu ialah jima’ (bersetubuh).

Baca juga: Tafsir Surat Fatir Ayat 32: Tiga Golongan Pewaris Al-Quran

Memuliakan perempuan, Memuliakan Peradaban

Ayat di atas mengisyaratkan kepada kita kaum lelaki bahwa suatu kewajiban bagi kaum laki-laki untuk memberikan “surga” kepada istri bagi yang sudah berkeluarga. Maksud “surga” di sini adalah pakaian, makanan, rumah atau dalam filosofi Jawa dikenal Sandang, Pangan, Papan. Jika belum bisa memberikannya secara optimal, paling tidak adalah memberikan rasa kasih sayang, bermuka riang terhadap istri, menyenangkan hatinya, menentramkan jiwanya. Pendek kata, saling melengkapi dan memahami.

Bagi yang belum menikah adalah memberikan rasa aman kepada perempuan, melindungi harkat dan martabatnya, tidak melecehkan dan tidak berbuat senonoh kepadanya, lebih-lebih sampai mencederai kemurniannya, dan segala perbuatan yang mampu memuliakannya.

Dari doa Asiyah binti Muzahim, kita belajar untuk memuliakan perempuan, sebab memuliakannya sama dengan memuliakan peradaban. Parameter kemajuan peradaban diukur dari bagaimana kiprah perempuan itu dapat terlaksana dengan baik. Jika kiprah perempuan terpasung, kemurniannya dirampas lantas bagaimana kemajuan peradaban manusia akan dicapai. Bagimana nasib generasi penerus kelak? Alih-alih memajukan peradaban, justru meluluhlantahkannya.

Semoga ini menjadi refleksi terutama kepada penulis sendiri, dan umumnya bagi pembaca sekalian. Memuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...