BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanMenapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

Menapak Tilas Kisah Rasulullah saat Merespons Pluralitas

Pluralitas adalah keniscayaan dalam setiap aspek kehidupan. Islam mengakui itu. Pada banyak ayat seperti Surah Alhujurat ayat 13; Yunus ayat 118; dan Almaidah ayat 48 tertera bahwa Allah menakdirkan manusia untuk terbagi dalam berbagai kelompok, ras, dan  suku.

Sesuatu yang telah ditetapkan sebagai sunatullah, selayaknya disikapi secara arif, yakni dengan menjadikan keberagaman itu sebagai sumber kekuatan, alih-alih menjadikannya sebagai muasal perpecahan. Namun, faktanya, masih kerap terjadi aksi menyimpang sebab perbedaan kecenderungan yang dianut oleh dua belah pihak yang berseteru (sebagai contoh, bom bunuh diri yang menyerang polsek Astana Anyar Bandung pada akhir 2022 silam dan kesulitan mengakses layanan publik bagi penganut agama minoritas). Bisa karena beda suku, ras, keyakinan, atau bahkan pemikiran. Kejadian ini sejalan dengan survei dari setara instate bahwa diskriminasi dan intoleransi terhadap golongan minoritas mengalami eskalasi tahun 2023 ini.

Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

Untuk menumbuhkan kesadaran bersikap arif di tengah perbedaan, kita dapat menapaktilasi perjalanan dakwah Nabi Muhammad saw. di tengah masyarakat majemuk. Beliau adalah penebar kedamaian bagi semesta alam, sebagaimana yang Allah firmankan dalam Q.S. Alanbiya ayat 107.

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Dalam perjuangan mensyiarkan Islam, banyak laku Nabi yang sarat nilai toleransi. Dalam kapasitas sebagai pemimpin, Nabi pun mengayomi semua golongan.

Terbuka dalam merespons perbedaan

Rasulullah saw. adalah pemimpin yang memberikan teladan untuk berpikir dan bersikap terbuka. Di berbagai kesempatan, beliau tunjukkan sikap toleran terhadap liyan. Misalnya, sikap beliau saat mengadakan dialog lintas iman dengan kaum Nasrani Najran, dengan mempersilahkan mereka untuk beribadah sesuai yang diyakininya. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, jilid 4, 91)

Saat hijrah ke Habasyah Nabi saw., bersikap hormat kepada raja yang memimpin negeri tersebut, yakni Raja Hiraclius. Sampai saat mengajak Raja tersebut masuk Islam, Nabi mengirim surat yang berisi ajakan kedamaian, tanpa ada nada paksaan.

بسم الله الرحمن الرحيم

من محمد عبد الله إلى هرقل عظيم الروم سلام على من اتبع الهدى أما بعد: فإني أدعوك بدعاية الإسلام أسلم تسلم يؤتيك الله أجرك مرتين فإن توليت فإن عليك إثم الأرسيين يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون

“Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

Dari Muhammad hamba Allah untuk Heraclius pembesar Romawi.

Salam sejahtera atas orang yang mengikuti petunjuk kebenaran. Dengan ini, saya mengajak tuan  untuk menuruti ajaran Islam. Terimalah ajaran Islam, maka tuan akan selamat. Akan akan memberi pahala dua kali pada tuan. Jika engkau menolak, maka dosa-dosa orang Arisiyin menjadi tanggung jawabmu.

Wahai para ahli kitab, marilah kita bergabung pada kata yang sama antara kami dan kamu yakni tidak ada yang kita sembah selain Allah dan kita tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apapun, bahwa yang satu tidak akan mengambil yang lain menjadi tuhan selain Allah. Akan tetapi jika mereka menolak, katakanlah kepada mereka, “saksikanlah bahwa kami ini orang-orang yang berserah diri (pada Allah).” (Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 416)

Baca juga: Makna Kebenaran dan Kebebasan Beragama dalam Alquran

Isi surat tersebut menandakan betapa sopan Nabi saat mengajak penganut agama lain untuk masuk Islam. Tidak ada ungkapan yang intimidatif. Sebaliknya, ungkapan pada surat itu justru memberi wawasan logis yang mempertegas identitas agama Islam, visi-misinya berupa ajakan pada kebaikan dan menghindari kesesatan.

Ajakan yang demikian ini kemudian menimbulkan dialog positif antara Nabi dan Raja Hiraclius. Merespons surat Nabi, Sang Raja mengakui eksistensi agama tersebut dan mengapresiasi Nabi dan ajaran yang dibawanya.

Pengujung surat yang memuat ungkapan bahwa jika pun mereka menolak, Nabi tetap menghormati keputusan tersebut, juga menunjukkan betapa Nabi terbuka pada opini atau keyakinan yang berseberangan dengannya.

Keterbukaan Nabi tampak pula dalam kehidupan pribadinya. Beliau menghargai Raihana, salah satu istrinya –budak milkul yamin, dalam pendapat lain-, yang kekeh memeluk agama Yahudi, meski sudah menyaksikan dakwah Nabi.

Raihana adalah penganut Yahudi dari klan Bani Quraidhah. Semula, Nabi mengajaknya masuk Islam, tetapi Raihana tetap teguh pada keyakinannya.

“Wahai Rasulullah, lebih baik Anda memilih akad milkul yamin (relasi suami-istri selain akad pernikahan)! Itu lebih ringan untukmu dan untukku,” tegas Raihana tatkala diajak oleh Nabi untuk masuk Islam.

Baca juga: Zoroastrianisme dalam Alquran: Usaha Mufasir dalam Menjelaskan Majusi

Nabi pun menghormati pilihan Raihana dan melakukan akad milkul yamin.

Syekh Ali Jum’ah, ulama kontemporer dari Mesir, menjadikan kisah tersebut sebagai contoh kebabasan beragama yang dipraktikkan oleh Nabi. Bahwa, terhadap keluarganya pun, Nabi tetap bersikap santun dan bijaksana tatkala mendakwahkan Islam sekaligus menjadi kepala rumah tangga. Meski pada akhirnya ajakan itu ditolak, Nabi tetap legowo dan menghormati keputusan Raihana. (Syekh Ali Jum’ah, al-Musawah al-Insaniyah fi al-Islam, 77-78)

Sikap Nabi tersebut bukan hal mudah. Penghargaan terhadap perbedaan (respectful mind) merupakan prinsip moral universal tertinggi dan memang paling sulit untuk diterapkan secara kontinu (Howard Gardner dalam bukunya Five Minds for the Future). Meski begitu, tetap saja kita harus belajar untuk menirunya, karena kemajemukan tanpa kesadaran dan penerimaan hanya akan menimbulkan perpecahan.

Teladan dari Nabi saw. tersebut semestinya kita praktikkan pada diri kita sendiri. Bahwa muslim progresif, adalah hamba yang open minded dan senantiasa mengembangkan keterbukaan itu demi melestarikan nilai kedamaian Islam. Di tengah masyarakat plural seperti Indonesia, semangat Nabi saw. untuk mengayomi semua golongan dengan prinsip keterbukaan (openness) mesti digaungkan kembali sebagai dasar dalam mengatur kebijakan. Apalagi, saat banyak masyarakat menjadi korban intoleransi.

Dialog antarkeyakinan dan berkolaborasi untuk mewujudkan kemaslahatan umat

Tak sedikit fragmen kisah Baginda Nabi yang mengisyaratkan pentingnya interfaith dialogue dan benefitnya. Antara lain, interaksi Nabi saw. dengan Waraqah bin Naufal, pakar kitab-kitab suci, yang kemudian mengembalikan dan meneguhkan kepercayaan diri Nabi atas mandat Tuhan kepadanya untuk menjadi rasul.

Nabi juga pernah mendelegasikan Sahabat Ja’far bin Abu Thalib untuk hijrah ke Habasyah dan mengadakan dialog dengan Raja Hiraclius, pada tahun 615 M. Dialog tersebut menghasilkan perlindungan kerajaan Abbisina yang dipimpin oleh Hiraclius terhadap para Muhajirin. (A Guillaume, The Life of Muhammad, 83-107, 146).

Di samping mengadakan dialog antarkeyakinan, Nabi juga kerap mengajarkan untuk berkolaborasi, baik antarpenganut Islam antau antarkeyakinan. Misalnya, instruksi Nabi kepada kaum Muhajirin dan Ansar untuk menjalin ukhuwah dan transaksi bisnis Nabi dengan umat Yahudi. (Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, hlm. 143).  Interfaith dialogue dan kolaborasi ini tak lain demi memupuk rasa solidaritas dan nilai kemanusiaan, yang mesti kita lestarikan dan kembangkan. Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tafsir tentang laut yang tidak bercampur

Tafsir tentang Laut yang Tidak Bercampur: Mukjizat atau Fenomena Ilmiah?

0
Alquran bukan sekadar kitab petunjuk spiritual, tetapi juga lumbung keajaiban yang terus mengundang rasa ingin tahu. Salah satu ayatnya, yang membahas tentang "laut yang...