Mungkin terdengar aneh di telinga Kaum Kafir Mekah saat Alquran turun secara gradual, tidak langsung dalam bentuk satu kitab utuh sebagaimana Taurat, Zabur, dan Injil. Meski pada dasarnya, suatu mukjizat tidak dipengaruhi oleh bagaimana cara ia turun, baik secara langsung ataupun bertahap. (Tafsir al-Baidhowi, 736/2)
Sebagaimana diceritakan oleh Imam As-Suyuthi dalam kitab al-Dur al-Mantsur (254/6), kaum musyrik tetap saja mengingkari Alquran dengan terus mempersoalkan bagaimana Nabi Muhammad menerima wahyu Allah.
Baca juga: Tahapan Turun Ayat-Ayat Puasa dalam Alquran
“Jika memang Muhammad benar-benar Nabi maka Tuhannya tidak mungkin menyiksanya. Bukankah Ia (Muhammad) menerima Alquran ayat-perayat atau per-surat?,” Begitu salah satu pengingkaran yang dilontarkan kaum kafir.
Bagi mereka, turunnya ayat Alquran secara gradual merupakan bentuk siksaan Tuhan. Oleh karena itu, kerasulan Muhammad patut diragukan.
Untuk menjawab pengingkaran mereka, Allah kemudian menurunkan suatu ayat yang menepis anggapan melenceng kaum kafir tersebut. Yakni surat Al-Furqan ayat 32:
وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْاٰنُ جُمْلَةً وَّاحِدَةً كَذٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِه فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنٰهُ تَرْتِيْلًا
“Dan orang-orang kafir berkata, “mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?” demikian, agar kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya dan kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan, dan benar).”
Melalui ayat ini, Allah hendak memberitahu Nabi Muhammad tentang alasan mengapa Alquran turun secara berangsur. Yakni, karena dua alasan.
Pertama, memperteguh hati Nabi Muhammad. Dalam tafsir al-Kasyaf (278/3) Syekh al-Zamakhsyari menafsirinya dengan, Kami (Allah) meneguhkan hatimu dengan cara menurunkannya (Alquran) secara bertahap, hingga kamu (Nabi Muhammad) mampu memahami dan menghafalnya. Sebab, orang yang menerima informasi secara verbal akan lebih kuat hafalannya bila didikte sedikit demi sedikit.
Bila kita teliti ulang melalui kacamata sejarah, maka kita akan menemukan bahwa Nabi Muhammad serta umatnya pada masa itu adalah orang yang ummi. Yakni seseorang yang tidak mampu membaca dan menulis. Hal ini jelas berbeda dengan keadaan Nabi Musa dan Nabi Isa yang keduanya mampu untuk membaca dan menulis. Sehingga keduanya diberi wahyu oleh melalui turunnya kitab bernama Taurat dan Injil secara keseluruhan.
Baca juga: Pengertian Nasakh dan Penggunaannya dalam Al-Quran Menurut Para Ulama
Selanjutnya Mari kita bayangkan, bagaimana bila seorang yang ummi -tidak bisa membaca dan menulis- diberikan wahyu dalam bentuk kitab langsung yang secara utuh dan keseluruhan? tentu tidak mungkin bukan?!
Kedua, membacakan Alquran secara tartil (berangsur-angsur, perlahan). Dalam Tafsir al-Sya’rawi disebutkan, Kami (Allah) menurunkan Alquran secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun sesuai dengan kejadian yang dihadapi. Hal ini juga memudahkan Nabi Muhammad untuk mengahafalnya. Sebab, setiap kali turun beberapa ayat Nabi bisa terus mengulang-ulangnya dalam salat.
Mekanisme gradual seperti demikian, menurut pendapat subjektif saya, juga dikarenakan adanya ayat Alquran yang bersifat nasikh mansukh (menghapus dan dihapus, baik hukum atau bacaannya). Konsep nasikh mansukh tersebut, hanya mungkin jika Alquran turun secara berangsur.
Selanjutnya -diambil lagi dari al-Dur al-Mantsur (254/6)- setelah Nabi Muhammad memahami maksud ayat ini (surah Alfurqan ayat 32) Allah kembali menurunkan Surah Alfurqan ayat 33 yang masih berkenaan dengan alasan turunnya Alquran secara berangsur:
وَلَا يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ اِلَّا جِئْنٰكَ بِالْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa) sesuatu yang aneh, melainkan kami datangkan kepadamu yang benar dan penjelasan yang paling baik.”
Ayat ini masih berkenaan dengan hikmah Alquran yang turun secara berangsur. Tepatnya sebagai pelengkap. Bahwa, orang-orang kafir tidak akan mendatangimu dengan pertanyaan aneh (yang bertujuan untuk mencela kenabian) kecuali Allah memberikan jawaban melalui wahyu dengan jawaban yang benar (tidak bisa dielak) disertai penjelasan yang baik. Menurut An-Nakha’i, haliyah (menjawab setiap pertanyaan kafir) Nabi yang demikian juga termasuk tanda-tanda kenabian. Sebab seorang Nabi memiliki sikap, menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan dengan benar dan baik (Tafsir al-Wasith, 1512/7).
Baca juga: ketangguhan Perempuan di Balik Nuzulul Quran
Dengan turunnya ayat ini, lengkaplah ayat Alquran yang mencoba menjelaskan alasan turunnya Alquran secara gradual. Dari sini kita tahu, bahwa turunnya Alquran dengan cara berangsur bukanlah suatu cela. Justru dengan begitu, Alquran lebih bisa menunjukkan sifat kemukjizatannya dengan mampu menjawab setiap tantangan zaman yang ada pada masa itu. Wallahu a’lam[]