Setelah menghatamkan atau sekadar selesai membaca Al-Quran, biasanya sering dibaca doa khatmil quran yang sudah sangat popular seperti berikut,
اللّٰهُمَّ ارْحَمْنِيْ بِالْقُرْآنِ . واجْعَلْهُ لِيْ إمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًى وَرَحْمَةً . اللّٰهُمَّ ذَكِّرْنِيْ مِنْهُ مَا نَسِيْتُ . وَعَلِّمْنِيْ مِنْهُ مَا جَهِلْتُ . وَارْزُقْنِيْ تِلَاوَتَهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ . وَاجْعَلْهُ لِيْ حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Doa ini sudah mentradisi di masyarakat, namun sudah tahukah asal muasal doa tersebut? Di sini kami akan membahas perihal tersebut, mulai dari asal redaksi doa dan yang lainnya.
Hadis-hadis kesunahan berdoa setelah membaca atau menghatamkan Al-Quran
Sementara hasil penelusuran penulis, tidak dijumpai redaksi doa khatmil quran atau doa setelah membaca Al-Qur`an yang spesifik bersumber dari Rasulullah saw. Kendati memang terdapat sejumlah hadis yang mengisyaratkan kesunahan berdoa setelah khatam Al-Quran, antara lain dua hadis marfu’ (hadis yang punya sanad/rangkaian perawi sampai kepada Nabi Muhammad saw.) di bawah ini.
Baca Juga: Anda Sedang Khataman Al-Quran? Berikut Anjuran Para Ulama Mengenainya
Hadis yang pertama dirawikan oleh Imam al-Thabrani dari Irbadh bin Sariyah. Lalu, yang kedua diriwayatkan dari Anas bin Malik oleh Imam al-Baihaqi.
مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ
Siapa pun yang telah tamat membaca Al-Qur`an, doanya punya kans untuk makbul.
مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَحَمِدَ الرَّبَّ وَصَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ فَقَدْ طَلَبَ الْخَيْرَ مَكَانَهُ
Siapa-siapa orang yang membaca Al-Qur`an, kemudian membaca tahmid, shalawat, dan istighfar, maka sungguh dia telah menuntut kebaikan pada tempatnya (dia pasti meraih ganjaran kebaikan).
Satu lagi, hadis tentang kebiasaan Nabi ketika selesai menghatamkan Al-Quran yang diriwayatkan Imam al-Darimi yang bersumber dari Ubay bin Ka’ab.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَرَأَ قُلْ أَعْوذُ بِرَبِّ النَّاسِ افْتَتَحَ مِنَ الْحَمْدِ، ثُمَّ قَرَأَ مِنَ الْبَقَرَةِ إِلَى أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، ثُمَّ دَعَا بِدُعَاءِ الْخَتْمَةِ، ثُمَّ قَامَ
Sesungguhnya Nabi saw. manakala tengah membaca qul a’uudzu bi-rabb al-naas (surah terakhir dalam Al-Qur`an; maksudnya saat Nabi khatam Al-Qur`an), Nabi mengawali lagi membaca dari al-hamdu (surah Al-Fatihah). Lalu, dilanjutkan dengan membaca surah Al-Baqarah sampai ulaa`ika humu al-muflihuun (akhir ayat kelima surah Al-Baqarah). Setelah itu, Nabi berdoa dengan doa khataman, kemudian beliau bangkit dari duduknya.
Selain itu, ada pula sebuah atsar dari sahabat Anas bin Malik ra. Bahwa setiap kali mengkhatamkan Al-Quran, khadam Rasulullah itu mengajak seluruh anggota keluarganya berkumpul dan berdoa bersama.
Banyak kalangan salafu-naa al-shaalih (ulama-ulama terdahulu yang saleh) lantas mentradisikan atsar ini. Antara lain beberapa tokoh tabiin sekaliber Imam Mujahid bin Jabr, Imam Ubadah bin Abi Lubabah, Imam al-Hakam bin Utaibah, dan Imam Salamah bin Kahil.
Setali tiga uang, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam al-Syarh al-Kabir, mengungkapkan bahwa Imam Ahmad bin Hambal pun menegaskan hal yang sama. Beliau menganjurkan berdoa seusai khatam Al-Qur`anntuk redaksi doanya tidak ditentukan. Adapun mengenai dasar anjuran ini, ulama bermazhab Hambali itu mengetengahkan kesaksian Syekh Hambal bin Ishaq, yang telah melihat langsung penduduk Makkah dan Imam Sufyan bin Uyainah melakukan ihwal tersebut.
Ulama Hanabilah lainnya, Syekh Manshur bin Yunus al-Bahuthi, menambahkan penjelasan sedikit berbeda. Dalam kitabnya berjudul Kasysyaaf al-Qinaa` ‘an Matn al-Iqnaa`, fakih asal Mesir itu menyatakan bahwa justru doa populer di atas memiliki cantolan sebuah hadis. Hadis yang dimaksud diriwayatkan oleh Abu Manshur al-Muzhaffar bin al-Husain dan Abu Bakkar Ahmad bin Amr bin al-Dhahhak, dua perawi yang tergolong tsiqah (terpercaya dalam periwayatannya).
Akan tetapi, Syekh al-Bahuthi berpendapat berbeda. Ia mengutip pendapat Imam Ibnu al-Jauzi yang mengaku tidak pernah menemukan hadis yang spesifik memuat redaksi doa khatam Al-Qur`an, selain hadis yang disinggung tadi. Dan lagi, Ibnu al-Jauzi selaku eksponen fikih Hambali yang notabene juga seorang ahli hadis, mengklaim hadis itu berstatus hadis mu’dhal, hadis yang lemah karena sanadnya terputus secara berturut-turut.
Baca Juga: Mengkhatamkan Al-Quran dan Prinsip-Prinsipnya Menurut Para Ulama
Koreksi bacaan nasitu
Masih ada hal lain yang tidak kalah penting untuk diketahui menyangkut doa khatmil quran di atas. Hal lain yang dimaksud adalah perihal koreksi bacaan pada lafaz nasii-tu. Beberapa ulama memberikan penjelasan terkait hal ini.
Dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (juz 2 halaman 197), Imam Nawawi berpandangan bahwa mengucapkan nasii-tu (artinya: aku lupa), itu hukumnya makruh. Kemakruhan ini berdalilkan QS. Thaha [20]: 126. Menurutnya, semestinya lafaz itu dibaca unsii-tu-haa (artinya: aku dijadikan lupa) atau usqith-tu-haa (artinya: aku dibuat keliru).
Dalam kitab al-Itqan fii ‘Ulum al-Qur’an (juz 2 halaman 718), Imam Jalaluddin al-Suyuthi berpandangan sama dengan Imam Nawawi. Lafaz tersebut memang seharusnya dibaca unsii-tu-haa. Makruh hukumnya dibaca nasii-tu. Selain berdalilkan QS. Thaha [20]: 126, kemakruhan ini juga berdasarkan hadis yang tercantum dalam Shahih Bukhari-Muslim.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِئْسَمَا لِأَحَدِهِمْ يَقُولُ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ هُوَ نُسِّيَ اسْتَذْكِرُوا الْقُرْآنَ فَلَهُوَ أَشَدُّ تَفَصِّيًا مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ مِنْ النَّعَمِ بِعُقُلِهَا
Rasulullah saw. bersabda: “Alangkah buruknya seseorang yang berkata, ‘Aku lupa ayat ini dan itu.’ Akan tetapi, dia telah dibuat lupa oleh Allah. Sering-seringlah mengingat (membaca) Al-Qur`an, karena ia lebih cepat hilang dari dada seseorang daripada unta yang lepas dari ikatannya.”
Baca Juga: Tradisi dan Metode Mengkhatamkan Al-Quran Menurut Para Ulama
Imam Nawawi menjelaskan makna hadis ini dalam kitabnya yang lain, berjudul al-Minhaaj fii Syarh Shahiih Muslim bin al-Hajjaaj (juz 6 halaman 76). Sekurang-kurangnya terdapat dua poin penjelasan Imam Nawawi. Pertama, kemakruhan dalam konteks ini termasuk kategori makruh tanzih. Kedua, alasan nasii-tu dihukumi makruh karena model pelafalan ini mengandung unsur al-tasaahul dan al-taghaaful terhadap Al-Qur`an, yakni meremehkan dan melalaikannya.
Alhasil, sejauh ini penulis belum berani menyimpulkan siapa kreator awal redaksi doa khatmil quran atau yang biasa dibaca setelah membaca Al-Qur`an di atas. Sebab, segelintir kitab yang menyebutkan redaksi utuh doa itu, hanya bersumber dari perkataan Abu al-Fadhl Abbas bin Abdul Azhim al-Anbari (w. 246 H). Abbas al-Anbari merupakan sosok perawi tingkatan tsiqah haafizh dan tergolong kibar taabi’ul-atbaa’, yaitu generasi setelah atba’ut-taabi’in.
Terakhir, jikapun preferensi kebanyakan orang tetap menggunakan redaksi doa di atas setiap kali khataman atau setiap selesai membaca Al-Qur`an, maka hendaknya menghindari model pelafalan yang dimakruhkan sebagaimana keterangan yang telah dijelaskan tadi.
Wallaahu a’lam