Asma Barlas dikenal sebagai salah seorang tokoh feminis yang berasal dari Pakistan. Lahir tahun 1950, Asma Barlas mengawali karirnya di Pakistan. Pada tahun 1976 menjabat sebagai Diplomat Departemen Luar Negeri. Namun, pada akhirnya Asma Barlas dipecat karena mengkritik kediktatoran Presiden Pakistan, Ziaul Haq.
Selanjutnya Asma Barlas bekerja sebagai asisten editor sebuah surat kabar oposisi dan sederet pekerjaan lainnya. Terkait pendidikan, di Pakistan Asma Barlas mendapatkan gelar B.A. dalam bidang Sastra Inggris dan Filsafat dari Kinnair College Pakistan. Kemudian gelar MA didapatkan dari University of Punjab dalam bidang Jurnalisme. Barlas kembali menempuh S2 dan S3 sekaligus di University of Denver Amerika Serikat dalam bidang Studi Internasional.
Baca Juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis
Wacana feminis al-Quran yang ditawarkan Asma Barlas adalah upaya dalam menjunjung tinggi egalitarianisme (pandangan yang menyatakan bahwa manusia ditakdirkan sama atau sederajat). Ada dua hal yang sangat ia tekankan:
- Menentang pembacaan yang menindas perempuan
- Menawarkan pembacaan yang mendukung bahwa perempuan mampu berjuang untuk kesetaraan di dalam kerangka ajaran Al-Qur’an
Untuk menunjukkan wajah Islam yang egaliter maka yang perlu dilakukan ialah melakukan pembacaan kembali terhadap Al-Qur’an. Dalam pembacaan tersebut memungkinkan banyaknya hasil pembacaan. Ketika membacanya dengan kacamata patriarki tentulah hasilnya akan terlihat sangat patriarkis.
Asma Barlas menggunakan dua argumen dalam menunjukkan bagaimana Islam berbicara mengenai perempuan: sejarah dan hermeneutik. Argumen sejarah yang dimaksud adalah mengungkapkan karakter-karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang dalam masyarakat, terutama yang telah mengahasilkan tafsir yang memiliki kecenderungan patriarki. Adapun argumen hermeneutik dimaksudkan untuk menemukan apistemologi egalitarianism dan antipatriarkalisme dalam al-Qur’an.
Tiga langkah yang ditawarkan:
- Menjelaskan karakter teks Al-Qur’an yang polisemik (bentuk bahasa yang mempunyai makna lebih dari satu) dan membuka berbagai kemungkinan pemaknaan.
- Menolak relativisme penafsiran (yang ingin ditolak adalah pandangan yang menyatakan bahwa semua model bacaan pada dasarnya benar)
- Meletakkan kunci-kunci hermeneutik untuk membaca Al-Qur’an dalam karakter divine ontology
Pendapat Asma Barlas terkait Al-Qur’an tetaplah sama dengan pendapat ulama klasik dan modern. Mereka berpendapat bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci tetaplah tidak dapat ditiru, diperdebatkan serta diganggu. Namun, pemahaman terhadap Al-Qur’an (baca: tafsir), terhadap Al-Qur’an, sah-sah saja diperdebatkan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pendapat Abdul Karim Soroush, bahwa agama dan kebenarannya tidak bisa diperdebatkan. Sedangkan pengetahuan tentang agama sangat relatif kebenarannya, dan memungkinkan perdebatan yang panjang.
Asma Barlas menekankan bahwa Al-Qur’an sebagai teks tentang sifatnya yang tidak berbeda dari teks-teks lainnya. Dalam hal keterbukaan berbagai macam pembacaan pada setiap ayatnya. Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an sebagai teks yang utama di dalam Islam tidak bisa terlepas dari pluralisme pembacaan, kepentingan penafsir dan hal lainnya.
Hal tersebut menjadi munculnya pembacaan terhadap Al-Qur’an yang bias patriarki. Asma Barlas yang menyuarakan Agalitarianisme berangkat dari asumsi dasar sebagaimana kaum feminis yang lainnya, bahwa Al-Qur’an mendudukkan laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah, yang membedakan hanyalah ketakwaannya.
Baca Juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender
Contoh pemahaman Asma Barlas dalam QS. An-Nisa ayat 34
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar.
Asma Barlas lebih condong menafsirkan قَوَّٰمُونَ (qawwāmūna) sebagai laki-laki pencari nafkah, lebih lanjut menurutnya pencari nafkah tidak otomatis menjadi kepala keluarga. Sehingga pendapat Asma Barlas ini menyampaikan ketidaksetujuannya dengan pendapat yang mengatakan qawwāmūna sebagai pemimpin. Selanjutnya وَٱضۡرِبُوهُنَّ kata ضرب (dharaba) dalam ayat tersebut tidak selalu dimaknai dengan memukul akan tetapi juga bisa dimaknai dengan makna yang lain, seperti memberikan contoh.
Menurut Asma Barlas tindakan pemukulan bertentangan dengan pandangan serta ajaran mengenai kesetaraan yang terkandung dalam Al-Qur’an. Pada dasarnya ajaran tersebut mengatakan bahwa pernikahan harus didasarkan pada cinta, pemaafan, keharmonisan dan ketenangan. Wallahu A’lam.