BerandaTokoh TafsirMengenal Asy-Syarbini dan Kitab Tafsir Sirajul Munir

Mengenal Asy-Syarbini dan Kitab Tafsir Sirajul Munir

A-Imam Al-‘Allamah Syamsuddin, Muhammad bin Muhammad Asy-Syarbini, Al-Qahiri Al-Syafi’i Al-Khatib adalah seorang ulama pengarang kitab Tafsir Sirajul Munir. Beliau seorang ahli fikih madzhab Syafi’i dan mufassir yang berpengetahuan luas tentang tata bahasa Arab. Beliau menimba ilmu dari banyak guru, di antaranya adalah Syekh Ahmad al-Burullusi, al-Nur al-Mahali, al-Badr al-Masyhadi dan al-Syihab al-Ramli (Muhammad Husain adz-Dzahabi: Tafsir wal Mufassirun, jilid 1 hal 241).

Beliau lahir di Kairo pada tahun 1509 M/916 H dan wafat pada tahun 1570 M/977 H. Muhammad Khatib asy-Syarbini mengawali pendidikan dasarnya dengan belajar Al-Qur’an, nahwu dan shorof, fiqih, tauhid, akhlak, serta tarikh Islam. Dalam kehidupan sehari-harinya, beliau masyhur sebagai orang yang wara’, zuhud dan banyak beribadah. Dalam kitab Tafsir wal Mufassirun karangan Muhammad Husein Adz-Dzahabi dijelaskan bahwasanya salah satu kebiasaan beliau ialah melakukan iktikaf di dalam masjid selama bulan ramadhan. Apabila menunaikan ibadah haji, beliau lebih banyak berjalan kaki daripada mengendarai binatang kendaraannya dan baru menaikinya setelah sangat letih berjalan.

Beliau mencurahkan pengetahuannya melalui buku. Sehingga beliau memiliki banyak karya, di antara karyanya yaitu Al-Iqna’ fi Hall Alfaz Abi Syuja’, Syarh at-Tanbih sebagai syarah atas karya Ibrahim bin Ali Yusuf bin Abdullah Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Mugni al-Muhtaj ila Ma’rifah al-Ma’ani Alfaz al-Minhaj, As-Siraj al-Munir, Fath al-Khaliq fi Hall Alfaz Kitab Alfiyah Ibn Malik, Syu’ab al-Iman Syarh Minhaj ad-Din. Dari beberapa karya Asy-Syarbini di atas, dapat kita lihat bahwa asy-Syarbini lebih banyak memberi syarah atas karya-karya sebelumnya sebagai upaya untuk mencurahkan pemikirannya.

Baca juga: 4 Fungsi Pakaian menurut Al-Quran dalam tinjauan Maqhasid Al-Syariah

Tafsir Siraj Al-Munir Fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifah Ba’dh Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir

Kitab tafsir ini terdiri atas 4 jilid dengan perincian jilid 1 memuat surah al-Fatihah sampai At-Taubah yang berjumlan 660 halaman, jilid 2 memuat surah Yunus sampai al-Furqon dengan jumlah 679 halaman, jilid 3 memuat surah asy-Syu’ara sampai al-Jatsiyah dengan jumlah 604 halaman dan jilid 4 memuat surah al-Ahqaf sampai an-Naas dengan jumlah 621 halaman (Asy-Syarbini: Sirojul Munir Fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifah Ba’dh Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir).

Tafsir bermetode tahlili ini ditulis dengan diawali muqodimah pada jilid 1 lalu dilanjutkan dengan menafsirkan surah al-Fatihah. Sistematika penafsiran kitab ini adalah dengan pemenggalan perkata yang diikuti dengan tafsirnya. Begitu seterusnya hingga penafsiran surah An-Naas. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, beliau juga menjelaskan dari aspek bahasanya serta menukil pendapat para ulama. Contohnya seperti penafsiran beliau terhadap surah al-Fath ayat 29.

مُحَمَّدُ رَّسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ اَشِدَّآءُ عَلَى الكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَهُمْ رُكَّعًاسُجَّدًا يَبْتَغًوْنَ فَضْلآً مِّنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْد…

Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujud “

Berikut terjemah dari kutipan tafsir beliau mengenai سِيْمَاهُمْ فِيْ وُجُوْهِهِمْ مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْد. (سِيْمَاهُمْ) tanda yang tidak terpisahkan dari mereka (فِيْ وُجُوْهِهِمْ) kemudian Allah Ta’ala menjelaskan tanda tersebut dengan firman-Nya (مِّنْ اَثَرِ السُّجُوْد) yaitu cahaya putih di wajah mereka pada hari kiamat, seperti yang telah dijelaskan dalam firman-Nya “Yauma Tabyaddu wujuhun wa taswaddu wujuhun”.

Diriwayatkan dari Athiyah Al-Awfi dari Ibnu Abbas dari Anas Hal tersebut merupakan penerang wajah mereka dari banyaknya sholat mereka. Syahr bin Hawsyab berkata tempat-tempat sujud di wajah mereka seperti bulan di malam bulan purnama. Mujahid berpendapat bahwasanya hal tersebut merupakan sebuah tanda yang indah, ketawadhuan dan kekhusyuan, artinya bahwa sebenarnya sujud mewariskan pada mereka kekhusyuan dan tanda yang indah yang mana mereka dapat dikenal karenanya. Adh-Dhahak berpendapat bahwa hal tersebut adalah kekuning-kuningan pada wajah.

Baca juga: Mendudukkan Ayat Jihad dan Kebebasan Beragama dalam al-Quran (1)

Al-Hasan berkata bahwa apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka sakit, padahal tidak. Ikrimah berpendapat bahwasanya itu adalah efek bekas debu yang ada pada dahi. Abu Al-‘Aliyah berpendapat bahwasanya hal tersebut terjadi dikarenakan mereka bersujud di atas tanah, bukan di atas pakaian. Al-Athaa berpendapat bahwa wajah mereka dicerahkan dengan lamanya shalat mereka karena siapapun yang memperbanyak sholatnya di malam hari, maka Allah akan memperindah wajahnya di siang hari. Sebagian ulama memasukkan setiap orang yang menjaga sholat lima waktu kedalam ayat ini.

Al-Biqa’i berkata “Jangan menyangka sesungguhnya dari tanda-tanda yang dilakukan sebagian orang-orang yang riya’(murooin) itu termasuk tanda bekas saat sujud di dahi, karena sesungguhnya hal itu merupakan bagian dari tanda-tanda khowarij”. Didalam kitab Nihayah karangan Ibnu Al-Atsir dalam tafsir orang-orang tsiqah dan termasuk didalamnya hadis Abi Darda’ bahwa ia melihat seorang laki-laki yang di antara kedua matanya terdapat garis unta. Maka dia berkata kalau di dalam ini tidak ada kebaikan, yaitu pada bekas sujud di dahinya tetapi dia tidak menyukainya karena takut riya’ atasnya.

Diriwayatkan dari Anas dari Nabi Saw bahwa Nabi berkata”Sesungguhnya aku membenci laki-laki dan aku tidak menyukainya apabila aku melihat di antara kedua matanya ada bekas sujud”. Menurut sebagian ulama mutaqaddimin: kami biasa melakukan shalat dan tidak terlihat sesuatu di antara kedua mata kami. Dan kami melihat salah satu dari kami sekarang sedang shalat dan melihat lutut unta di antara kedua matanya, maka kami tidak tahu seberapa berat kepalanya ataukah tanahnya yang kasar. Sebagian orang menginginkan hal-hal tersebut hanya bermaksud untuk kemunafikan (Asy-Syarbini: Sirojul Munir Fi al-I’anah ‘Ala Ma’rifah Ba’dh Ma’ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir, jilid 4, hal. 57).

Baca juga: R.A Kartini Sosok Penggerak Lahirnya Kitab Tafsir Faid ar-Rahman Karya Kyai Soleh Darat

Dalam contoh kutipan dari penafsirannya tersebut, terlihat bahwasanya Asy-Syarbini banyak sekali menukil pendapat ulama serta mencantumkan hadis yang terkait dengannya. Asy-Syarbini pun menafsirkan keseluruhan ayat ini dengan cukup panjang. Dalam versi lengkap mengenai penafsiran QS. Al-Fath ayat 29 tersebut, As-Syarbini juga mencantumkan syair serta penjelasannya dari segi bahasa. Hal tersebut dilatar belakangi oleh keluasan ilmu dan keahlian bahasa dari penulisnya.

Anggit Sutraningsih
Anggit Sutraningsih
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Raden Mas Said Surakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

Cara Mengenalkan Alquran Kepada Non-Muslim Ala Ingrid Mattson

0
Ingrid Mattson adalah seorang aktivis, professor dalam kajian Islam dan seorang muallaf. Ia aktif di berbagai kegiatan sosial kegamaan seperti pernah menjadi Presidan Masyrakat...