Mengenal cabangan disiplin ilmu ke-Al-Quran-an (‘ulûm Al-Quran) merupakan keniscayaan bagi para pecinta Al-Quran. Ilmu taujîh al-Qirâ’ât tergolong ilmu yang langka. Perlu digarisbawahi bahwa ilmu taujîh al-Qirâ’ât berbeda dengan ilmu qiraat. Ilmu qiraat merupakan ilmu riwâyah yang tidak ada celah untuk berijtihad. Sementara ilmu taujih al-qira’at merupakan ilmu dirâyah yang memungkinkan adanya ijtihad dan pengembangan. Berikut beberapa poin yang mengenalkan kita dengan ilmu taujih al-qira’at .
1. Definisi Ilmu Taujih al-Qira’at
Kata taujîh merupakan bentuk mashdar (kata benda abstrak) dari kata wajjaha yuwajjihu taujîh yang disebutkan Al-Quran sebanyak dua kali (Q.S. al-Anʻâm [6]: 79 dan Q.S. an-Nahl [16]: 76. Kata taujîh di sini artinya lebih kepada bayyana wajhahu (menerangkan) atau jaʻalahu dzâ wajh (memberikannya hujjah/argumen) sebagaimana QS al-Fajr [89]: 15 dalam kata naʻʻamahu diartikan dengan jaʻalahu dzâ niʻmah.
Baca juga: Pemuliaan Al-Quran Terhadap Hak Asasi Manusia
Pada hakikatnya taujîh di semua disiplin ilmu –menurut ad-Dahlawî dalam al-fauz al-kabîr– merupakan sebuah sebutan untuk mengurai kerumitan memahami sebuah teks baik itu Al-Quran, hadis, syair dan lainnya yang dirasa ganjil dan memungkinkan kesalahfahaman.
Ada beberapa definisi ilmu Taujih al-Qira’at secara istilah. Dalam buku Muqaddimât fî ‘Ilm al-Qirâât diartikan dengan ilmu yang bertujuan untuk menjelaskan ragam qiraat dan kesesuaiannya dengan kaedah nahwu. Kemudian landasannya secara bahasa sebagai upaya mewujudkan syarat kesesuaian qiraat dengan bahasa Arab meskipun hanya satu wajh (sisi).
Definisi ini hanya mengarah pada penjelasan kebahasaan saja dan dinilai masih belum memuat uraian makna qiraatnya. Sementara al-Harbi melalui Taujîh Musykil al-Qirâ’ât-nya memaknai ilmu taujîh al-Qirâ’ât dengan ilmu yang membahas terkait makna-makna qiraat disertai uraian ragam kebahasaan (Arab).
Definisi ini dinilai lebih luas cakupannya karena mencantumkan pengulasan ragam makna qiraat. Ada juga definisi yang cenderung kaku seperti yang ditulis dalam artikel jurnalnya berjudul Nazhariyyah al-Wahdah al-Maʻnawiyyah li al-Qirâ’ât oleh ad-Daqur dan ar-Rababiah yaitu ilmu yang bertujuan untuk mengarahkan ragam qiraat pada satu makna yang mengakomodir, sehingga tidak ada lagi kontradiksi makna maupun kemungkinan mengunggulkan makna dari bacaan tertentu. Definisi ini kurang menerima adanya ragam pemaknaan dan pen-tarjîh-annya.
Sehingga terkesan sempit dan kaku. Barangkali definisi tersebut sebagai upaya agar tidak terjadi pengeliminasian terhadap qiraat tertentu. Ringkasnya ilmu taujîh al-Qirâ’ât adalah ilmu yang membahas qiraat dari sisi makna dan bahasa, demikian dalam al-Mausûʻah al-Qur’âniyyah al-Mutakhashshishah.
2. Sasaran (Maudhûʻ) Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât
Sasaran pembahasan ilmu taujîh al-Qirâ’ât adalah kata dalam Al-Quran yang dibaca lebih dari satu qiraat. Sehingga cakupannya meliputi berbagai varian bacaan. Literatur ilmu taujîh al-Qirâ’ât memiliki objek pembahasan beragam di antaranya: ada yang mencakup qiraat mutawatir dan syâdzdzah tanpa batas; ada yang menghimpun qiraat mutawatir plus qiraat empat yang syâdzdzah; ada yang hanya qiraat ʻasyrah saja; ada yang qiraat sabʻah saja; ada yang qiraat syâdzdzah saja; ada yang qiraat secara mutlak dsb. Menurut az-Zarkasyi (w. 794 H) dalam al-Burhân, objek taujîh al-Qirâ’ât yang paling urgen adalah qiraat syâdzdzah.
Baca juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41
3. Pencetus (Wâdhiʻ) dan Sejarah Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât
Merujuk Fann Taujîh al-Qirâ’ât al-Qur’âniyyah karya Faiz Muhammad al-Gharazi, sejarah ilmu taujîh al-Qirâ’ât sudah berkembang sejak era klasik. Pada periode pertama taujîh al-Qirâ’ât dimulai dengan tradisi lisan yang dipelopori oleh Ibnu Abbas (w. 68 H) saat men-taujîh al-Qirâ’ât Q.S. al-Baqarah [2]: 259:
قَرَأَ ابْنُ عَبَّاسٍ نُنْشِرُهَا بِالرَّاءِ بَدْلًا عَنِ الزَّايِ وَقَالَ إِنْشَارُهَا إِحْيَاؤُهَا وَاحْتَجَّ بِقَوْلِهِ تَعَالَى ((ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ))
Ibnu ‘Abbâs membaca kata “nunsyiruhâ”, huruf zây diganti dengan râ’, yang maknanya adalah menghidupkannya. Ibnu ‘Abbâs berargumen dengan potongan Q.S. ‘Abbasa [80]: 22, “kemudian saat berkehendak, Dia menghidupkannya”.
Begitu juga Abu ʻAmr al-Bashrî (w. 154 H) pernah men-taujîh al-Qirâ’ât pada Q.S. al-Baqarah [2]: 9:
قَرَأَ أَبُوْ عَمْرٍو بِإِثْبَاتِ الأَلِفِ: (وَمَا يُخَادِعُوْنَ) وَقَالَ مُوَجِّهًا قِرَاءَتَهُ: إِنَّ الرَّجُلَ يُخَادِعُ نَفْسَهُ وَلَا يَخْدَعُهَا
Abû ‘Amr membaca kata “wa mâ yukhâdi’ûna” dengan tetap adanya alif setelah huruf khâ’. Abû ‘Amr men-taujîh-nya bacaan tersebut dengan contoh kalimat; seseorang sangat bisa menipu dirinya sendiri. Menipu diri sendiri menggunakan kata yukhâdi’u (dengan alif) bukan yakhda’u (tanpa alif).
Juga pada surat yang sama QS al-Baqarah [2]: 85:
قَرَأَ أَبُوْ عَمْرٍو بِإِثْبَاتِ الأَلِفِ: (أُسَارَى) وَقَالَ مُوَجِّهًا قِرَاءَتَهُ: إِذَا أُخِذُوْا فَهُمْ عِنْدَ الأَخْذِ أُسَارَى وَمَا لَمْ يُؤْسَرْ بَعْدُ فَهُمْ أَسْرَى لِقَوْلِهِ تَعَالَى ﴿مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ أَسْرَى) سورة الأنفال: 67
Abû ‘Amr membaca kata “usârâ” dengan huruf alif setelah sîn. Sebab menurutnya, kata “usârâ” digunakan untuk orang-orang yang sudah dalam penyanderaan. Sementara yang belum disandera disebut dengan kata “asrâ” sebagaimana Q.S. al-Anfâl [8]: 67.
Periode kedua berawal pada abad ketiga Hijriah yang digawangi oleh al-Farrâ’ (w. 207 H) lewat maʻânî al-Qur’ân-nya dan al-Akhfasy (w. 215 H) maʻânî al-Qur’ân melalui kitabnya serta az-Zajjâj (w. 311 H) dengan kitabnya, maʻânî al-Qur’ân wa Iʻrâbuh. Periode ini disebut sebagai fase kodifikasi ilmu taujîh al-qirâ’ât sebab pada masa itulah penulisan taujih al-Qira’at mulai tumbuh. Meskipun pembukuan tersebut tidak khusus konsentrasi pada taujih al-Qira’at. Sejatinya 27 tahun sebelum meninggalnya al-Farrâ’ (w. 207 H), ada Sibawaih (w. 180 H) yang mencantumkan sejumlah pendapat taujîh al-qirâ’ât-nya pada Kitab Sibawaih.
Baca juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf
Fase ketiga adalah fase kodifikasi kedua bagi ilmu taujîh al-qirâ’ât yang mana secara khusus menghimpun taujîh al-qirâ’ât dalam sebuah karya tersendiri. Setidaknya tidak kurang dari 70 judul sebagaimana dicatat oleh Hazim Said dalam Syarh al-Hidâyah.
Berkembangnya ilmu taujîh al-qirâ’ât juga berpengaruh pada literatur disiplin ilmu yang berkaitan dengan ilmu qiraat. Sehingga permasalahan qiraat yang berserakan di kitab-kitab ulama baik bahasa, tafsir hingga makna kosa kata Al-Quran mulai menggunakan taujîh al-qirâ’ât. Salah satunya dalam literatur tafsir adalah ath-Thabari (w. 310 H) melalui karya tafsirnya, Jâmiʻ al-Bayân ʻan Ta’wîl Ây al-Qur’ân. Di sana ath-Thabari (w. 310 H) menguraikan ragam perbedaan qiraat disertai catatan penjelasan secara bahasa disertai argumen kebahasaan baik syair maupun prosa.
Namun ath-Thabari (w. 310 H) terkadang juga mengkritik sebagian ragam qiraat yang sahih karena dinilainya telah menyalahi kaedah nahwu (kebahasaan). Padahal qiraat yang mutawatir tidak bisa ditolak begitu saja. Terlebih lagi kaedah yang telah dirumuskan oleh para pakar bahasa Arab belum mampu mencakup keseluruhan ragam bahasa seluruh suku Arab. Dalam menguraikan taujîh qiraat, terkadang ath-Thabari (w. 310 H) lebih memilih salah satu qiraat dibanding lainnya yang dinilainya lebih sesuai dengan tatanan kebahasaan. Selain ath-Thabari (w. 310 H) ada sejumlah nama mufasirin lain seperti Abu al-Abbas al-Mahdawi dengan at-Tahshîl, al-Qurthubî (w. 671 H) dengan al-Jâmiʻ li Ahkâm Al-Qur’ân, Abu Hayyân (w. 745 H) dengan al-Bahr al-Muhîth-nya dan lain-lainnya.
4. Sumber (Istimdâd) Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât
Ilmu taujîh al-Qirâ’ât menggunakan banyak sumber data; 1). Al-Quran seperti Q.S. ath-Thûr [52]: 21 ﴿وَمَا اْلِتْنَاهُمْ﴾ (tidaklah kami mengurangi (amal) mereka) berhujjah dengan Q.S. al-Hujurat [49]: 14 ﴿لاَ يَلِتْكُمْ﴾ (dia tidak mengurangi (amal) kalian); 2). Hadis seperti pen-taujîh-an kata –((نِعْمَّا))- pada Q.S. al-Baqarah [2]: 271 dan Q.S. an-Nisâ’ [4]: 58 ber-hujjah dengan hadis riwayat Ahmad: ((نِعِمَّا المَالُ الصَالِحُ مَعَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ)) (sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh orang saleh); 3). Ilmu sharf seperti kata يَحْسَبُ (menghitung) dengan يَحْسِبُ (menduga); 4). Mufradât/Matn al-Lughah (kosa kata) seperti kata فتثبتوا (maka telitilah kalian) dan فتبينوا (maka klarifikasilah kalian) dalam Q.S. al-Hujurât [49]: 6 atau تتلوا (kamu membaca) dan تبلو (kamu menguji); 5). Al-Lahajât al-ʻArabiyyah (dialek Arab) seperti bab Hamzah, Idghâm dan kaedah ushul lainya; 6). syair Arab; 7). Nahwu; dan 8). Balaghah.
5. Kegunaan dan Manfaat (Tsamrah) Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât
Di antara tujuan ilmu taujîh al-Qirâ’ât adalah membantah sanggahan dan kritikan para ahli bahasa, nahwu, para mufassir terhadap sebagian ragam qiraat, yakni sebagai bantahan terhadap para orientalis yang menyangsikan kemutawatiran dan validitas qiraat Al-Quran.
Kemudian sebagai pembelaan atas validitas bahasa Arab dengan berbagai ragam bahasa suku-suku yang ada di semenanjung Arab, menjadi bukti kemukjizatan Al-Quran, mempengaruhi penafsiran Al-Quran, mengukuhkan tiga rukun validitas qiraat Al-Quran yang diriwayatkan dari Nabi terutama kesesuaian qiraat dengan salah satu wajh bahasa Arab dan kesesuaian dengan rasm Utsmani, mengenal lahajât (ragam dialek) Arab, memperkaya wawasan kebahasaan bagi yang mempelajarinya.
6. Keistimewaan (Fadhl) Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât
Dalam kitabnya, al-Burhân fî ʻUlûm al-Qur’ân, pada bab ke-23 tentang maʻrifah taujîh al-Qirâ’ât wa Tabyîn Wajh mâ Dzahaba ilaih Kullu Qâri’, Az-Zarkasyi (w. 794 H) menyebutkan bahwa Ilmu Taujîh al-Qirâ’ât merupakan disiplin ilmu untuk mengetahui banyaknya ragam makna. Sehingga banyak ulama yang menulis karya khusus terkait ilmu ini.
Selengkapnya, akan dilanjutkan sambungan artikel berikutnya…..