BerandaTafsir TematikMengenal Imran Hosein dan Diskursus Yajuj dan Majuj di Dunia Modern

Mengenal Imran Hosein dan Diskursus Yajuj dan Majuj di Dunia Modern

Yajuj dan Majuj dalam tradisi penafsiran klasik hingga sekarang, umumnya dikategorikan sebagai bagian dari kajian eskatologis atau ghaibiyah. Kategorisasi ini setidaknya menyebabkan dua sikap para cendekiawan Islam terhadap diskursus ini yaitu sedikitnya minat mengkaji secara mendalam dan ketergantungan pada pemaknaan yang sudah ada (ketiadaan kreativitas untuk melakukakn reinterpretasi).

Sikap para cendekiawan Islam tersebut setidaknya juga menimbulkan beberapa implikasi dalam ranah akademik dan yang paling serius adalah minimnya referensi yang bisa dirujuk. Fenomena ini menjadi alasan adanya “kegelisahan akademik” yang dirasakan oleh Imran Hosein dan mendorongnya untuk melakukan kajian ulang terhadap diskursus Yajuj dan Majuj.

Sekilas tentang Imran Hosein, ia adalah salah satu cendekiawan Islam jebolan dari madrasah/ institut Alimiyah Pakistan, sebuah institut atau perguruan tinggi yang memadukan antara keilmuan Islam klasik serta pendekatan ilmu-ilmu modern. Madrasah ini didirikan oleh guru sekaligus inspirasi Imran Hosein yakni Fazlur Rahman Ansari, seorang filsuf sekaligus sufi yang berasal dari Pakistan.

Baca Juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Karya Imran Hosein yang membahas Yajuj dan Majuj berjudul An Islamic View of Gog and Magog in the Modern World. Selain buku yang akan dibahas dalam artikel ini, karya-karya Imran Hosein yang lainnya dapat diunduh dengan mudah di website resmi miliknya, https://www.imranhosein.org.

Sebelum masuk pada pembahasan tafsir Imran Hosein akan diskursus Yajuj dan Majuj, maka perlu diinformasikan bahwa term Yajuj dan Majuj dalam al-Qur’an hanya terulang dua kali dan selalu bergandengan. Kedua ayat tersebut terdapat dalam Q.S. al-Kahfi [18]: 94 dan Q.S. al-Anbiya [21]: 96:

قَالُوْا يٰذَا الْقَرْنَيْنِ اِنَّ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مُفْسِدُوْنَ فِى الْاَرْضِ فَهَلْ نَجْعَلُ لَكَ خَرْجًا عَلٰٓى اَنْ تَجْعَلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ سَدًّا

Mereka berkata, “Wahai Zulkarnain! Sungguh, Yakjuj dan Makjuj itu (makhluk yang) berbuat kerusakan di bumi, maka bolehkah kami membayarmu imbalan agar engkau membuatkan dinding penghalang antara kami dan mereka?” (Q.S. al-Kahfi [18]: 94)

حَتّٰىٓ اِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوْجُ وَمَأْجُوْجُ وَهُمْ مِّنْ كُلِّ حَدَبٍ يَّنْسِلُوْنَ

Hingga apabila (tembok) Yakjuj dan Makjuj dibukakan dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (Q.S. al-Anbiya [21]: 96)

Para ulama maupun mufassirin umumnya menafsirkan term Yajuj dan Majuj secara istilah dengan melihat pada Q.S. al-Kahfi [18]: 93 yang menjelaskan kisah perjalanan Dzulqarnain yang bertemu sebuah kaum yang hampir tidak memahami perkataan yang kemudian disebut Yajuj dan Majuj. Namun mengenai siapa dan dari mana kaum itu berasal hanya ditemukan sedikit pendapat dari para mufassirin.

Imam al-Qurthubi berpendapat berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa Yajuj dan Majuj adalah keturunan Nabi Nuh dari jalur Yafits. Sementara Ibn Katsir menyebut bahwa Yajuj dan Majuj adalah kaum yang serupa dengan bangsa Turki. Sedangkan ditemukan dalam penjelasan Quraish Shihab yang mengatakan bahwa Yajuj dan Majuj merupakan kaum yang mirip dengan bangsa Tartar dan Mongol. Selanjutnya ditemukan juga riwayat hadis yang mendeskripsikan ciri fisik dari Yajuj dan Majuj yakni bermuka lebar dan bermata sipit.

Semua keterangan dalam paragraf di atas sudah menjadi rujukan umum dalam menjawab pertanyaan seputar Yajuj dan Majuj. Namun hal itu akan berbeda jika melihat uraian penafsiran yang bisa dikatakan baru oleh Imran Hosein mengenai wacana penafsiran Yajuj dan Majuj serta dengan upayanya dalam mengaitkan diskursus ini dengan dunia modern.

Imran Hosein, sebagaimana cendekiawan Islam modern-kontemporer pada umumnya yang bisa dikatakan terpengaruh pemikiran Abduh, sangat memperhatikan sisi semantik. Ia mengawali penafsirannya dengan mengutip pendapat Tammam Adi, seorang ahli semantik al-Qur’an yang mendefinisikan bahwa kata dasar dari term Ya’juj dan Ma’juj adalah a-ja-ja, maka implikasinya Ya’juj merupakan bentuk aktif dan Ma’juj merupakan bentuk pasif.

Maksudnya Ya’juj dan Ma’juj merupakan dua wajah yang berbeda atau bermuka dua. Ya’juj merupakan perwujudan dari sikap bar-bar sedangkan Ma’juj merupakan sikap kebalikannya yakni seakan seperti korban. Wujud permisalan ekstrem yang juga ia sebutkan lainnya ialah Ya’juj seakan terekspresikan pada sosok yang relijius namun kenyataannya justru sebaliknya, Ma’juj (godless).

Imran Hosein juga menjelaskan asal-muasal dari Ya’juj dan Ma’juj. Ia mengatakan bahwa mereka berasal dari suku Khazar, Eropa Timur. Suku Khazar ini kemudian mengonversi dirinya ke dalam agama Yahudi Eropa dan dan Kristen Eropa. Maka apa yang dimaksud oleh Hosein dengan menunjukkan asumsinya ini adalah bahwa Ya’juj dan Ma’juj sudah berhasil keluar dari belenggunya dan telah menyebar ke penjuru dunia.

Ia melanjutkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj yang telah bebas itu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Pendapat ini sekaligus ia arahkan untuk memaknai Q.S. al-Anbiya [21]: 96. Ya’juj dan Ma’juj yang telah menyebar itu kemudian masuk dan berbaur dalam setiap sektor penting di dunia dan terlibat dalam menebarkan bibit-bibit peperangan.

Secara spesifik Hosein mengatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj telah menyebar dan berbaur serta menjadi bagian dari aliansi Inggris-Amerika dan Israel di satu sisi dan Rusia modern di sisi lain. Di mana sudah bukan rahasia lagi bahwa kedua aliansi ini adalah rival yang saling menyerang dan menjatuhkan satu sama lain.

Hal inilah yang diyakini Imran Hosein sebagai perwujudan dari Q.S. al-Kahfi [18]: 99 yang menjelaskan bahwa ada masa di mana Ya’juj dan Ma’juj akan bersatu dan menerjang bagaikan gelombang serta saling menghancurkan satu sama lain. Pengrusakan dan penghancuran yang dilakukan Ya’juj dan Ma’juj yang masuk pada dua aliansi tersebut akhirnya menimbulkan kerusakan global akibat peperangan yang terus-menerus dikobarkan.

Tatanan dunia modern yang saat ini kita rasakan, menurut Imran Hosein adalah tatanan dunia yang sengaja dibentuk oleh Ya’juj dan Ma’juj. Mereka menciptakan masyarakat global menuju kehidupan yang korup, dekstruktif dan penuh tuhan palsu.

Sejatinya semua penjelasannya tersebut didasarkan pada ketertarikannya pada hadis yang menyatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj akan melewati danau Tiberias dan Yerussalem. Sebab baginya hadis ini memperlihatkan adanya niat Ya’juj dan Ma’juj untuk menguasai Yerussalem. Maka dengan itu menurutnya segala tindakan yang mengarah pada pengambilalihan kota itu dari umat Islam adalah tindakan dari Ya’juj dan Ma’juj.

Sebagaimana sikap kedua aliansi besar dunia itu yang terlihat saling berhadapan namun sejatinya baik yang kontra pun bukan disebabkan oleh keberpihakannya kepada Islam namun lebih pada upaya memperlihatkan kebesaran dan dominasinya. Maka bisa dipahami bahwa menurut Hosein puncak kerusakan yang dilakukan oleh Ya’juj dan Ma’juj adalah merebut Yerussalem dari umat Islam, sehingga dengan pemahaman ini penafsiran Imran Hosein yang mengaitkan Ya’juj dan Ma’juj dengan dunia modern akan nampak logis.

Namun sebenarnya penafsiran Imran Hosein ini sangat layak untuk dikritisi lebih lanjut. Salah satu kritik diajukan oleh Sirajuddin Bariqi yang mengatakan bahwa ada Imran Hosein telah melakukan inkonsistensi dalam penafsirannya. Menurutnya, Hosein sengaja tidak memasukkan riwayat-riwayat shahih mengenai ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj yang populer di kalangan mufassir demi memuluskan pra-pemahamannya mengenai hadis tentang Ya’juj dan Ma’juj, danau Tiberias dan Yerussalem yang menurutnya merupakan gambaran dari kebebasan Ya’juj dan Ma’juj (keringnya sungai Tiberias) serta puncak dari kerusakan yang mereka lakukan di bumi.

Sebab ketiadaan hadis-hadis mengenai ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj memberikan peluang besar bagi Hosein untuk membenarkan teorinya mengenai asal-muasal Ya’juj dan Ma’juj. Di mana ia menyebut bangsa Eropa Timur dan teori mengenai konversi agama yang akhirnya menjadi dua blok besar dunia yang saling berhadapan. Akan sangat mungkin jika ia akan berkesimpulan berbeda jika ia mencantumkan hadis tersebut sebab secara realita, hadis ciri fisik Ya’juj dan Ma’juj lebih dekat mengarah pada bangsa Asia Tengah sampai Timur bukan Eropa, sebagaimana pendapat Quraish Shihab.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya

Atas dasar tersebut, Bariqi menilai bahwa penafsiran Imran Hosein adalah tipologi penafsiran non-ilmiah sebab kebenaran datanya tidak bisa divalidasi akibat adanya inkonsistensi dan pemaksaan pra-pemahaman. Meskipun begitu, penafsiran Imran Hosein ini setidaknya bisa memberikan warna baru bagi diskursus-diskursus dalam kajian Islam yang jarang tersentuh.

Selain itu, penafsiran Hosein juga dapat menjadi bahan renungan dan introspeksi diri. Sebab apabila kita sebagai manusia memang gemar membuat kerusakan di muka bumi ini lewat kegemaran menyulut perpecahan, merendahkan nilai kemanusiaan serta eksploitasi lingkungan secara besar-besaran, maka bukankah kita bertindak layaknya Ya’juj dan Ma’juj? Mari menilai dan mari mengevaluasi. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...