Mengenal Maharaja Imam Sambas dan Tafsir Surah Tujuh

Syekh Muhammad Basiuni Imran
Syekh Muhammad Basiuni Imran

Setiap kerajaan Islam Nusantara di masa lampau memiliki pemimpin dan jejak peradaban yang menjadi warisannya. Mulai dari bangunan kerajaan, peristiwa bersejarah, warisan intelektual dan naskah kitab-kitab. Di daearah Sambas, berdiri sebuah kerajaan Islam atau keraton tertua di Kalimantan Barat (di bagian utara), yang memiliki pengaruh terhadap nilai Islam dan pembaruan pendidikan. Muhammad Basiuni Imran adalah Maharaja Imam Sambas ke-III yang cerdas dan alim di Keraton Sambas. Gelar Maharaja Imam adalah posisi seorang penasehat sekaligus guru besar dalam kerajaan Sambas. Menariknya, posisi Basiuni Imran dengan Ki Hajar Dewantara, Budi Oetomo, Tcipto Mengoenkoesoemo adalah satu zaman dan tidak kalah pentingnya dalam bidang pendidikan di abad ke-19. Hanya saja, karena beliau berada di kabupaten yang kecil dan kurang terekspos, maka nama beliau tidak banyak dikenal oleh masyarakat umum.

Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

Semangat belajar dan kecintaan Basiuni Imran pada ilmu dan agama mendorongnya hingga mendapat sentuhan pengajaran dari ulama-ulama timur untuk membawa perubahan signifikan pada masyarakat Sambas. M. Basiuni Imran juga sangat berperan dalam konstruksi akademik dengan membentuk perkumpulan Tarbiatoel Islam dan menyusun kurikulum pendidikan dengan mengubah sistem Madrasah Sulthaniyah menjadi schakelschool, dengan pola pembelajaran seperti sekolah umum Belanda, namun tetap mempertahankan ciri pendidikan Islam. Inovasi dan gagasan intelektual beliau memberikan catatan sejarah di Kalimantan Barat. Peninggalan berupa madrasah Islam -saat ini menjadi pondok pesantren- dan naskah tafsir dalam catatan beliau yang menarik untuk ditelusuri epistemologi dan ontologinya. Untuk pendekatan lebih lanjut mari kita simak biografi Maharaja Imam Sambas ke-III ini.

Biografi Muhammad Basiuni Imran

Haji Muhammad Basiuni Imran, merupakan seorang ulama asal Sambas, Kalimantan Barat. Lahir pada hari tanggal 25 Dzulhijjah 1302 H atau 16 Oktober 1885 M, Muhammad Basiuni Imran merupakan putra dari Haji Muhammad Arif (Maharaja Imam pertama) dan cucu dari Haji Imam Nurudin bin Imam Mustafa. Beliau ditinggal wafat oleh ibunya yang bernama Sa’mi ketika beliau masih kecil, kemudian diasuh oleh ibu tirinya yang bernama Badriyah. Pada umur 6 tahun, Muhammad Basiuni Imran mulai mendapatkan pendidikan formal di Sekolah Rakyat (Volks School) selama 2 tahun. Sedangkan pendidikan agama ia peroleh langsung dari ayahnya seperti mempelajari tajwid dan makharijul huruf, menulis Alquran, ilmu nahwu dan sharaf. Adapun kitab yang ia pelajari adalah Kitab al-Jurumiyah dan Matan Kaylani, pendidikan keagamaan ini dia peroleh selama kurang lebih 10 tahun (Sunandar, dkk., 2019: 80).

Saat menginjak usia 17 tahun, dia dikirim ke Mekah untuk menunaikan haji dan menimba ilmu disana. Dia mendapat rujukan ilmu dari para masyayikh nusantara yang juga berada di Makkah al-Mukarramah, di antaranya ilmu nahwu, sharaf dan fiqih dari Tuan Guru Umar Sumbawa dan tuan Guru Usman Serawak. Dalam bidang fiqih, beliau juga mendapat didikan tambahan dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Ahmad al-Fattani, Syaikh Utsman al-Funtiani. Dalam kompleksitas ilmu lebih jauh (balaghah, tafsir, mantiq dan ilmu tauhid) beliau mempelajarinya dari Syekh Ali Maliki. Masa pendidikan di Mekah ini berlangsung selama 5 tahun lamanya. Setelah itu pada tahun 1906, beliau kembali ke Sambas untuk mengajarkan ilmu dan mengaplikasikannya pada masyarakat selama 2 tahun, selama itu pula beliau intens berlangganan majalah al-Manar dan membaca literatur Timur Tengah, terutama Mesir. Hal inilah yang membuatnya terinpirasi pada tokoh pembaharu Islam Muhammad Rasyid Ridha dan menargetkan Mesir sebagai pusat studi selanjutnya (Parwanto, 2022: 61).

Baca juga: Jajang A Rohmana: Penguak Ekspresi Lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda

Tahun 1910, Muhammad Basiuni Imran bersama saudaranya, Ahmad Fauzi Imran dan sahabatnya Ahmad Su’ud berangkat menuju Mesir. Sesampaiknya di Mesir, dia disambut oleh adik Rasyid Ridha yakni Sayyid Shalih Ridha, kemudian bermalam di rumahnya dan berdiskusi banyak mengenai ilmu agama dan kondisi umat Islam di Nusantara. Rasyid Ridha juga mempersilahkan mereka belajar di Al-Azhar hingga menyediakan mereka guru khusus bernama Sayyid Ali Sarur al-Zankulani. Setelah enam bulan, mereka juga dipersilahkan menuntut ilmu di Madrasah Dar al-Dakwah wa al-Irsyad. Di sinilah beliau mendapatkan ilmu yang spesifik mengenai ilmu umum, bahasa Arab, tauhid, fikih, dan tafsir, serta bimbingan khusus dari Rasyid Ridha (Parwanto, 2022: 63).

Setelah 3 tahun belajar di Mesir, Muhammad Basiuni Imran kembali ke Sambas atas permintaan ayahnya yang sedang sakit keras dan faktor usia yang sudah tua. Dan akhirnya ayah beliau wafat pada tangal 25 Agustus 1913. Basiuni Imran menjadi seorang qadi, mufti, dan ulama besar yang sangat kritis dan reformis Muslim. Muhammad Basiuni Imran adalah pewaris terakhir gelar Maharaja Imam (gelar tertinggi urusan Agama) di Kesultanan Melayu Sambas. Sambas pada waktu itu adalah kerajaan Islam yang terletak di bagian utara Kalimantan Barat, kerajaan ini berdiri selama 320 tahun dari 1630 sampai 1950 Masehi. Pemikiran Basiuni Imran telah mengguncang dunia Islam pada abad ke-20 dengan pertanyaan yang beliau ajukan kepada ulama besar Mesir, yaitu Muhammad Rasyid Ridha, dengan pertanyaan

لِمَاذَا تَأَخَّرَ المُسْلِمُوْنَ وَ لِمَاذَا تَقَّدَمَ غَيْرُهُمْ؟

“Mengapa kaum muslim terbelakang dan yang lainnya berkembang?”

Dari pertanyaan tersebut lahirlah buku-buku yang mendeskripsikan kemunduran umat Islam dan bagaimana kemajuan dan pembaharuan harus diusungkan, diantara penulis yang terpengaruh ialah Amir Syakieb Arselan dan Muhammad Rasyid Ridha. Basiuni Imran wafat di usia hampir satu abad lamanya (91 tahun) pada 29 Rajab 1396 H bertepatan dengan 26 Juli 1976 M, dan dimakamkan di Sambas. Semoga jasa beliau dalam menegakkan ajaran islam, pendidikan dan ilmu pengetahuan menjadi amal jariyah dan dapat kita teladani semangat keilmuan dan perjuangannya.

Tentang Tafsir Surah Tujuh

Luqman Abdul Jabbar adalah dosen penulis di IAIN Pontianak yang menelusuri jejak naskah kuno Tafsir Surah Tujuh Basiuni Imran. Dinamai Tafsir Surah Tujuh oleh Luqman, adalah karena Basiuni Imran hanya menafsirkan 7 surah pilihan diantaranya Alfatihah, Annas, Alfalaq, Alikhlas, Alkafirun, Alkautsar, Al’ashr. Tujuh surah tersebut dipilih karena sangat sering digunakan dalam kehidupan masyarakat dan memerlukan pemahaman terhadapnya ketika salat agar lebih khusyuk (Jabbar, 2015: 103). Tafsir ini ditulis dalam huruf Arab Jawi dan belum dibukukan, serta terdapat bagian yang tidak ditemukan pada surah Alfatihah yang hanya ditafsirkan sampai ayat 2. Salah satu penafsiran Basiuni Imran yang akan penulis paparkan adalah tafsir surah Alikhlas. Menurut Basiuni Imran surah ini adalah surah Tauhid, sebagai pelengkap dari surah Alkafirun.Basiuni Imran mengutip pendapat Imam Hanafi mengenai keesaan Allah dan sifat al-Shamad, serta menyingkirkan hal hal takhayul, bid’ah dan khurafat. Basiuni Imran menunjukkan sifat ahad dan shamad sebagai pemurnian tauhid dan menginginkan tidak adanya perilaku bid’ah dengan menyerupakan Allah dalam ibadah, seperti praktik tawâshul (memohon) atau istisyfâ’ (meminta kesembuhan) pada selain Allah (Jabbar, 2015: 104).

Baca juga: Bahasa dan Aksara Yang Digunakan Dalam Tafsir Al-Quran di Nusantara

Hingga saat ini penafsiran, kajian filologi dan genealogi pemikiran Basiuni Imran masih menjadi objek penelitian mahasiswa di Kalimantan Barat, dengan berbagai perspektif dan pendekatan penelitian yang nememukan berbagai ‘harta karun’ intelektual islam yang pernah eksis di abad 20 lalu. Begitulah kiranya Sang Legenda dari daerah Sambas, Maharaja Imam Muhammad Basiuni Imran.

Wallahu A’lam.