Pada masa pewahyuan Al-Qur’an, Nabi telah menunjuk beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu (kuttab al-wahy). Sehingga pada masa kenabian, salah satu kegiatan utama dari para sahabat saat itu adalah mentransmisikan wahyu Al-Qur’an dari lisan Nabi menuju tulisan di berbagai media lembaran (shahifah). Proses transmisi inilah yang kemudian menghasilkan ragam mushaf Al-Qur’an. Salah satu dari ragam produk mushaf tersebut adalah mushaf Ibnu Abbas.
Biografi Ibnu Abbas
Seorang sahabat Nabi yang menjadi pakar Al-Qur’an ini memiliki nama asli Abdullah ibn Abbas. Beliau dilahirkan dari seorang ayah yang bernama Abbas ibn Abdul Muththalib (paman Nabi) dan ibu yang bernama Umm al-Fadhl Lubabah al-Kubra bint al-Harits al-Hilaliyah. Diriwayatkan oleh al-Sa’di bahwasanya ibu Ibnu Abbas ini merupakan perempuan kedua yang pertama masuk Islam setelah Sayyidah Khadijah.
Dalam kitab Abdullah ibn ‘Abbas: Habr al-Ummah wa Turjuman al-Qur’an karya Musthafa Sa’id al-Khan, dijelaskan bahwa Ibnu Abbas memiliki kunyah (nama panggilan) berupa Abu al-Abbas. Terkait tahun kelahiranya, para ulama berbeda pendapat, apakah beliau lahir setelah hijrah Nabi atau sebelum hijrah. Namun, al-Waqidi menjelaskan bahwa sebagian besar ulama berpendapat jika Ibnu Abbas lahir pada tiga tahun sebelum Nabi berhijrah. Sehingga tatkala Nabi wafat, Ibnu Abbas berusia 13 tahun (pendapat lain 15 tahun).
Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya
Sejak kecil, Ibnu Abbas senantiasa bercengkrama dengan Rasulullah. Hal ini dikarenakan Ibnu Abbas masih keponakan Nabi. Selain itu, bibinya yang bernama maimunah juga merupakan salah satu istri Rasulullah. Sehingga dari unsur kekerabatan inilah, Ibnu Abbas kemudian banyak meriwayatkan ucapan Nabi secara langsung, mulai dari penjelasan tentang Al-Qur’an maupun hal-hal lainya. Tidak berhenti di situ, setelah Nabi wafat, Ibnu Abbas juga mengambil ilmu dari berbagai pembesar sahabat saat itu.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pada saat Ibnu Abbas berada di rumah Maimunah, beliau menyiapkan tempat wudhu untuk Nabi. Tatkala Nabi tahu bahwa yang menyiapkan tersebut adalah Ibnu Abbas, maka beliau kemudian mendo’akan Ibnu Abbas dengan do’a berikut:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
“Ya Allah, fahamkanlah ia dalam agama dan ajarilah ia tafsir”
Berkat do’a tersebut, Ibnu Abbas kemudian dikenal sebagai seorang sahabat yang ahli dalam berbagai bidang keilmuan, khususnya tentang Al-Qur’an. Sehingga tidak heran jika Ibnu Mas’ud memberikan gelar kepada Ibnu Abbas sebagai Turjuman Al-Qur’an (penerjemah/penafsir Al-Qur’an terbaik). Selain itu, beliau juga dikenal dengan gelar al-Bahr (ilmunya seluas lautan) dan Habr al-Ummah (intelektual umat).
Berkat kepakaranya dalam bidang Al-Qur’an tersebut, menjadikan Ibnu Abbas sebagai rujukan utama madrasah tafsir para tabi’in di Makkah. Beberapa tabi’in jebolan madrasah Ibnu Abbas antara lain adalah Said ibn Jubair, Mujahid ibn Jabir, dan Ikrimah ibn Abdillah. Ibnu Abbas wafat pada tahun 68 H, dimana saat itu usia beliau sudah mencapai 70 tahun. Beliau wafat dan dimakamkan di kota Tha’if, Makkah.
Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (2): Mushaf Ubay ibn Ka’ab
Struktur Sistematika Mushaf Ibnu Abbas
Salah satu karakteristik mushaf Ibnu Abbas adalah adanya dua surah tambahan yaitu surah al-Khal’ dan surah al-Hafd, sebagaimana juga ditemukan dalam mushaf Ubay ibn Ka’ab. Sehingga dua surah tambahan tersebut mengakibatkan jumlah total surah dalam mushaf Ibnu Abbas menjadi 116 surah. Namun, dalam perincian susunan surahnya, al-Syahrastani dalam kitabnya Mafatih al-Asrar wa Mashabih al-Abrar hanya menyebutkan sebanyak 114 surah, tidak memasukkan dua surah tambahan tersebut. Lebih detailnya bisa dilihat dalam tabel berikut:
No. | Nama Surah | No. | Nama Surah | No. | Nama Surah |
1 | al-’Alaq | 39 | Yasin | 77 | al-Naba’ |
2 | Nun | 40 | al-Furqan | 78 | al-Nazi’at |
3 | al-Dhuha | 41 | al-Malaikah (Fathir) | 79 | al-Infithar |
4 | al-Muzzammil | 42 | Maryam | 80 | al-Insyiqaq |
5 | al-Muddatstsir | 43 | Thaha | 81 | al-Rum |
6 | al-Fatihah | 44 | al-Syu’ara | 82 | al-’Ankabut |
7 | al-Lahab | 45 | al-Naml | 83 | al-Muthaffifin |
8 | al-Takwir | 46 | al-Qashash | 84 | al-Baqarah |
9 | al-A’la | 47 | al-Isra’ | 85 | al-Anfal |
10 | al-Lail | 48 | Yunus | 86 | Ali Imran |
11 | al-Fajr | 49 | Hud | 87 | al-Hasyr |
12 | al-Insyirah | 50 | Yusuf | 88 | al-Ahzab |
13 | al-Rahman | 51 | al-Hijr | 89 | al-Nur |
14 | al-’Ashr | 52 | al-An’am | 90 | al-Mumtahanah |
15 | al-Kautsar | 53 | al-Shaffat | 91 | al-Fath |
16 | al-Takatsur | 54 | Luqman | 92 | al-Nisa’ |
17 | al-Din (al-Ma’un) | 55 | Saba’ | 93 | al-Zalzalah |
18 | al-Fil | 56 | al-Zumar | 94 | al-Hajj |
19 | al-Kafirun | 57 | al-Mu’min | 95 | al-Hadid |
20 | al-Ikhlash | 58 | Fussilat | 96 | Muhammad |
21 | al-Najm | 59 | al-Syura | 97 | al-Insan |
22 | al-A’ma (‘Abasa) | 60 | al-Zukhruf | 98 | al-Thalaq |
23 | al-Qadr | 61 | al-Dukhan | 99 | al-Bayyinah |
24 | al-Syams | 62 | al-Jatsiyah | 100 | al-Jumu’ah |
25 | al-Buruj | 63 | al-Ahqaf | 101 | al-Sajdah |
26 | al-Tin | 64 | al-Dzariyat | 102 | al-Munafiqun |
27 | Quraisy | 65 | al-Ghasyiyah | 103 | al-Mujadilah |
28 | al-Qari’ah | 66 | al-Kahfi | 104 | al-Hujurat |
29 | al-Qiyamah | 67 | al-Nahl | 105 | al-Tahrim |
30 | al-Humazah | 68 | Nuh | 106 | al-Taghabun |
31 | al-Mursalat | 69 | Ibrahim | 107 | al-Shaff |
32 | Qaf | 70 | al-Anbiya’ | 108 | al-Ma’idah |
33 | al-Balad | 71 | al-Mu’minun | 109 | al-Taubah |
34 | al-Thariq | 72 | al-Ra’d | 110 | al-Nashr |
35 | al-Qamar | 73 | al-Thur | 111 | al-Waqi’ah |
36 | Shad | 74 | al-Mulk | 112 | al-’Adiyat |
37 | al-A’raf | 75 | al-Haqqah | 113 | al-Falaq |
38 | al-Jinn | 76 | al-Ma’arij | 114 | al-Nas |
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara mushaf Ibnu Abbas dengan mushaf resmi utsmani, yaitu: Pertama, perbedaan vokalisasi teks, semisal kata fi ‘ibadi (في عبادى) dibaca fi ‘abdi (في عبدى). Kedua, pemberian titik diakritis (i’jam) terhadap kerangka konsonantal yang sama ataupun yang berbeda, seperti titik ba dalam kata hadabin (حدب) dirubah menjadi titik tsa serta ditambah titik jim pada huruf ha, sehingga dibaca menjadi jadatsin (جدث).
Baca Juga: Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (3): Mushaf Ibnu Mas’ud
Ketiga, perbedaan kerangka grafis, seperti ayat wa atimmu al-hajja wa al-umrah lillah (وأتممو الحج والعمرة لله) dalam mushaf utsmani, tetapi dalam mushaf Ibnu Abbas tertulis wa aqimu al-hajja wa al-umrah li al-bait (واقيمو الحج والعمرة للبيت). Keempat, terdapat sisipan kata tambahan dalam sebuah ayat, semisal penyisipan kata malakun dalam kalimat fanadaha min tahtiha (Q.S. Maryam [19]: 24), sehingga bacaanya menjadi fanadaha malakun min tahtiha (فنادىها ملك من تحتها).
Akhir kata, walaupun Ibnu Abbas sangat masyhur dan menjadi rujukan utama dalam kajian tafsir Al-Qur’an. Namun, Taufik Adnan Amal menjelaskan dalam karyanya Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, bahwa mushaf Al-Qur’an hasil salinan Ibnu Abbas ini tidak memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Arab sebagaimana pengaruh mushaf Ibnu Mas’ud terhadap penduduk Kufah. Wallahu A’lam