Dalam setiap keilmuan tentu kita akan mengenal yang namanya paradigma, pun demikian dalam keilmuan penafsiran Al-Qur’an. Setiap pendekatan tafsir yang ditawarkan mufassir tentu akan memiliki paradigma atau cara pandang tersendiri terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci yang hendak ditafsirkan. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi terhadap cara berfikir sang mufassir yang mana nantinya dapat menghasilkan pemikiran baru atau pandangan baru dalam pendekatan penafsiran, yang mana pendekatan penafsiran ini seyogyanya tetap relevan dengan perkembangan zaman Dengan begitu, motto Al-Qur’an sebagai kitab suci yang shalih li kulli zaman wa makan dapat terimplementasikan dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza yang ditawarkan Sahiron Syamsuddin. Dimana pendekatan tafsir ini memiliki paradigma penting yang harus diperhatikan mufassir ketika hendak menggunakan pendekatan Ma’na Cum Maghza ini.
Adapun paradigma penting pendekatan tafsir ini setidaknya terangkum dalam paparan berikut, yaitu:
Pertama, Al-Qur’an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. yang berfungsi sebagai rahmatan lil’aalamiin, bahwa Al-Qur’an merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. untuk umat manusia dalam bentuk kitab suci. Adapun yang menjadi dasar hal ini yaitu Q.S al-Anbiya: 107,
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِين
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S Al-Anbiya’ [21] : 107)
Sahiron menjelaskan bahwa pada ayat tersebut terdapat makna kerasulan, yang mana di sebalik makna kerasulan itu terdapat misi atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah itu sendiri, dan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. adalah Al-Qur’an, yakni kitab suci yang diwahyukan Allah yang berfungsi sebagai rahmat bagi umat manusia dan seluruh alam semesta. Oleh karena ayat diatas, jelaslah sudah bahwa Al-Qur’an adalah rahmat, kasih sayang Allah terhadap makhuknya. hal ini dibuktikan oleh Al-Qur’an yang berisi sebagai pedoman hidup agar manusia bisa menjalani kehidupan berdasar akhlak qur’ani dan menjalankan amanahnya sebagai khalifah di muka bumi.
Di dalam Al-Qur’an, jika kita teliti lebih dalam tidak ditemukan satu pun ayat Al-Qur’an yang mengandung kesengsaraan, karena sudah jelas sekali bahwa sejatinya seluruh ayat Al-Qur’an merupakan bentuk kebahagiaan, bentuk kasih sayang Allah Swt. terhadap makhluknya. Dengan demikian, Sahiron menjelaskan bahwa ketika ada seorang penafsir yang hasil penafsirannya mengandung kesengsaraan dan berpotensi mengundang kekacauan dan keributan, sejatinya hal tersebut bukanlah Al-Qur’an yang bicara, melainkan kepentingan seseorang atau kelompok tertentu yang penafsirannya tidak mengandung nilai rahmat.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan Sahiron, bahwa ketika ada seorang penafsir yang menafsirkan Al-Qur’an tidak mencerminkan rahmatan lil ‘alamiin, bisa jadi disebabkan oleh dua kemungkinan: Pertama, seorang penafsir tersebut tidak bisa memahami Al-Qur’an dengan baik, baik dari segi makna literalnya maupun maghza-nya. Kedua, kemungkinan ada kesengajaan dalam rangka kepentingan tertentu, baik itu kepentingan politik, pribadi, atau kepentingan lainnya.
Dua hal tersebut tentu berbeda dan bertolak belakang dengan prinsip teori penafsiran Ma’na Cum Maghza, karena Ma’na Cum Maghza merupakan teori penafsiran yang meyakini bahwa Al-Qur’an adalah rahmatan lil ‘aalamiin. Dengan demikian hasil penafsirannya tentu berisi penjabaran mengenai rahmatan lil ‘aalamiin. Hal ini tidak lain agar motto mulia Al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan dapat terimplementasikan dengan baik guna kemaslahatan manusia dan alam semesta.
Kedua, Al-Qur’an adalah universal atau menyeluruh. Sebagaimana yang kita tahu, bahwa meskipun Al-Qur’an hadir pada abad ke-7 M yang lalu, tetapi semangat dan spirit dari makna Al-Qur’an tetap shalih li kulli zaman wa makan. Dengan demikian, dari paradigma kedua, kita harus meyakini bahwa Al-Qur’an bukan hanya bermanfaat untuk umat Islam saja, melainkan ajaran dan makna Al-Qur’an yang sifatnya universal, yang tentu saja untuk seluruh alam semesta, yang mana ajaran Al-Qur’an itu sendiri akan terus relevan disepanjang zaman dan disetiap tempat, shalih li kulli zaman wa makan.
Ketiga, sebagaimana paradigma kedua yang menjelaskan keuniversalan Al-Qur’an, maka pada paradigma ketiga ini dijelaskan bahwa universalitasnya itu perlu penafsiran, perlu reaktualisasi, dalam arti perlu pengembangan. Dalam hal ini, maka muncul pertanyaan, universalitas Al-Qur’an itu terletak dalam makna literalnya atau dalam maghza-nya?. Dalam hal ini, Sahiron menjelaskan bahwa pada prinsip Ma’na Cum Maghza universalitasnya adalah terletak pada makna maqashid-nya atau maghza-nya, yakni pesan utama ayat Al-Qur’an. Tetapi perlu digarisbawahi, bahwa universalitas Al-Qur’an yang terletak pada maghza-nya tidak lantas untuk melupakan makna literalnya. Sebagai contoh, mengenai ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tujuan utama shalat adalah untuk mengingat Allah, اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ
Pesan utama atau maghza dari ayat ini adalah bahwa shalat sejatinya untuk mengingat Allah Swt. Tujuan dan makna dari ayat ini sudah terlihat dari segi makna literalnya atau secara eksplisit. Lantas bagaimana ketika ada yang mengatakan, “Saya sudah mengingat Allah, bolehkah saya meninggalkan shalat?”. Maka jawabannya adalah, mengingat Allah sejatinya haruslah setiap saat, setiap hembusan nafas yang keluar harusnya berisi Dzikrullaah.
Lantas, kita balik bertanya, mampukah kita mengingat Allah setiap detik, setiap waktu, sekalipun tidak pernah lupa?. Tentu jawabannya adalah tidaklah mampu, buktinya kita sebagai manusia membutuhkan istirahat, membutuhkn waktu tidur, dan ketika tidur sama sekali kita tidak bisa mengingat Allah. Maka dalam hal ini Allah Swt. memberikan rukhsah (keringanan), bahwa untuk mengingat Allah solusinya adalah dengan mendirikan shalat lima waktu guna mengingat Allah minimal lima sekali dalam sehari semalam, yakni dalam shalat, karena lagi-lagi kita tidak akan mampu untuk mengingat Allah setiap saat.
Dengan demikian, tidaklah dibenarkan ketika shalat ditinggalkan, karena shalat adalah dalam rangka mengingat Allah Swt. (Dzikrullah). Contoh inilah yang kemudian disebut oleh Sahiron sebagai contoh Maghza, yang mana makna literal dan pesan utama (maghza) menjadi satu, yakni perintah shalat. Beliau juga menjelaskan bahwa ketika Dzikrullah dan shalat sudah mendarah daging dengan diri kita, maka perilaku kita pun akan menjadi baik. Jadi, dari paradigma ketiga ini dapat disimpulkan bahwa universalitas Al-Qur’an itu sejatinya perlu penafsiran, perlu reaktualisasi atau pengembangan. Mengapa demikian? Karena lagi-lagi pada dasarnya universalitas Al-Qur’an terletak pada maqashid-nya atau maghzanya, akan tetapi bisa saja maghza dan makna literal menjadi satu, sebagaimana contoh perintah shalat shalat diatas. Atau bisa juga makna literal dan maghza-nya terpisah, sebagai contoh ayat-ayat tentang perang dan hukum pidana.
Kemudian, paradigma Keempat adalah, bahwa menurut Sahiron di dalam Al-Qur’an itu tidak ada naskh-mansukh. Beliau berpandangan bahwa sejatinya setiap ayat Al-Qur’an memiliki konteksnya masing-masingi. Dan konteksnya tersebut harus dipahami dengan benar, baik dalam segi konteks tekstual maupun konteks historisnya. Dalam pandangan ini, Sahiron mengikuti pendapatnya Al-Asfahani yang mengatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang naskh-mansukh. Sebagai contoh, ayat khamr. Menurut Sahiron dalam ayat ini tidak ada naskh-mansukh, karena setiap ayat khamr itu memiliki konteksnya tersendiri, pun demikian ketika diterapkan dalam konteks kekinian. Sebagai contoh, ketika berdakwah di hadapan para pecandu minuman keras, maka sebaiknya kita tidak serta merta menggunakan Q.S al-Maidah: 90, melainkan menggunakan Q.S al-Baqarah: 219 terlebih dahulu, yakni kita memberikan edukasi dengan pendekatan-pendekatan yang baik yang mudah dipahami si pecandu, bahwa khamr itu hanya akan mengantarkan pada dosa besar, karena lebih banyak mafsadatnya daripada manfaatnya.
Baca juga: Relevansi Prinsip Hermeneutika Gramatikal Schleiermacher dengan Pendekatan Tafsir Ma’na Cum Maghza
Dari paparan diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi titik utama dari paradigma pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza ini adalah bahwa setiap mufassir yang hendak menggunakan pendekatan tafsir Ma’na Cum Maghza seyogyanya memiliki kesadaran penuh akan Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad yang berfungsi sebagai rahmat bagi seluruh alam, karena itulah Al-Qur’an bersifat universal (menyeluruh). Dan, Al-Qur’an merupakan bukti cinta dan kasih sayang Allah kepada setiap makhluknya, karena setiap isi dari Al-Qur’an adalah rahmat. Dengan demikian, setiap penafsiran ayat Al-Qur’an yang dihasilkan seorang mufassir haruslah mengandung nilai rahmat dan maslahat, sebagaimana fungsi dari Al-Qur’an itu sendiri. (Wallaahu A’lam Bisshawaab)