BerandaKhazanah Al-QuranMengenal Sejarah Manuskrip Sana’a (Bagian 1)

Mengenal Sejarah Manuskrip Sana’a (Bagian 1)

Dalam tradisi kesarjanaan Alquran di Indonesia, manuskrip Sana’a tidak banyak didiskusikan secara intensif baik dalam bentuk jurnal maupun buku Ulumul Quran. Padahal, manuskrip ini merupakan bukti kesejarahan Alquran paling tua yang bisa kita temui saat ini dan mengandung banyak temuan penting di dalamnya.

Sejarah penemuan dan pemeliharaan

Saat Masjid Agung Sana’a direnovasi dan diperbarui pada tahun 1972, sebagian pekerja bangunan menemukan banyak perkamen dan manuskrip kuno yang tersimpan di loteng. Tanpa mengetahui signifikansi temuan mereka, barang berharga ini dimasukkan ke dalam karung, ditinggalkan begitu saja, dan pekerjaan pun dilanjutkan.

Butuh waktu beberapa tahun untuk pemerintah Yaman mengetahui akan eksistensi manuskrip tersebut dan bergerak memelihara keselamatan sekitar 12.000 potongan manuskrip. Pada tahun 1976 di Universitas Cambridge, diadakan seminar yang mengundang banyak peneliti baik dari dunia Islam maupun Barat. Salah satu agendanya adalah membicarakan kebutuhan pemeliharaan dan konservasi dari kekayaan manuskrip Alquran kuno di Mesjid Agung Sana’a.

Setelahnya, Qādī Ismāʿīl al-Akwá, selaku presiden otoritas kepurbakalaan Yaman diminta untuk mencari peneliti asing yang mampu untuk membantu melakukan pemeliharaan lembaran manuskrip tersebut. Denmark merupakan negara pertama yang merespon dengan serius dengan syarat manuskrip tersebut diizinkan untuk dibawa ke negara mereka.

Sayangnya, Yaman menolak respons tersebut lantaran mereka memilih agar manuskrip berharga tersebut tidak dibawa kemana pun. Tak lama, Jerman Barat menawarkan diri untuk melakukan proyek penelitian dan konservasi. Pihaknya pun menerima syarat yang diajukan oleh pemerintah Yaman, dengan dipimpin oleh Gerd-R. Puin mulai tahun 1980.

Baca juga: Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara

Dua tahun menjelang, Ursula Dreibholz dilibatkan sebagai kepala konservator. Dia bekerja memperbaiki kerusakan pada manuskrip-manuskrip tersebut, mendesain tempat penyimpanan permanen, mengelompokkan lembaran-lembaran manuskrip yang membutuhkan identifikasi lebih lanjut, dan mengarahkan para staf Yaman untuk melakukan hal yang sama. Dia mengarahkan agar manuskrip ini disimpan di Dār al-Makhṭūṭāt (DAM).

Kemudian pada tahun 1986, Puin digantikan oleh koleganya dari Universität des Saarlandes yakni Hans-Casper Graf von Bothmer, yang terus menjabat hingga berakhirnya proyek pada tahun 1989. Setelah selesainya proyek tersebut, von Bothmer tetap mengunjungi manuskrip-manuskrip tersebut sesekali untuk mengkaji kembali objek penelitiannya.

Manuskrip yang tersebar

Selama dekade 1990-an hingga awal milenium baru, ada banyak lembaran manuskrip Sana’a dilelang di pusat-pusat pelelangan di Barat seperti di Sotheby (London: 1992, 1993) dan Bonhams (London: 2000). Melihat kejadian-kejadian ini, selama tahun 1996 hingga 1997 von Bothmer berinisiatif untuk merekam manuskrip-manuskrip yang masih berada di Sana’a dalam bentuk mikrofilm yang menghasilkan rekaman 35.000 gambar dan membawanya kembali ke Jerman.

Saat manuskrip yang dijual di Sotheby 1992 dilelang lagi pada Christies (London: 2001) barulah disadari bahwa lembaran perkamen yang tersebar di banyak tempat bisa jadi merupakan satu manuskrip yang sama. Pada tahun 2003, galeri seni asal London yang membeli manuskrip tersebut, Sam Fogg, mendata bahwa Maṣāḥif Ṣanʿāʾ 1985, Sotheby 1992, Sotheby 1993, dan Bonhams 2000 adalah satu jilid Alquran tersendiri.

Yasin Dutton, pada konferensi tentang sejarah Alquran di SOAS, University of London tahun 2003, memberi kemungkinan bahwa manuskrip ini lebih awal dari Mushaf Utsmani berdasarkan pada scriptio inferior atau teks bawahnya yang dihapus dan ditindih dengan teks baru (scriptio superior).

Baca juga: Tashih Mushaf Kuno dalam Tradisi Kritik Teks

Pada tahun 2004, Razān Ghassan Ḥamdūn dari Universitas Al-Yemenia menulis tesis master yang berjudul Manuskrip Alquran di Sana’a dari Abad Pertama Hijriyah dan Pemeliharaan Alquran. Dia meneliti 40 folio lembaran manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Timur (al-Maktaba al-Sharqiyya, Ṣanʿāʾ), lebih banyak daripada manuskrip yang sama di Dār al-Makhṭūtāt, maupun tempat lainnya.

Hingga kini, manuskrip Alquran yang sekarang kita kenal dengan Mushaf Sana’a, manuskrip Sana’a, Codex Ṣanʿāʾ I, atau palimpsest Ṣanʿāʾ terdapat sebanyak 80 folio yang tersebar di Perpustakaan Timur atau al-Maktaba al-Sharqiyya (40 folio) yang diteliti oleh Razan Ḥamdūn, Dār al-Makhṭūtāt atau DAM 01-27.1 (35 folio), Louvre Abu Dhabi (1 folio), Sotheby 1993 atau Stanford 2007 (1 folio) yang diteliti oleh Behnam Sadeghi dan Uwe Bergmann,  Sotheby 1992 atau David 86/2003 (1 folio) yang dibeli oleh badan seni Sam Fogg, Bonhams 2000 (1 folio) dan Christies 2008 (1 folio).

Karakter dan fitur Manuskrip Sana’a

Manuskrip ini memiliki ukuran yang cukup besar, dengan lembaran yang paling besar sekitar 365 mm × 280 mm. Éléonore Cellard (2021: 7) memperkirakan bahwa manuskrip ini sempat dipotong secara sengaja seperti nampak di beberapa folionya. Bandingkan dengan manuskrip kuno lainnya seperti Codex Parisino-Petropolitanus (330 × 240/48 mm) atau Paris BnF Arabe 328c (330 × 245 mm).

Bahan perkamen yang digunakan pun berkualitas medium sebagaimana yang digunakan di manuskrip lainnya yakni kulit binatang. Kekurangannya ialah bahwa bagian tepinya tampak tidak beraturan, meski sudah dipotong dan dirapikan.

Berdasarkan hasil penanggalan radiokarbon yang dilakukan oleh Behnam Sadeghi dan Uwe Bergmann (2010: 348) di University of Arizona atas 1 folio Sotheby 1993 atau Stanford 2007, terindikasi ada kemungkinan sekitar 95% perkamen ini berasal dari tahun 578-669 M atau 45 SH-49 H dan sekitar 68% berasal dari tahun 614-656 M atau 8 SH-35 H. Sadeghi-Bergmann berkesimpulan, bahwa manuskrip ini berumur tidak lebih tua dari 15 tahun setelah wafatnya Nabi atau 646 M/25-26 H.

Satu hal yang paling menarik dari manuskrip Sana’a adalah karakternya sebagai palimpsest, artinya perkamen yang ditulis di atas tulisan lain yang sudah dihapus sebelumnya. Karenanya, dalam kajian tentang manuskrip Sana’a dikenal dua istilah yakni teks atas (scriptio superior) dan teks bawah (scriptio inferior).

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir Kawasan Yaman: Pasca Atba’ al-Tabi’in Hingga Abad ke-14 H (4)

Sadeghi (2010: 353) memperkirakan bahwa tulisan scriptio inferior ditulis tidak terlalu lama dari umur perkamen. Pada masa-masa tersebut, bahan baku kulit binatang sebagai media tulisan bukan barang murah, sangat mahal sekali; bisa jadi membutuhkan satu kawanan hewan ternak.

Ditambah, pada tahun-tahun awal Islam, kebutuhan tulis-menulis bangsa Arab sangat terbatas dan Alquran adalah salah satu yang paling utama. Banyaknya manuskrip Alquran menggunakan rasm Hijazi dengan ukuran perkamen yang sama menunjukkan bahwa kemungkinan bahwa teks bawah sangat mungkin ditulis sebelum kodifikasi Alquran masa Utsman.

Sementara ini, para peneliti Alquran berupaya membongkar misteri scriptio inferior yang dianggap pra-Utsmani. Karenanya, pembacaan kritis terhadapnya akan membantu kita mendapatkan pemahaman lebih yang mungkin mengubah wawasan kita tentang sejarah dan ulumul Quran. Wallahu a’alam.

Muhamad Raa
Muhamad Raa
Alumnus Universitas Muhammadiyah Jakarta. Peminat kajian Alquran, Hadis, Syiah, dan Ushul Fikih.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU