Selain lokalitas bahasa, kajian lokal Al-Quran juga melahirkan kreatifitas ragam aksara. Misalnya Aksara Jawi (Melayu-Jawi) yang merupakan bentuk tulisan Arab untuk bahasa Melayu, dan Pegon untuk Jawa atau Sunda.
Di Yogyakarta misalnya, terdapat Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad. Kitab tafsir tersebut merupakan kitab tafsir baru yang ditulis pada tahun 2012. Beliau membuat sebuah kitab tersebut bertujuan supaya di Yogyakarta khususnya di Ndalem Keraton mempunyai kekhasan dalam tafsir atau memahami Al-Quran.
Latar Belakang dan Tujuan Penulisan
Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad ini pertama kali mulai ditafsirkan pada tahun 2012. Bermula dari adanya majelis pengajian ibu-ibu Nisa al-Qurra yang diselenggarakan setiap hari jumat setelah dzuhur di rumahnya daerah Ploso Kuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Kemudian beliau KH. Ali As’ad mempunyai pemikiran untuk membuat kitab tafsir yang digunakan mengisi majlis tersebut.
Tidak hanya sebatas itu, tujuan utama dari pembuatan kitab Tafsir Al-Quran Pathok Nagari adalah untuk menciptakan kitab tafsir Al-Quran yang bercorak kedaerahan untuk menunjukan identitas dari Yogyakarta, karena pada waktu itu daerah Solo sudah memiliki kitab tafsir sendiri.
KH. Ali As’ad mengajarkan langsung kitab ini pada waktu itu. Beliau menafsirkan Tafsir Al-Quran Pathok Nagari memulainya dengan menafsirkan surat al-Fatiḥah yang beliau jelaskan dalam satu kitab pethilan (kitab pethilan 1), kemudian beliau menafsirkan Q.S Al-Baqarah dalam kitab pethilan 2 dan 3. Dalam menafsirkannya, beliau membentuk tim dari para santrinya untuk membantu beliau mengerjakan penafsiran Tafsir Al-Quran Pathok Nagari. Tim yang dipimpin oleh KH. Ali As’ad tersebut beranggotakan Fattah Yasin (Magelang), Wahid Ulum (Kudus) dan dua anggota lagi yang penulis belum mendapatkan datanya.
Pernah kitab ini disowankan (baca: dikonsultasikan) kepada Ngarso Ndalem agar beliaukui, bahwa kitab ini merupakan kitab tafsir Al-Quran khas Yogyakarta. Seperti kitab Tahlil Hadiningrat yang telah diakui oleh Kasultanan, untuk menunjukan bahwa penduduk Yogyakarta merupakan masyarakat muslim, yang di dalamnya tercakup warga Nahdliyin juga. Namun pada waktu itu, kebetulan Sri Sultan Hamengkubuwono sedang tidak ada dan sampai sekarang belum disowankan lagi kepada Ngarso Ndalem.
Baca juga: Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany
Ketika kitab ini hendak di-sowan-kan ke Ngarso Ndalem, kitab ini baru selesai beberapa juz sajadan masih dalam bentuk draft kasar. Namun penggarapan kitab ini masih berlanjut.Cara penafsirannya adalah dengan KH. Ali As’ad menyuruh santrinya Fattah Yasin yang merupakan alumni dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri untuk memaknai Al-Quran dengan makna murod Jawa dan Indonesia.
Tujuan dari penafsiran yang dilakukan dengan cara memaknai perkata ini, menurut KH. Ali As’ad adalah supaya orang mengetahui makna asli perkata, tidak hanya terjemahan yang disajikan dalam bentuk global seperti kitab Al-Quran terjemahan pada umumnya. Penyajian seperti ini lebih dapat dipahami oleh para pembacanya, dan yang paling menunjukan itu adalah makna pegon. Selanjutnya dari makna pegon kemubeliaun dimodifikasi lagi dengan makna jawa yang menggunakan tulisan latin.
Proses penafsiran ini berjalan kurang lebih sekitar 3 tahun, yaitu sampai pada tahun 2014. Hal ini karena Fattah Yasin, yaitu salah satu anggota yang memaknai Al-Quran harus kembali pulang ke rumahnya di Magelang.
Sampai sekarang ini, dari draft kasar yang disusun oleh KH. Ali As’ad dan timnya, yang telah dicetak adalah juz 1 yang terdiri dari 3 jilid atau yang disebut dengan pethilan. Pethilan 1 hanya menafsirkan surat al-Fatihah saja, pethilan 2 menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 1-74, dan pethilan 3 menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 75-141)
Sumber penulisan kitab
Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad ini, ia mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai rujukan untuk membangun penafsirannya. Adapun sumber-sumber yang digunakan KH. Ali As’ad untuk menafsirkan Al-Quran, penulis akan memaparkan lebih detail.
Pertama, Al-Quran. Pada kitab Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad ini, sangat jelas bahwa beliau menafsirkan ayat dengan ayat-ayat Al-Quran yang lainnya. Penafsiran ini bisa dilihat pada kitab pethilan satu ketika KH. Ali As’ad menafsirkan surat al-Fātihah. Ia menjelaskan surat al-Fātihah yang disebut as-sab’ul maśāni dengan QS Al-Hijr (15): 87 :
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِى وَ الْقُرْأَنَ الْعَظِيْمَ
Selanjutnya dari ayat ini KH. Ali As’ad menjelaskan bahwa yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang adalah surat al-Fātihah yang terdiri dari tujuh ayat. Disebut demikian karena surat al-Fātihah dibaca berulang-ulang ketika sholat.
Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul
Kedua, hadits. KH. Ali As’ad juga menafsirkan Al-Quran dengan hadits Nabi saw. Seperti pada waktu menafsirkan al-Fātihah sebagai as-sab’ul maśāni, beliau juga merujuk pada hadits Nabi saw:
قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ سَبْعُ آيَاتٍ ، بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اِحْدَاهُنَّ ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِى وَ الْقُرْأَنُ الْعَظِيْمُ ، وَ هِيَ أُمُّ الكِتَابِ ( رواه البيهاقي و غيره عن أبي هريرة )
Dari hadits ini, KH. Ali As’ad juga memaparkan bahwa al-Fātihah tidak hanya disebut dengan al-sab’u al-maśāni saja tetapi disebut juga dengan Ummul Kitāb (Induk Kitab) atau Ummul Qur’an (Induk Al-Quran). Di samping itu, ia setuju untuk memasukan bacaan basmallah dalam bagian surat al-Fātihah.
Selain menafsirkan surat al-Fātihah dengan hadits sehingga disebut dengan al-sab’u al-maśāni, ketika menafsirkan ayat:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
KH. Ali As’ad menafsirkan ayat tersebut dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Ibnu Umar ra, yaitu:
اَلْحَمْدُ رَأْسُ الشُّكْرِ ، مَاشَكَرَ اَللَّهَ عَبْدٌ لَا يَحْمَدُهُ (رواه البيهاقي عن عبدالله بن عمرو)
Sebelum beliau memunculkan haditsnya terlebih dahulu beliau menjelaskan bahwa lafal hamdalah merupakan pernyataan untuk mengembalikan segala pujian kepada Allah dan wujud syukur kepada-Nya.
Namun dalam menukil setiap hadits yang digunakan untuk menafsirkan ayat, KH. Ali As’ad tidak mencantumkan jalur sanadnya secara rinci dan kualitas dari hadits yang digunakan. Apakah hadits tersebut shahih atau dha’if.
Ketiga, Akal (Ra’y). Akal (ra’y) pada penafsiran KH. Ali As’ad merupakan unsur yang sangat penting dalam menafsirkan tafsir ini. Meskipun dua sumber yang sebelumnya (Al-Quran dan Hadits) juga memiliki peran yang sangat penting. Hal ini karena dengan pemikiran KH. Ali As’ad, beliau dapat menjelaskan dan mengkolaborasikan penjelasan dari Al-Quran dan Hadits, sehingga penafsiran dari suatu ayat dapat dipahami secara utuh.
Peran akal yang digunakan KH. Ali As’ad untuk menafsirkan ayat Al-Quran ini, dikemukakan oleh Fattah Yasin yang merupakan salah satu santri KH. Ali As’ad yang menjadi anggota tim penyusun kitab Al-Quran Pathok Nagari. Beliau mengutarakan bahwa ketika beliau sorogan (menyetorkan) makna terjemahan Al-Quran Pathok Nagari, KH. Ali As’ad menafsirkan sendiri ayat-ayat yang perlu untuk ditafsirkan yang banyak digunakan di masyarakat. Wallahu A’lam.