Mengenal Tafsir Tarjuman al-Mustafid 

Ketika berbicara tentang warisan keilmuan Islam di Nusantara, nama Abdurrauf as-Singkili tidak bisa dilewatkan. Ulama besar dari Aceh ini bukan hanya seorang sufi dan fakih, tetapi juga pencetak sejarah dengan menghadirkan Tarjuman al-Mustafid, salah satu tafsir Alquran pertama dalam bahasa Melayu. Di tengah arus perkembangan Islam abad ke-17, tafsir ini menjadi jembatan yang menghubungkan pemahaman keislaman masyarakat lokal dengan khazanah keilmuan Islam yang lebih luas.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili

Biografi Abdurrauf as-Singkili

Abdurrauf as-Singkili memiliki nama lengkap Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili, beliau lahir di Suro, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, nama belakangnya as-Singkili merupakan penisbatan kepada tempat lahirnya yakni Singkil. Beliau juga dikenal sebagai intelektual yang terkemuka pada abad XVII M.

Semasa hidupnya di Aceh beliau turut aktif dalam dunia politik, karena beliau hidup pada masa kesultanan Aceh, bahkan pernah menjabat sebagai mufti kerajaan pada masa Sulṭanah Safiat al-Din Taj al-Alam (1641-1675). Karya fenomenalnya adalah tafsir Tarjuman al-Mustafid, yang dianggap sebagai kitab tafsir pertama di Nusantara dengan tuntas menafsirkan 30 juz Alquran.

Menurut Damanhuri Basyir dalam bukunya yang berjudul “Kemasyhuran Syekh Abdurrauf As-Singkili, Riwayat Hidup, Karya Besar, Kontribusi Intelektual, Pengabdian Dan Kepeloporannya” (hlm. 2-3) tidak diketahui pasti tahun kelahiran as-Singkili, hanya saja ditemukan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1620. Namun, pendapat yang paling kuat adalah mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1024 H/1615 M, sesuai kalkulasi ke belakang dari masa kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh. Beliau wafat di Banda Aceh pada tahun 1105 H/1693 M, dan dimakamkan di Kuala tempat beliau mengajar.

Potret Tafsir Tarjuman al-Mustafid

Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid seringkali disebut dengan Tafsir Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Ta’wil karya imam al-Baydhawi, karena konon katanya kitab ini merupakan terjemah dari kitab tersebut yang ditulis dengan bahasa Melayu. Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama terdiri dari juz 1-15, jilid kedua terdiri dari juz 16-30.

Penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Aceh yang pada saat itu dipengaruhi oleh konsep teologi Wahdatul Wujuh yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syams ad-Din as-Sumatrani. Kitab ini bertujuan untuk merespon mereka yang menyuarakan pertumpahan darah dengan pengikut Wahdatul Wujuh, oleh karenanya kitab ini ditulis menggunakan bahasa Melayu dengan khat Arab pegon, agar mudah dipahami oleh masyarakat Aceh pada masa itu.

Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Metode dan Sumber Penafsiran

Dalam penulisannya, Abdurrauf menggunakan metode ijmali, yang ditandai dengan penjelasan singkat, padat, dan mudah dipahami. Beliau memulai penjelasan dengan memberikan konteks sejarah dan latar belakang surat, seperti nama surat, jumlah ayat, dan tempat turunnya. Selanjutnya, mengikuti urutan ayat-ayat dalam surat tersebut dan menjelaskan maknanya secara harfiyah, tanpa menyertakan hadits atau ayat lain yang relevan.

Adapun terkait sumber penafsiran yang digunakan terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan bahwa kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari Tafsir al-Baydhawi, berdasarkan judul yang tertera pada sampul kitab. Namun pendapat yang keduan mengatakan bahwa tafsir ini merupakan terjemahan dari tafsir al-Jalalain, berdasarkan kesamaan metode dan gaya penafsirannya, hanya saja di beberapa bagian tertentu memanfaatkan Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-Baydhawi.

Azyumardi Azra mendukung pandangan kedua, yang menekankan keterhubungan intelektual Abdurrauf dengan Jalal al-Din al-Suyuthi, penulis Tafsir al-Jalalain. Meskipun judul kitab mencantumkan Tafsir al-Baidhawi sebagai referensi utama, namun praktik penafsiran dalam Tarjuman al-Mustafid lebih sejalan dengan pola Tafsir al-Jalalain. (Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII, 2013, hlm. 258-259).

Contoh penafsiran yang merujuk pada Tafsir al-Khazin

Q.S al- Baqarah 248

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اٰيَةَ مُلْكِهٖٓ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ اٰلُ مُوْسٰى وَاٰلُ هٰرُوْنَ تَحْمِلُهُ الْمَلٰۤىِٕكَةُۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَࣖ

Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut kepadamu yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari apa yang ditinggalkan oleh keluarga Musa dan keluarga Harun yang dibawa oleh para malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagimu jika kamu orang-orang mukmin. 

Pembahasan dalam ayat ini membahas tentang sebuah tanda kebesaran tuhan berupa tabut atau sebuah peti yang didalamnya tersimpan kitab suci Taurat. Abdurrauf dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid (Jilid 1) menafsirkan seperti ini: “Kisah tersebut di dalam khozin adalah peti itu didalamnya rupa segala nabi yang diturunkan Allah taala atas adam maka turun temurun hingga datang kepada Musa dan adalah mereka itu menanti kemenangan pada Allah dengan berkah peti itu atas seteru mereka itu dan dihantarkan mereka itu peti itu dihadapan mereka itu maka tetap meraka itu kepadanya tatkala perang dan ditaruh didalamnya oleh mereka itu tanda Kerajaan talut maka ditanggung akan dioleh malaikat antara langit dan bumi padahal mereka itu memiliki kepadanya hingga dihantarkan malaikat akan peti itu pada talut maka percayalah mereka itu akan Kerajaan talut, wallahu alam”.

Dalam menafsirkan ayat di atas, beliau menyertakan kisah israilliyat yang disebutkan mengambil dari Kitab Tafsir al Khazin. Kitab Tafsir al-Khazin menjelaskan bahwasannya peti tersebut berisi taurat yang dibawa oleh malaikat kepada nabi-nabi terdahulu hingga zaman Nabi Musa dan Nabi Harun. Peti tersebut berisi pedoman dan ketetapan hidup seorang hamba atau berisi syariah. Peti terseut juga menjadi bukti akan Kerajaan Talut. Beliau juga menambahkan diksi kalimat “Wallahu a’lam” yang mana berindikasi akan keabsahan sumber tersebut. Namun, disamping itu disandarkan kepada kitab al-Khazin sebagai sisi penguatnya.

Baca Juga: Empat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Yang Penting Diketahui

Penutup

Contoh penafsiran di atas menjadi salah satu bukti bahwasanya Tarjuman al-Mustafid bukanlah murni terjemahan dari Tafsir al-Baydhawi, seperti yang dikatakan oleh pendapat pertama di atas. Di antara karya yang ditulis oleh Abdurrauf as-Singkili adalah Mir’ah al-Thullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah al-Malik al-Wahab, Bayan al-Arkan, Bidayah al-Balighah, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyi, Bayan Tajalli, Kifayah al-Muhtajin ila Nasyrab al-Muwahiddin, Syarh Latif Arba’in Haditsan li al-Imam an-Nawawiyy. (Muallif, Syaikh Abdul Rauf Singkel: Riwayat Hidup dan Karya-karyanya, 2022).