BerandaKhazanah Al-QuranMengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Vernakularisasi atau secara sederhana disebut proses pem-bahasa-lokal-an sudah bukan lagi barang baru dalam tradisi keilmuan masyarakat kita. Vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis sendiri baru terjadi sekitar tahun 1940-an. Ini ditandai dengan penggunaan aksara Bugis (lontara) oleh ulama Sulawesi Selatan dalam tafsirnya.

Tentang vernakularisasi tafsir Al-Quran di Nusantara

Untuk vernakularisasi sendiri, dijelaskan lebih lanjut oleh Anthony H. Johns, bahwa vernakularisasi mulanya berkaitan dengan ajaran agama yang awalnya menggunakan bahasa Arab. Kemudian diganti dengan penerjemahan atau ditulis menggunakan aksara yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Hal ini kemudian senada dengan apa yang dikatakan oleh Azyumardi Azra bahwa vernakularisasi yakni proses pembahasaan kata-kata atau konsep kunci dari bahasa Arab ke bahasa lokal di Nusantara.

Di berbagai wilayah Nusantara terjadi vernakularisasi keilmuan Islam secara umum. Setidaknya perkembangan tersebut bisa dilihat pada paruh abad ke-17, tidak terkecuali dengan perkembangan tafsir Al-Quran. Nur Kholis Setiawan dalam Tafsir Mazhab Indonesia menyebut bahwa beberapa karya di Nusantara, telah banyak melakukan enkulturasi budaya lokal dalam memahami Al-Quran.

Hal ini menjadi salah upaya pemeliharaan Al-Quran dengan memberikan penafsiran yang sesuai dengan keadaan masyarakat setempat, tanpa mengorbankan teks dan juga tanpa mengorbankan bagian penting dari masyarakat seperti, budaya bangsa dan kepribadian.

Kemudian lahirlah beragam tafsir di Nusantara dengan kondisi sosial-budaya yang beraneka macam. Proses yang sangat panjang inilah yang kemudian pada perkembangan berikutnya memunculkan banyak karya tafsir dengan aksara lokal. Diawali oleh era Abd. Rauf Sinkili (1615-1693) di abad 17 sampai kepada era Quraish Shihab pada awal abad 21. Rentang waktu sekian tahun tersebut, banyak bermunculan tafsir-tafsir di Nusantara termasuk di wilayah Sulawesi. Tahun 1940-an aksara Bugis yang biasa disebut lontara dipakai oleh ulama di Sulawesi Selatan dalam menulis tafsir.

Baca Juga: Manuskrip Al-Qur’an Bone: Mushaf Kuno dengan Fitur Terbanyak yang Kini Disimpan di Kanada

Tafsir Al-Quran beraksara Bugis (lontara)

Vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis salah satunya dapat dilihat dari penggunaan aksara Bugis. Aksara Bugis (lontara) sendiri memiliki istilah lama yaitu Sure’ Ugi yakni jenis bentuk tulisan huruf kuno yang memberikan gambaran budaya di masa lalu. Orang Bugis menyebutnya dengan Hurufu Sulapa Eppa (Huruf Segi Empat). Kesusasteraan Bugis yang ditulis dengan lontara telah dimulai sekitar abad ke-XVI, sebelum agama Islam dianut secara umum oleh masyarakat di Sulawesi Selatan.

Pada mulanya kesusasteraan Bugis yang dituliskan adalah kesusasteraan suci berupa mantra-mantra dan kepercayaan mitologis. Lambat laun mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan lontara dan sikap hidup masyarakat dan kebudayaannya. Termasuk  dalam hal ini juga yakni dipakai menulis tafsir. Lontara sendiri pun menurut penamaannya diambil dari fungsi daun lontar yang dulu dipakai sebagai tempat menulis.

aksara lontara
aksara lontara

Berikut beberapa karya tafsir yang ditulis menggunakan aksara lontara. Tafsir Bahasa Boegisnja Soerah Amma menjadi karya tafsir pertama yang ada di Bugis. Tafsir ini ditulis oleh AG.H. Muhammad As’ad pada tahun 1948. (AG merupakan akronim dari Anrégurutta, sebutan khusus untuk ulama atau maha guru dalam tradisi pesantren di Bugis).

Baca Juga: Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

Di tahun 1961 terbit Tafsir al-Qur’an bi al-Lughat al-Bugisiyah, Tafsere Akorang Bettuwang Bicara Ugi yang ditulis oleh AG.H. M. Yunus Martan. Karya ini menafsirkan tiga juz pertama dari Al-Qur’an. Selanjutnya karya yang ditulis oleh AG. H. Abduh Pabbajah adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim bi Lughah al-Buqisiyah. Di sini ia menafsirkan enam surah pendek (al-Fātihah, an-Nas, al-Falaq, al-Lahab, an-Naşr). Baru kemudian, di tahun 1985 terbit tafsir pertama yang lengkap 30 juz, yakni Tafsir al-Munir yang ditulis  oleh AG. H. Daud Ismail.

Disusul beberapa tahun setelahnya muncul tafsir yang juga lengkap 30 juz yaitu Tafsir al-Qur’an al-Karim (Tafséré Akorang Mabbasa Ugi). Tafsir yang mulai ditulis 1988-2006 merupakan karya tim dari MUI Sulawesi Selatan yang biasa juga disebut karya AG. H. Muin Yusuf.

Pada dasarnya unsur penting dalam vernakularisasi adalah bahasa yang tidak hanya berfungsi sebagai ciri etnik, tetapi juga sebagai representasi sebuah budaya. Sebagai upaya dalam mengekspresikan budaya, membentuk budaya dan juga  menyimbolkan realitas budaya.

Selanjutnya vernakularisasi menjadi upaya menyerap bahasa lokal ke dalam kitab-kitab tafsir ataupun ajaran Islam yang diterjemah atau ditulis menggunakan aksara lokal. Proses vernakularisasi tidak hanya mengalihkan dari segi bahasa, sekadar terjemahan atau menjelaskan makna di balik teks, tetapi juga melakukan penyelarasan konsep dan nilai ajaran ke dalam alam budaya penafsir.

Konsep dan nilai keislaman didialogkan dan diselaraskan dengan kearifan pandangan hidup yang melingkupi penafsir. Termasuk juga pengolahan berbagai gagasan dalam bentuk bahasa, tradisi dan juga budaya masyarakat lokal.

Paling tidak urgensi signifikan dari keberadaan vernakularisasi tafsir Al-Quran di Bugis yang ditulis dengan aksara lontara atau secara umum yang dilakukan oleh ulama di Nusantara tidak lain sebagai bentuk pembumian kitab suci Al-Qur’an. Untuk selanjutnya sebagai proses transmisi keilmuan, dan juga sebagai upaya untuk melestarikan budaya lokal yakni penjagaan budaya melalui bahasa, maupun sikap hidup yang terkandung di dalam tafsir.

Pada akhirnya tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa adanya vernakularisasi memberikan kekhasan tersendiri pada karya tafsir. Hal ini tentu bisa disandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Andreas Gorke tentang pendefinisian ulang batasan tafsir, bahwa dalam kategori RegionalParticularities Exegesis; kekhasan sebuah teks dari ruang lokal yang mempengaruhi isi tafsir.

Misbah Hudri
Misbah Hudri
Alumni Studi Qur'an & Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Peminat kajian Tafsir Al-Qur'an di Nusantara, Al-Qur'an & Sosial Budaya, Tafsir Feminis.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...