BerandaKhazanah Al-QuranTradisi Al-QuranMenghidupkan Islam dengan Irama: Potret Seni Tilawatil Qur’an di Indonesia

Menghidupkan Islam dengan Irama: Potret Seni Tilawatil Qur’an di Indonesia

Seni Qiraat Alquran dan tilawatil Qur’an telah tersebar di berbagai penjuru dunia dan masih berkembang hingga saat ini. Adanya perkembangan seni Alquran menjadikan setiap wilayah memiliki keistimewaan masing-masing baik dalam membaca, mengamalkan, dan mempelajarinya. Kebudayaan yang tersebar di berbagai penjuru dunia tentu berbeda-beda dan memiliki keistimewaan tersendiri bagi masyarakat dan orang-orang di sekitarnya.

Sejarah perkembangan tilawatil Qur’an sudah ada sejak lama. Di Indonesia sendiri tilawah sudah berkembang sejak tahun 1940 yang dikembangkan oleh institusi Jam’iyyatul Qurra wal-Huffazh. Seiring perkembangannya, Qiraat dan tilawatil Qur’an sudah menjadi bagian dari unsur kebudayaan yang hidup di dalam masyarakat (Miftahul Jannah 2016). Di Indonesia misalnya, beberapa kegiatan seperti pernikahan, khitanan, maulid atau kegiatan islami lainnya sudah biasa dibuka dengan pembacaan ayat suci Alquran.

Sudah bukan sesuatu yang baru bagi masyarakat Indonesia melihat fenomena pembacaan seni tilawah sebagai bagian dari tradisi Islam. Namun, nampaknya hal ini mengalami perkembangan begitu pesat seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman. Arus perkembangan teknologi yang semakin maju, membentuk sebuah peradaban baru termasuk dalam perkembagan seni Alquran.

Baca juga: Pemeliharaan Alquran dari Zaman Nabi Hingga Masa Kini

Beberapa fenomena yang ada, tradisi dan kearifan masyarakat kini sudah bertransformasi ke dalam dunia digital termasuk seni Alquran. Di era globalisasi kebudayaan dibangun melalui ekplorasi dunia digital yang mempunyai daya tarik di kalangan masyarakat, baik golongan muda maupun tua. Fenomena yang muncul di era sekarang adalah bagaimana seseorang bisa mengakses baik itu gambar, bahasa, maupun video yang memiliki suatu makna yang dapat mempengaruhi nilai estetika (secara islami) dan norma.

Tilawatil Qur’an merupakan sebuah seni yang sekarang banyak tersebar di dunia digital, yang tentunya menjadi salah satu pusat perhatian yang menarik dan mendapat banyak responss di kalangan masyarakat. Hal ini terbukti di setiap video tilawah yang ada di media, banyak mengurai responss yang baik dari masyarakat pengguna media sosial.

Dari sinilah kita bisa melihat, bahwa perkembangan teknologi dapat membawa sebuah peradaban baru termasuk kebudayaan. Qari Indonesia yang memiliki akses yang terjangkau dapat melihat sebuah inovasi baru dari beberapa qari Arab, misalnya syaikh Mahmud Shahat, Vahid Nazarian, Ahmad Nuaina, dan masih banyak lagi.

Kehadiran Seni Tilawah dan Reaksi Masyarakat Indonesia

Pada bagian ini, penulis akan sedikit menggambarkan bagaimana respons masyarakat Indonesia terhadap perkembangan seni baca Alquran atau biasa disebut tilawatil Qur’an. seperti yang dijelaskan di atas, perkembangan seni baca Alquran muncul sejak tahun 1940 yang waktu itu kehadirannya masih belum sepopuler seperti saat ini. Hadirnya tradisi tilawah dalam kehidupan masyarakat, tentu menjadi fenomena baru sebagai bentuk transmisi Alquran.

Tidak hanya sebagai bentuk transmisi Alquran, adanya seni tilawatil Qur’an juga berupaya memperkenalkan ragam dan bentuk bacaan Alquran atau yang biasa dikenal dengan sebutan Qiraah Sab’ah. Disebut Qira’ah Sab’ah karena ada tujuh imam yang meriwayatkan bentuk dialek baca Alquran, yaitu Ibnu Katsir, Imam Nafi, Imam Hasyim, Ibnu Amr, Ibnu Amir, Imam Hamzah, dan Imam Ali bin Kisa’I (Al-Qathan, 2017: 255). Di Indonesia sendiri, pemakaian dialek baca Alquran merujuk kepada Imam Hasyim riwayat hafs.

Meskipun demikian, rupanya kehadiran seni tilawah di tengah masyarakat nampak tidak mengurangi nilai tradisi yang lain, justru menjadikan jalinan keharmonisan sebagai bentuk satu kesatuan dalam tradisi Islam. Secara tidak langsung, kehadiran seni tilawah membawa satu ajaran baru yang memperkenalkan beragam bentuk dialek Alquran termasuk bacaan Qiraat. Dengan beragam unsur, perkembangan seni tilawah kini sudah berkembang pesat dan hampir sudah dikenal diseluruh penjuru wilayah di Indonesia.

Baca juga: Tradisi Hafalan Alquran di Indonesia

Seperti yang kita pahami, masyarakat Indonesia begitu senang terhadap tradisi yang berbau seni dan irama. Tidak hanya tilawah, ragam seni islami lainnya juga begitu banyak diminati seperti selawat, qasidah, marawis, dan kesenian Islam lainnya. Tak heran bila seni tilawah juga mendapati perhatian begitu pesat yang banyak diminati mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dan sampai kalangan tua.

Sebagai bentuk respons yang amat baik, tak jarang kita juga menemukan kontestasi Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Adanya kegiatan kontestasi ini, tak jarang menuai banyak respons begitu besar dalam beberapa ajang baik nasional maupun internasional. Masyarakat Indonesia yang mempunyai kualitas baik dalam membaca Alquran, tak jarang menuai banyak perhatian dari Negara-negara Arab yang melihatnya. Tidak hanya suaranya yang merdu, tapi juga dalam bacaan Alquran, orang Indonesia dapat melafalkannya secara fasih dan sesuai dengan kaidah huruf.

Baca juga: Pentingnya Pagelaran MTQ Menurut Prof. Said Agil Husin

Dengan demikian, seni tilawah hadir sebagai bentuk dorongan memperkenalkan Alquran. Secara umum tidak hanya dipahami sebagai teks tetapi juga dapat dihidupkan khususnya dalam kearifan masyarakat. Dengan beragam respons, seni tilawah sudah melintasi beragam kegiatan islami lainnya seperti pengajian, maulid, pernikahan, khitanan, Isra Mi’raj, maupun bentuk kegiatan lainnya baik formal maupun nonformal.

Karena inilah, perkembangan tilawah kini sudah menjadi bagian penting dalam tradisi masyarakat Indonesia yang dianggap wajib hadir dalam setiap acara-acara besar bernuansa islami. Sejauh ini, perkembangan modern juga ikut serta dalam memperkenalkan seni tilawah dengan beragam akses yang tersedia. Sehingga, masyarakat dapat melihat dan mengetahui secara luas perkembangan seni tilawah yang tidak hanya ada di Indonesia, tapi juga di belahan negeri Arab seperti Iran, Maroko, Mesir, dan negara-negara Arab lainnya.

Sukmadi Al-Fariss
Sukmadi Al-Fariss
Santri Pondok Pesantren Mahasisiwa Darussalam Pucangan Kartasura
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...