BerandaTafsir TematikMengingat Allah Swt dengan Muhasabah dalam Al-Quran dan Hadis

Mengingat Allah Swt dengan Muhasabah dalam Al-Quran dan Hadis

Allah Swt mengingatkan manusia agar dia tidak melupakan-Nya. Kalau dia mengingat Allah berarti dia telah melakukan muhasabah. Mengingat Allah Swt adalah bahagian yang terpenting dari kegiatan muhasabah. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Hasyr (59): 19: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.

Dalam kaitannya dengan muhasabah, ayat di atas mengingatkan orang-orang beriman agar tidak melupakan Allah. Mereka diperintahkan untuk selalu mengingat Allah, mengerjakan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Apabila mereka melupakan Allah, maka Allah akan menjadikan mereka melupakan diri mereka sendiri.

Allah memerintahkan untuk selalu mengingat Allah Swt kapan pun dan di mana pun. Allah menyatakan di dalam Q.S. Al-A’raf (7): 205: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Baca Juga: Pentingnya Muhasabah dan Perintah dalam Al-Quran dan Hadis

Secara tegas ayat di atas memerintahkan kepada kaum muslimin untuk senantiasa mengingat Allah kapan saja dan di mana saja, baik dalam keadaan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Bahkan Allah mengingatkan agar kaum muslimin tidak menjadi orang-orang yang lupa akan Allah.

Bermuhasabah tidak hanya berkaitan dengan upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk urusan akhiratnya, tetapi juga untuk urusan dunia. Mengurus urusan akhirat harus dengan mengurus urusan dunia. Mengurus urusan dunia harus seimbang dengan mengurus urusan akhirat. Ini yang disebut keseimbangan hidup dunia dan akhirat. Hal ini dinyatakan oleh Allah di dalam QS. Al-Qashash [28]: 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Dalam kaitannya dengan muhasabah, ayat ini memerintahkan kepada kaum muslimin untuk melakukan 4 hal: yaitu (1) Carilah (tuntutlah) akhiratmu dengan menggunakan segala apa yang telah diberikan Allah kepadamu di dunia ini, (2) jangan melupakan bahagianmu di dunia, (3) Berbuat baiklah kalian sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada kalian, dan (4) jangan kalian membuat kerusakan di muka bumi. Allah ingin menegaskan dalam ayat ini bahwa manusia tidak melupakan bahagian untuk kehidupannya di dunia dan bahagian untuk kehidupannya di akhirat.

Di dalam hadis Nabi pun cukup banyak teks-teks yang berbicara mengenai muhasabah ini. Di antara hadis yang sangat populer di kalangan kaum muslimin adalah hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, yang terjemahannya adalah sebagai berikut.

Dari Syaddad bin Aus, dari Nabi Muhammad saw., beliau berkata: “Orang yang kuat ialah orang yang dapat menundukkan hawa-nafsunya dan beramal untuk kehidupannya sesudah mati, dan orang yang lemah adalah orang mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan kepada Allah. Ia berkata bahwa yang dimaksud dengan menundukkan dirinya di sini ialah menghitung-hitung (menilai) dirinya di dunia ini sebelum ia dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, ia berkata: “Hitunglah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihitung (dinilai) di akhirat nanti, dan berhiaslah dengan akhlak yang mulia, karena sesungguhnya penilaian di akhirat nanti akan menjadi ringan bagi seseorang yang terlebih dahulu menghitung (menilai) dirinya di dunia ini. Diriwayatkan dari Maimun bin Mahran, ia berkata: “Seorang hamba tidak dipandang bertakwa sehingga ia menghitung (menilai) dirinya sebagaimana ia menilai dan melihat kepada kawannya dari mana ia mendapat makanan dan pakaiannya. (HR Tirmidzi)

Baca Juga: Berinfak di Jalan Allah Swt dan Balasan yang Didapatkan

Ada beberapa aspek penting yang terkait dengan muhāsabah di dalam hadis di atas, yaitu:

  1. Orang yang kuat ialah orang yang dapat menundukkan hawa-nafsunya. Kekuatan yang ada di dalam diri seseorang akan dinilai dari kemampuan dan kekuatannya untuk mengendalikan hawa nafsunya. Hawa nafsu tidak mungkin dihilangkan, tetapi harus dikendalikan ke arah kebaikan dan kemaslahatan. Sebab, nafsulah yang mendorong setiap orang untuk melakukan apa saja, yang baik maupun yang buruk.
  2. Orang yang kuat ialah orang yang beramal untuk kehidupannya sesudah mati. Kekuatan yang di dalam diri seseorang akan dinilai dari kemampuannya untuk beramal untuk mempersiapkan dirinya menghadapi kehidupan akhirat dengan mempersiapkan diri dan bekal untuk kehidupan di akhirat. Ingatlah, amalmu akan selalu mendampingi ketika berada di alam akhirat. Amal baikmu akan mendampingimu dalam kebahagiaan dan kesenangan dan amal burukmu akan selalu mendampingi dalam keburukan.
  3. Orang yang lemah adalah orang mengikuti hawa nafsunya. Kelemahan yang ada di dalam diri seseorang akan dinilai dari ketidakmampuannya dan ketidakberdayaannya untuk mengendalikan hawa nafsunya. Dia tidak boleh membiarkan hawa nafsunya untuk melakukan apa saja yang sesuai dengan keinginannya tanpa menyaring dan memilihnya dengan amal yang baik. Membiarkan hawa nafsu mendorong Anda kepada keburukan akan menimbulkan hal buruk bagi dirimu.
  4. Orang yang lemah adalah orang yang berangan-angan kepada Allah, selalu mau dekat dengan Allah, tetapi angan-angannya itu tidak terwujud karena tidak dibarengi dengan kemampuan untuk mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Seharusnya dia berharap kepada Allah dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
  5. Setiap orang harus menundukkan dirinya dengan cara-cara ber- muhāsabah atau menghitung-hitung (menilai) dirinya di dunia ini dengan mengukur sejauh mana amal saleh yang dilakukannya, sejauh mana pula amal buruk yang pernah dilakukannya. Dengan muhāsabah ia mampu memilih dan menilai amal yang telah dilakukannya. Amal salah yang masih kurang harus ditingkatkan dan amal buruk yang telah dilakukannya harus ditinggalkan dan dijauhkan dari dirinya. Muhāsabah di dunia ini perlu dilakukan oleh setiap orang sebelum ia dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Sebab setiap orang akan dihisab di akhirat nanti.
  6. Umar bin Khattab berpesan kepada kita semua: “Hitunglah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihitung (dinilai) di akhirat nanti. Semua amalmu yang besar maupun yang kecil, yang nyata maupun yang tersembunyi, yang disengaja maupun yang tidak disengaja, yang berat maupun yang ringan semuanya akan dihitung dan dinilai oleh Allah swt. Tidak ada satu pun amal yang luput dari penghitungan Allah di hari hisab nanti.
  7. Salah satu bentuk muhasabah itu berhias diri dengan akhlak yang mulia. Akhlak-akhlak yang mulia salah satu faktor yang mendukung amalmu di akhirat. Sebab, sesungguhnya penilaian di akhirat nanti akan menjadi ringan bagi seseorang yang terlebih dahulu menghitung (menilai) dirinya di dunia ini.
  8. Maimun bin Mahran berkata bahwa: “Seorang hamba tidak dipandang bertakwa sehingga ia menghitung (menilai) dirinya sebagaimana ia menilai dan melihat kepada kawannya dari mana ia mendapat makanan dan pakaiannya.
Ahmad Thib Raya
Ahmad Thib Raya
Guru Besar Pendidikan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Quran (PSQ)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...