The Message of the Qur’an karya Muhammad Asad selain merupakan kitab Tafsir, juga dianggap sebagai kitab terjemah al-Qur’an. Hal ini didasari oleh adanya terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Inggris yang disajikan di dalamnya.
Berkat terjemahan yang dihadirkan oleh Asad, karya The Message of the Qur’an dinilai sebagai kitab terjemah al-Qur’an ke dalam bahasa Inggris terbaik hingga saat ini. Penilaian tersebut tidaklah berlebihan, sebab dalam penerjemahannya, Asad tidak hanya mencari padanan kata namun berupaya untuk mempertahankan makna.
Maka menarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ciri khas serta metodologi yang diterapkan oleh Asad dalam menyusun terjemah serta tafsir dalam karyanya. Oleh karena itu, tulisan kali ini akan mengulas dua hal penting yakni metodologi terjemah dan tafsir dalam The Message of the Qur’an.
Metodologi Terjemah
Muhammad Asad, sebagai seorang cendekiawan yang menguasai beberapa bahasa Semitik, mengetahui bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang kompleks. Baginya, dalam konteks penerjemahan al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan penerjemahan karya sastra seperti karya Shakespeare maupun Plato.
Karya-karya sastra karangan manusia dapat dinikmati dengan rasa yang sama apabila diterjemahkan ke dalam bahasa di luar bahasa aslinya, namun menurutnya itu jelas tidak berlaku bagi al-Qur’an. Sebab al-Qur’an memiliki berbagai keunikan mulai dari pemilihan kosa kata, ritme, keseimbangan bunyi akhir suku kata serta konstruksi sintaksis kalimat yang hanya bisa dinikmati keindahannya dalam bahasa al-Qur’an itu sendiri. Maka baginya, al-Qur’an adalah kitab yang untranslateable (sulit untuk diterjemahkan), sehingga mustahil menikmatinya jika hanya diterjemahkan secara harfiyah (Tarjamah Harfiyah).
Baca Juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir
Maka Asad, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berupaya untuk melakukan transfer makna dan tidak hanya sekedar mencari padanan kata. Salah satu contohnya dapat ditemui di penerjemahannya terhadap term al-Kitab dan al-ghaib dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 2 dan 3.
Dalam penerjemahannya, Asad mengalihbahasakan al-Kitab dengan Divine Writ (Kalam Ilahi). Muhammad Chirzin menjelaskan bahwa alih bahasa Asad telah tepat, sebab jika dimaknai sebagai the book, maka tidak mungkin bisa dibayangkan bentuknya pada masa pewahyuan al-Qur’an sebab saat itu al-Qur’an belum terbukukan dan masih berupa hafalan (lisan) dan tulisan dalam lembaran-lembaran.
Selanjutnya pada term al-ghaib, Asad menerjemahkannya dengan that which is beyond the reach of human perception (hal-hal yang berada di luar persepsi atau nalar manusia). Berbeda dengan beberapa penerjemah yang mengalihbahasakannya dengan unseen, invisible, maupun hidden. Sebab al-Qur’an menggunakan kata al-ghaib untuk menunjukkan hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh nalar manusia maupun dibantah oleh Sains.
Dalam tataran metodologi ini, sangat pantas apabila The Message of the Qur’an disebut sebagai karya Tarjamah Tafsiriyah, selain juga disebut karya Tafsir karena memuat Tafsir di dalamnya, dan juga tidak mengherankan apabila dinilai sebagai karya Tarjamah Tafsiriyah berbahasa Inggris terbaik yang sampai saat ini masih sangat laris dijadikan rujukan dan perhatian dalam penelitian.
Metodologi Tafsir
The Message of the Qur’an menerapkan metode tafsir tahlili dalam sistematika tafsirnya. Artinya, pembahasan penafsiran dimulai dari awal surah hingga akhir surah berdasarkan susunan mushaf Utsmani (tartib mushafi).
Ada tiga bentuk penyajian penafsiran dalam The Message of the Qur’an, yaitu 1) aplikasi footnote; 2) ulasan umum mengenai surah yang akan ditafsirkan; 3) aplikasi Appendix atau lampiran.
Mari kita ulas ketiga bentuk tersebut satu persatu. Pertama, aplikasi footnote merupakan salah satu bentuk penyajian uraian pembahasan yang berkembang dewasa ini. Footnote ini diletakkan di bawah nash al-Qur’an/ayat dan terjemah.
Kedua, ulasan umum mengenai surah yang akan ditafsirkan. Ulasan umum ini disajikan sebelum nash al-Qur’an dan terjemah serta penafsiran. Di dalamnya terdapat ulasan tentang alasan penamaan surat, nama-nama lain dari surat tersebut (jika memilikinya), kategorisasi surat berdasarkan tempat turunnya (makiyyah atau madaniyah), tema-tema yang dikandung oleh surat tersebut secara ringkas, serta penyebutan beberapa ayat yang dianggap “menarik” dalam surat tersebut.
Ketiga, aplikasi Appendix atau lampiran. Dalam tafsirnya, Apendiks atau lampiran yang disajikan Asad cenderung memuat pembahasan hal-hal ghaib ataupun sirrul Qur’an sepeti halnya Symbolism And Allegory In The Qur’an, Al-Muqatta’at, On The Term And Concept Of Jinn. Menurut Muhammad Chirzin, bentuk penyajian ini mungkin ditujukan secara khusus pada masyarakat Barat yang tidak terbiasa pada hal-hal yang sifatnya abstrak dan tidak empiris.
Mengenai sumber penafsiran The Message of the Qur’an, Asad mengambil rujukan baik dari al-Quran sendiri (berupa munasabah atau cross reference), pendapat para mufassir baik klasik ataupun modern, Hadis nabi dan syarh-nya, kamus-kamus, kitab fikih, buku-buku sejarah, ensiklopedia, temuan-temuan ilmiah dari berbagai cabang ilmu pengetahuan, Bibel (kajian intertekstualitas), dan pemikirannya sendiri (ijtihad).
Baca Juga: Melihat Fungsi Interpretasi Jorge J E Gracia sebagai Teori Penafsiran Al-Quran
Sebagai ahli bahasa, Asad tetap menjadikan uraian aspek al-i’jaz al-balaghy (kebahasaan) al-Qur’an sebagai fokus tumpuan penafsirannya. Hal ini juga didukung oleh keinginannya untuk menjaga ketersampaian makna dalam al-Qur’an tetap terjaga.
Dalam kajiannya atas tafsir The Message of the Qur’an, Chirzin menyimpulkan bahwa berdasarkan pertimbangan metodologi, sumber serta perhatian pada aspek kebahasaan dan fokus pada penyampaian makna, tafsir The Message of the Qur’an dapat dikategorikan sebagai tafsir dengan corak Adabi al-Ijtima’i. Alasan kuat lain yang mendasari argumen ini ialah pernyataan Asad sendiri yang mengakui bahwa dirinya terpengaruh pada pemikiran tafsir Muhammad Abduh dengan Al-Manar-nya. Di mana Abduh sendiri merupakan pionir dari kehadiran corak tafsir Adabi al-Ijtima’i.
Sedikit ulasan atas The Message of the Qur’an setidaknya ingin memantik kajian-kajian lanjutan terhadapnya. Apalagi banyak hal-hal menarik yang mungkin bisa dieksplorasi lebih dalam sepeti kajian intertekstualitasnya maupun penggunaannya akan temuan-temuan ilmiah dalam menafsirkan ayat-ayat kauniah. Wallahu a’lam.