BerandaTafsir TematikMengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Mengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Di balik segudang keutamaannya, puasa Ramadan juga menyimpan istilah yang menarik untuk diperbincangkan. Istilah itu adalah shiyam dan shaum. Kedua istilah ini sangat populer dan disitir beberapa kali dalam Al-Quran. Karenanya, artikel ini fokus untuk menguak makna literal dan istilah keduanya serta implikasinya dalam ibadah puasa Ramadan. Pada kesempatan ini yang hendak dibahas terlebih dahulu adalah makna shaum.

Pengertian Shaum

Secara literal, shaum berasal dari kata صام يصوم صوم artinya imsak (menahan, mengekang). Secara istilah, kata shaum para ulama berbeda pandangan. Sebelum menapaki ikhtilaf ulama, patut kita telisik sejauh mana penyebutan kata shaum dalam Al-Quran. Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-Karim menuturkan bahwa kata shaum disebutkan satu kali dalam Al-Quran, yaitu Q.S. Maryam [19]: 26. Hal ini juga diamini oleh beberapa ulama mufassir, seperti al-Qurtuby, al-Razi, al-Baidhawi, al-Zamakhsyari, dan Izzuddin Abdussalam. Berikut ayatnya,

اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا

“Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”” (Q.S. Maryam [19]: 26)

Secara istilah, para mufasir era klasik sepakat bahwa definisi puasa pada umumnya. Al-Qurtuby misalnya, yang dimaksud shaum ialah إمساك عن الكلام (menahan bicara). Definisi ini kemudian diperjelas lagi olehnya dengan سكوتاً عن الكلام (diam). Maka, puasa menurut al-Qurtuby adalah berhentinya angin (nafas) karena terkekangnya hembusan angin (rukud al-riihu wahuwa imsakuha ‘an al-hububi). Maksudnya, berhentinya lisan manusia untuk tidak berkalam yang dilarangnya, seperti menggunjing, menyebar konten hoaks, dan seterusnya.

Baca juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Tidak jauh berbeda, sebut saja al-Razi dalam Tafsir al-Kabir-nya, ia memaknai shaum (puasa) dengan,

الإِمْسَاكُ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ حَالِ الْعِلْمِ بِكَوْنِهِ صَائِمًاً مَعَ اقْتِرَانِ النِّيَّةِ

“Menahan dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenammya matahari dengan didasari ilmu serta niat”

Hampir senada dengan al-Razi, al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, menyampaikan definisi shaum (puasa) sebagai berikut,

وَالصَّوْمُ فِي اللُغَةِ: اْلإِمْسَاكُ عَمَّا تَنَازَعَ إِلَيْهِ النَّفْسِ، وَفِي الشَّرْعِ: الْإِمْسَاكُ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ بَيَاضِ النَّهَارِ، فَإنَّهَا مُعَظَّمٌ مَا تَشْتَهِيْهِ النَّفْسِ

“Puasa secara bahasa ialah menahan terjadinya perpecahan jiwa. Sementara secara istilah (syara’) adalah menahan dari segala perkara yang membatalkan puasa selama siang hari, karena itu merupakan sesuatu yang sangat agung, yang didamba-dambakan oleh jiwa manusia”

Baca juga: Analisis Semantik Makna Kata Huda dan Derivasinya dalam Al-Quran

Pengertian shaum berikutnya datang dari sastrawan Arab era klasik, Raghib al-Asfahani. Dalam karya monumentalnya, Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Quran, ia memaknai puasa secara bahasa dengan menahan diri dari aktifitas memakan, perkataan, maupun langkah kedua kakinya (al-imsaku ‘an al-fi’li math’aman kana au kalaman au masyan). Ia juga menambahkan, menahan diri dari perkataan (al-imsaku ‘an a-kalam). Sedangkan secara istilah, puasa adalah

إمْسَاكُ الْمُكَلًّفُ بِالنِّيَّةِ مِنَ الْخَيْطِ الْأَبْيَضِ إلَى الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ عَنْ تَنَاوُلِ الْأَطْيِبِيْنَ وَالْإسْتِمْنَاءِ وَالْإسْتِقَاءِ

“Perbuatan seorang mukallaf yang menahan dirinya untuk tidak berhubungan intim maupun mengeluarkan sperma dengan dibarengi niat mulai dari benang putih (terbitnya fajar) hingga benang hitam (terbenamnya matahari)”

Dari paparan pendapat ulama di atas, sebenarnya kata shaum di atas bermakna netral. Tidak sekadar menahan diri untuk tidak berbicara alias diam, maupun tidak makan dan minum. Lebih dari itu, jika dikontekstualisasikan makna shaum saat ini adalah umat Islam hendaknya menahan diri dari segala pembicaraan maupun perbuatan yang unfaedah, misalnya menggunjing, memfitnah, menebar konten hoax, mengujar kebencian (hate speech) dan sejenisnya.

Baca juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Bahkan dalam sabda-sabdanya, Rasululla saw tak jarang menggunakan kedua istilah (shaum dan shiyam) secara beriringan guna merujuk makna puasa Ramadan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Berikut sabda Nabi saw,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. رواه بخارى ومسلم

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِه. رواه بخارى

“Setiap amal perbuatan manusia untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”

Wallahu a’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...