BerandaTafsir TematikMengulik Makna Shiyam Istilah Puasa Ramadhan dalam al-Quran

Mengulik Makna Shiyam Istilah Puasa Ramadhan dalam al-Quran

Ada dua istilah yang berkembang tentang puasa ramadhan, yaitu shaum dan shiyam. Istilah shaum telah disinggung pada pembahasan terdahulu, yakni pada link di sini. Maka pada pembahasan kali ini kita akan mengulas makna shiyam. Kata shiyam sendiri memiliki tujuan yang beranekara ragam, di antaranya kewajiban membayar fidyah, diyat, atau kafarat maupun makna puasa ramadhan itu sendiri.

Pengertian Shiyam

Secara bahasa, baik kata shiyam maupun shaum berasal dari صام – يصوم, artinya imsak (menahan), shamt (diam tidak berbicara), rukud (diam tidak bergerak), dan wuquf (berhenti) sebagaimana disampaikan Khalil bin Ahmad al-Farahidi dalam Kamus al-‘Ain. Jadi, kedua istilah tersebut secara literal bermakna meninggalkan makan dan minum, tidak berbicara dan tidak mengerjakan apapun.

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah Mesir dalam al-Mu’jam al-Wasith menyampaikan makna harfiah ini kemudian menjadi makna pakem yang melekat pada istilah shaum dan shiyam sampai saat ini. Sebaran kata shiyam ini juga disebutkan beberapa kali dalam Al-Quran. Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-Karim menjelaskan bahwa kata shiyam diulang sebanyak 8 kali, yaitu Q.S. al-Baqarah [2]: 184, 187, 196 (dua kali), Q.S. al-Nisa [4]: 92, Q.S. al-Maidah [5]: 89 dan 95 serta Q.S. al-Mujadilah [58]: 4.

Makna shiyam pun beragam, pada Q.S. al-Baqarah [2]: 184 dan 187 misalnya menyebutkan kewajiban puasa ramadhan, sedangkan ayat 187 menyampaikan teknis akftifitas puasa. Lantas, yang menjadi pertanyaan mengapa Al-Quran sering menyebut kata shiyam bahkan untuk menunjukkan makna kewajiban puasa ramadhan ketimbang shaum, padahal secara literal makna keduanya tidak jauh berbeda?

Dalam ilmu gramatikal Arab, sharaf dan nahwu, ada satu kaidah, yaitu ziyadah al-ma’na tadullu ‘ala ziyadah al-ma’na (bentuk kata itu menunjukkan karakter makna). Shaum (صوم) misalnya terdiri dari 3 kata (shad, wawu, mim). Sementara, shiyam (صيام) terdiri dari 4 huruf (shad, ya’, alif, mim). Karenanya, makna shiyam mempunyai makna yang lebih mendalam dibanding shaum. Bahkan sebagian ulama membedakan substansi makna keduanya.

Al-Tabari misalnya, dalam Jami’ al-Bayan, ia menuturkan

والصيام مصدر من قول القائل: صمت عن كذا وكذا، يعنـي كففت عنه، أصوم عنه صوماً وصياماً، ومعنى الصيام: الكفّ عما أمر الله بـالكف عنه

Shiyam merupakan kata masdar (asli) dari perkataan, “shumtu ‘an kadza wa kadza (diamlah dari ini dan itu). Artinya mencukupkan dari suatu perkataan maupun perbuatan. Makna shiyam adalah mencukupkan diri atas perintah Allah swt secukup-cukupnya dan setulus-tulusnya”.

Baca juga: Mengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Penafsiran berikutnya datang dari al-Syaukani dalam Fathul Qadir-nya,

والصيام أصله في اللغة الإمساك، وترك التنقل من حال إلى حال، ويقال للصمت صوم لأنه إمساك، عن الكلام. وهو في الشرع الإمساك عن المفطرات مع اقتران النية به من طلوع الفجر إلى غروب الشمس

Shiyam secara lughawi (bahasa) artinya imsak (menahan), yaitu meninggalkan sesuatu (diam) dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Dikatakan orang yang berpuasa itu tidak berbicata sekalipun (imsak ‘an al-kalam). Secara istilah (syara’), shiyam bermakna menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan disertai niat”.

Hal senada juga disampaikan Fairuz Abadi dalam tafsirnya, bahwa shiyam adalah meninggalkan makan, minum dan jima’ (bersetubuh) mulai waktu isya’ yang akhir (terbitnya fajar) hingga terbenamnya matahari. Adapun al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, ia juga menyampaikan definisi shiyam dengan mengutip riwayat ‘Abd bin Hamid dari Sa’id bin Jabir bahwa shiyam yaitu apabila kalian tidak memakan sesuatu sebelum dihalalkann-Nya dan tidak menyentuh (jima’) seorang wanita (istri) hingga menyebabkan berhasrat selama siang hari kecuali setelah diperbolehkan-Nya. Dan Sungguh di dalam kewajiban puasa terdapat rukhsah (keringanan).

Baca juga: Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Menyikapi Perbedaan Istilah Shiyam atau Shaum

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat kita lihat bahwa makna shiyam lebih cenderung kepada aktifitas untuk tidak makan dan minum, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa maupun menghilangkan pahalanya. Adapun shaum lebih merujuk kepada makna puasa untuk tidak berbicara atau tidak beraktifitas. Tentu membedakan keduanya secara berlebihan amatlah tidak elok.

Puasa ramadhan misalnya jika menggunkan term shaum maka kita tidak berbicara bahkan tidak beraktifitas sekalipun juga tidak benar, atau jika menggunakan kata shiyam saja hanya meninggalkan makan minum, jima’ (bersetubuh) lalu tidak menjaga perkataan ataupun perbuatanya yang dapat menghilangkan pahala puasa juga kurang etis. Maka membatasi kata shaum maupun shiyam dengan hanya satu term saja juga kurang tepat.

Ragam interpretasi dan kebuntuan pemaknaan ini sejatinya dapat diurai benang kusutnya dengan melihat kata dasar maupun konteks ayat tersebut. Shaum misalnya, lebih bersifat umum sebab apapun puasa dapat disebut shaum, misalnya shaum ‘asyura (puasa asyura), shaum rajab (puasa rajab), dan seterusnya. Sementara kata shiyam lebih spesifik mengandung dimensi esoteris (ruh atau batiniyah) di dalamnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Qadha Puasa Bagi Mualaf Semasa Ia Non Muslim?

Meskipun ulama fuqaha tatkala mendefinisikan puasa ramadhan tidak terlalu mempermasalahkan kedua istilah tersebut. Namun bagi ulama tasawuf kedua istilah tersebut secara prinsipil mengandung aspek yang berbeda, meski tidak terlalu jauh. Mengarifi hal ini, ada baiknya jika puasa ramadhan kita gabungkan makna keduanya, yaitu tidak hanya sekadar meninggalkan makan, minum, jima’ dan hasrat keduniawian serta materialisme semata, namun juga menjaga lisan, tangan dan kaki kita untuk tidak menganggu orang lain, tidak menggunjing, tidak memfitnah, tidak menebar hoax dan permusuhan sehingga momentum puasa ramadhan ini benar-benar mampu menghantarkan kita menuju pribadi yang muttaqin. Aamiin. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...