Dalam sufistik, kita mengenal salah satu sufi yang masyhur yaitu Ibn ‘Arabi. Wahdatul wujud yang dicetuskannya telah menuai polemik tersendiri dalam tasawuf. Meskipun begitu, tahukah anda bahwa dibalik sosok nyentrik Ibn ‘Arabi menyimpan beberapa pandangannya tentang Al-Quran.
Pandangan Ibn ‘Arabi tentang Al-Quran tidak banyak dibahas dalam studi Al-Quran karena ia memang lebih dikenal sebagai sufi kontemporer ketimbang tokoh tafsir. Namun, pada sisi yang lain, William C. Chittick dalam The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-‘Arabi’s Metaphysics of Imagination mengungkapkan bahwa karya-karya Ibn ‘Arabi tidak lain adalah pengejawantahan (baca: tafsir) dari Al-Quran.
Hampir senafas dengan Chittick, Michael Chodkiewicz, salah seorang pengkaji terbaik Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa tidak mungkin memahami karya-karya Ibn ‘Arabi tanpa mengingat Al-Quran yang selalu hadir dalamsegala sesuatu yang ia tulis (Michael Chodkiewicz dalam Some Remarks about the Role of the Quran in Ibn Arabi’s Writings dalam Syeda Sayidain Hameed (ed.), Contemporary Relevance of Sufism)
Pandangan Ibn ‘Arabi tentang Al-Quran
Pergumulan Ibn ‘Arabi tentang Al-Quran bukanlah hal baru. Hampir disetiap karya dan gagasannya senantiasa diselimuti dan diinspirasi oleh worldview (pandangan dunia) Al-Quran. Pendek kata, Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah bahwa semua yang ia tulis dalam seluruh karyanya adalah tentang Al-Quran.
Lebih jauh, Ibn ‘Arabi juga mengukuhkan logosentrisme (pengetahuan tentang tuhan) dengan mengklaim bahwa pengetahuan yang didapatnya berasal dari fath (pembukaan) atau kasyf (penyingkapan) dari makna Al-Quran. Ibn ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyah menuturkan,
“Kami tidaklah mengutip perkataan para filosof sedikitpun dan tidak pula perkataan orang lain. Apa yang kami kemukakan dalam kitab ini dan semua kitab kami yang lain adalah apa yang diberikan melalui kasyf dan didikte oleh al-Haqq”.
Baca juga: Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir
Kendati demikian, Ibn ‘Arabi menyadari bahwa segala apa yang ia tulis hanyalah sedikit dari apa yang telah Allah singkapkan kepadanya. Hal inilah kiranya menurut saya sangat fundamental cum esensial dan penting untuk diketahui sebab acapkali dilupakan dalam studi terhadap Ibn ‘Arabi. Fakta yang terlupakan itulah yang kemudian mengantarkan Chittick dengan mengasumsikan bahwa al-Futuhat al-Makkiyah, dan karya Ibn ‘Arabi yang lain tidak lain adalah bagian dari pengejawantahan (tafsir) dari Al-Quran.
Menurut Ibn ‘Arabi, Allah swt telah menurunkan tiga kitab kepada manusia yaitu Al-Quran, kitab makrokosmos atau alam semesta, dan kitab mikrokosmos atau manusia itu sendiri. Pernyataan ini selaras dengan Q.S. Fusshilat [41]: 53,
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (Q.S. Fusshilat [41]; 53)
Dari ketiga kitab tersebut, Ibn ‘Arabi menandaskan bahwa Al-Quran merupakan sebuah kitab di antara kitab-kitab yang lain, kecuali hanya Al-Quran lah yang memiliki kepenghimpunan (jam’iyah). Al-Quran lah, baginya, lebih siap untuk dipahami daripada kalam kosmis yan diwahyukan, karena Al-Quran sebagai kalam tertulis menyediakan miftah (kunci) yang dengannya memperoleh fath (keterbukaan), yakni terbukanya pintu untuk memahami ayat-ayat Al-Quran baik ayat makrokosmos (alam sekitar kita) maupun mikrokosmos (diri kita sendiri) (Ibn ‘Arabi dalam Rasail Ibn ‘Arabi).
Al-Quran Sebagai Penghimpun
Ibn ‘Arabi menggunakan term al-jam’u (himpunan) sebagai definisi Al-Quran. Hal ini tentu kontras sekali terhadap pemaknaan qara-a (membaca) pada umumnya. Berikut penuturan Ibn ‘Arabi,
“Al-Quran adalah sebuah kitab di antara kitab-kitab yang lainnya kecuali bahwa hanya Al-Quran yang memiliki kepenghimpunan (jam’iyah). Nabi memuji Rabb melalui Al-Quran sebagai yang menghimpun seluruh pujian. Oleh karena itu mengapa Al-Quran disebut sebagai Al-Quran atau Penghimpun.”
Baca juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya
Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa Ibn ‘Arabi memaknai istilah Al-Quran dengan jam’u, yang berarti penghimpunan, pengumpulan, penggabungan, pemaduan, atau pencakupan. Beranjak dari term tersebut, Ibn ‘Arabi sesungguhnya mempertemukan dua nama Al-Quran secara tidak langsung, yaitu Al-Quran dan Al-Furqan (pembeda), yang bermakna bahwa Al-Quran menghimpunkan, mengumpulkan, menggabungkan atau memadukan segala sesuatu bersama-sama dan pada waktu yang sama mendemarkasikan atau membedakan segala sesuatu ke dalam wilayah yang berbeda pula.
Selain itu, koherensi al-jam’u dengan arti kata Allah sebagai nama yang menghimpun (al-ism al-jami’) adalah Allah swt memiliki dan menguasai sumber daya ilahi sebagaimana penampakan diri-Nya (al-tajalli) memiliki semua bentuk. Ibn ‘Arabi berkata, “Allah adalah himpunan realitas-realitas keseluruhan nama-nama ilahi”. Lebih lanjut, ia menambahkan, “Sungguh Allah menghimpun nama-nama yang saling berlawanan dan yang bukan saling berlawanan”.
Dengan demikian, Al-Quran bermakna sebagai penghimpun telah menghimpun atau mengkodifikasi dan mengkompilasi semua kitab suci yang diwahyukan sebelumnya sekaligus menghimpun semua ilmu tentang Allah, maka dengan mengetahui, mempelajari dan mengkaji Al-Quran sama halnya dengan mengetahui Allah, Nabi Muhammad saw, alam semesta, dan manusia itu sendiri. Wallahu A’lam.