Seorang anak yang ayahnya meninggal biasa disebut dengan istilah anak yatim. Secara bahasa, yatim beramakna infirad atau sendiri. Sedangkan menurut pengertian istilah adalah seseorang yang ditinggal wafat ayahnya dan belum sampai pada masa baligh. Semua anak pasti menginginkan keberadaan orang tuanya secara utuh, namun takdir tidak ada yang bisa menebak. Sebagian dari anak-anak tersebut harus menerima kondisinya yang kehilangan sosok ayah sebagai figur pemimpin dalam kehidupannya. Sehingga, segala keperluan yang berhubungan dengannya harus diserahkan kepada orang lain, termasuk mengenai harta yang menjadi haknya.
Allah swt berfirman:
وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai menjaga harta), maka serahkanlah lepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatuhan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta mereka, maka hendaklah adakan saksi-saksi (penyerahan) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian tersebut). (QS. An-Nisa’ [4]: 6)
Dijelaskan dalam literatur-literatur fiqih bahwa salah satu dari orang yang tidak diperkenankan mengelola harta adalah anak yatim. Oleh sebab itu jika ia memiliki harta, maka harus ada wali atau orang yang menerima wasiat atas pengelolaan harta tersebut.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah
Memang benar menjaga anak yatim sangat besar keutamaannya, seperti jaminan masuk surga dan bisa dekat dengan Rasulullah serta menjadi ladang pahala dan menghindarkan dari siksa api neraka sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran maupun hadis. Namun, melalui firman-Nya di atas, Allah juga memberikan aturan ketat bagi para wali atau orang yang menerima wasiat mengurus harta anak yatim untuk tidak memakan harta tersebut. Tidak hanya itu, menukar yang baik dari hartanya dengan yang buruk juga dilarang keras. Tak tanggung-tanggung, Allah menyebut perbuatan demikian adalah huban kabiran yakni dosa besar (QS. an-Nisa: 2) serta memberikan gambaran mengerikan, seperti firman-Nya:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ اَمْوَالَ الْيَتٰمٰى ظُلْمًا اِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِيْ بُطُوْنِهِمْ نَارًا ۗ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (QS. An-Nisa’ [4]: 10)
Kendati demikian, Allah juga tak lupa memperhatikan keadaan wali. Jika wali tersebut miskin, maka ia diperbolehkan menggunakan harta anak yatim sesuai kebutuhannya. Berdasarkan ayat tesebut ulama sepakat mengenai kebolehannya asalkan tidak berlebihan. Lalu timbul pertanyaan, apakah harta yang digunakannya harus ia ganti? Mengingat harta tersebut adalah warisan ayahnya yang memang diserahkan untuk masa depan sang anak.
Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya
Al-Qurthubi menuturkan ada perbedaan di kalangan ulama. Sebagian berpendapat bahwa harta yang digunakan sekadar untuk kebutuhan sang wali, maka tidak perlu diganti. Sebab, Allah telah memperbolehkan, sehingga hal tersebut dianggap sebagai upah. Ini berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad. Sedangkan sebagian yang lain, berpendapat bahwa harta yang telah digunakannya itu harus diganti berdasarkan perkataan Sayidina Umar.
Mazhab Hanafi sebagaimana yang diriwayatkan al-Jasshash berpendapat bahwa wali tidak diperkenankan mengambil harta tersebut, baik statusnya orang kaya atau fakir. Mazhab ini berhujjah dengan keumuman surat al-Baqarah ayat 188 yang artinya: “Dan janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan jangan kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Namun, at-Thabari mengunggulkan pendapat pertama dan inilah yang diikuti oleh al-Qurthubi.
Wallahu A’lam.