BerandaKisah Al QuranMeniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Di antara pelajaran yang dapat diambil dari kisah Nabi Ibrahim adalah komunikasi beliau dengan ayahnya tentang perbedaan akidah yang diikutinya. Kisah ini disampaikan dalam surah Maryam ayat 42-43. Beberapa penafsir memahami ayat ini tidak hanya tentang tata cara berkomunikasi anak dengan ayah, tetapi juga sebagai pedoman berdakwah, tidak hanya kepada keluarga, melainkan kepada setiap orang. Bagaimana dakwah santun Nabi Ibrahim dalam tiga ayat tersebut?

Baca Juga:Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Surah Maryam Ayat 42-43: Dakwah Nabi Ibrahim a.s. Kepada Ayahnya

Jika dikatakan dakwah, maka model dakwah Nabi Ibrahim yang dipahami dari dua ayat tersebut adalah dakwah yang lembut dan santun. Diawali dengan mempertanyakan akidah ayahnya, sebagaimana disampaikan di awal ayat, “Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?” (Q.S. Maryam [19]: 42) “Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.” (Q.S. Maryam [19]: 43)

Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim saat menyampaikan dakwah kepada ayahnya? Nabi Ibrahim sangat mungkin telah mengetahui bahwa akidah yang dianut ayahnya adalah salah dan sesat, namun beliau tetap menyeru ayahnya dengan panggilan “Yaa abati” yang artinya, “Wahai ayahku sayang!”

Ungkapan “Yaa abati”, menurut Ali ash-Shabuni dalam Sofwat at-Tafasir, h. 200, menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim sangat sayang kepada ayahnya, beliau sangat berambisi untuk menyelamatkan ayahya dari siksaan, dan menuntunnya pada kebaikan. Untaian kata-kata nabi Ibrahim itu tersusun dengan maksud yang baik.

Kalimat dakwah yang biasanya bermodel kata perintah, pada tiga ayat surah Maryam ini tidak ditemukan, yang ada malah pertanyaan. Sebagaimana tertulis pada ayat 42. “Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar….?” Hal itu dapat menjadi pelajaran bagi kita, bahwa ketika mengetahui seseorang dalam kekeliruan bukan langsung berkonklusi dan menghakimi bahwa dia salah, melainkan sebagaimana Nabi Ibrahim yang memberikan kesempatan kepada ayahnya untuk menjelaskan alasannya melakukan hal tersebut, Nabi Ibrahim jelas mengetahui bahwa menyembah berhala adalah kesesatan yang nyata namun dia tidak mau langsung menghardik ayahnya, melainkan menanyakan argumentasi dan rasionalisasinya, tetap dengan yang lembut dan santun.

Nabi Ibrahim pada ayat ini tidak secara tegas menyebut berhala sebagai sembahan orang tuanya, tetapi menyebut sifatnya, beliau ketika memberi nasehat kepada ayahnya dengan halus dan tidak mengatainya sebagai orang yang bodoh sehingga menyembah berhala. Nabi Ibrahim betindak halus dan lembut dalam perkataanya. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h.196)

Untuk lebih meyakinkan ayahnya bahwa berhala tidak layak disembah, Nabi yang mempunyai gelar khalilullah ini berkata dengan santun, “wahai ayahku, sungguh telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang tidak diberikan kepadamu, yaitu tentang tauhid atau keyakinan kepada tuhan yang layak disembah, maka ikutilah aku dengan penuh keikhlasan dan berimanlah kepada Allah yang esa, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus, yaitu jalan yang akan membawamu menuju kebenaran dan kebahagiaan.” (Tafsir Kementerian Agama RI). Barulah kemudian Nabi Ibrahim menyampaikan pendapatnya yaitu ilmu yang telah diilhamkan dari Tuhannya, petunjuk pada jalan lurus.

Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dan Ismail tentang Etika ketika Berdoa

Meneladani Dakwah ٍSantun Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim tidak menghina dan merendahkan tindakan yang dilakukan oleh ayahnya. Kata-kata yang dikeluarkan pada saat berdakwah pun adalah kata-kata yang sopan, menarik hati, tersusun rapi, lemah lembut, serta penuh dengan hormat. Berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, di media sosial jika ada seseorang yang tiba-tiba viral karena sebuah kesalahan, kebanyakan akan menerima respon yang tidak baik, berupa cacian, sindiran, bahkan hinaan. Tidak sedikit pula yang menghakimi salah.

Cara dakwah santun Nabi Ibrahim sangat bisa dijadikan contoh, bahwa perilaku syirik yang tidak bisa ditolerir sekali pun beliau tolak dengan cara yang ramah dan toleran serta penuh welas asih. Pertama, Orang yang mengajak orang lain, sebut saja pendakwah atau penceramah tetap harus bersikap hormat kepada objek dakwahnya, layaknya Nabi Ibrahim kepada ayahnya.

Kedua, tidak langsung menghakimi, beri kesempatan orang lain yang didakwahi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, alasan dan argumentasi tindakan atau perbuatan yang dianggak tidak benar atau kurang baik. Kendatipun ayah Nabi Ibrahim berlaku (menyembah berhala), Nabi Ibrahim tidak menyebut ayahnya dengan kafir. hal ini sangat jelas berbeda dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini, satu pihak dengan sangat mudah memberi label kafir kepada pihak yang berseberangan. Wallah a’lam

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...