BerandaTafsir TematikMenyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an

Menyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an

Dari ribuan bahkan jutaan kata dalam Al-Qur’an, salah satu yang perlu kita kaji adalah kandungan makna pada kata khalifah dan khilafah. Secara sekilas, dua istilah ini memang memiliki derivasi kata yang berbeda. Dalam pelafalan dan maknanya pun terdapat sedikit perbedaan. Namun jika kita telisik lebih lanjut, dua kata ini pada hakikatnya memiliki relasi yang cukup erat, hingga sulit untuk dapat dipisahkan. Lantas, seberapa erat hubungan dua istilah ini?

Kata khalifah memiliki kata dasar yang terdiri atas tiga huruf, yaitu .خ, ل, ف Kata ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 127 kali dengan berbagai ragam bentuk, makna, serta derivasinya masing-masing (Rahim, 2012, hal. 22). Dalam bentuk tunggal, kata khalifah disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an, sebagaimana pada Q.S. al-Baqarah [2]: 30.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَاوَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Baca Juga: Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir

Quraish Shihab yang mengutip dari pendapat Muhammad Baqir al-Sadar menjelaskan bahwa khalifah yang terdapat pada ayat tersebut mengandung tiga unsur yang saling berkaitan, ditambah satu unsur eksternal yang mampu menelisik lebih jauh makna khalifah dalam perspektif Al-Qur’an.

Keempat unsur tersebut di antaranya meliputi manusia yang pada ayat ini disebut khalifah, alam raya yang disebut ardh, hubungan manusia dengan manusia lainnya dan alam seisinya, serta satu unsur eksternal yang didefinisikan dengan kata إِنِّيْ جَاعِلٌ/إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً yang menunjukkan dalang dari penugasan ini, yaitu Allah Swt.

Bentuk tunggal yang kedua terdapat pada Q.S. as-Shad [38]: 26. Pada ayat ini khalifah dimaknai sebagai الْبَدْلُ مِمَّنْ مَضَى atau pengganti dari umat terdahulu.

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةً فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Di samping itu, ada pula yang berbentuk jamak seperti kata khalaif yang disebutkan empat kali pada Q.S. al-An’am [6]: 165, Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73, serta Q.S. Fathir [35]: 39. Sedangkan dalam bentuk khulafa disebutkan tiga kali, yaitu pada Q.S. al-A’raf [7]: 69 dan 74, serta Q.S. an-Naml [27]: 62 (Ilyas, 2016, hal. 170-176).

Pada awalnya, kata khalifah diartikan sebagai pengganti atau yang muncul setelah siapa yang ada sebelumnya. Adapun Al-Qur’an yang menggunakan dua term jamak yaitu khulafa dan khalaif, awalnya bermakna belakang. Namun, kerap pula diartikan sebagai pengganti-pengganti. Di samping itu, Quraish Shihab juga memaknai kata khalifah pada Q.S. al-Baqarah [2]: 30 sebagai khalifah Allah. Meskipun pada dasarnya bermakna pengganti, namun tidak bisa serta merta diartikan sebagai pengganti Allah, melainkan orang yang diutus Allah menjadi pelaksana di muka bumi (Lisnawati, 2015, hal. 51).

Dengan ini dapat dipahami bahwa khalifah merupakan sebuah kewenangan yang dikaruniai Allah kepada makhluk-Nya yaitu seluruh umat manusia (Adam dan anak cucunya) untuk menjalankan tugas di muka bumi yang terhampar luas ini. Kendati demikian, manusia yang diberi kewenangan tersebut harus tetap berpegang teguh pada ketentuan yang ditetapkan oleh sang pemberi wewenang, yaitu Allah Swt (Pamalingan, 2016, hal. 14-15).

Kemudian terkait dengan kata khilafah juga berasal dari kata khalafa yaitu bentuk masdar dari fi’il madhi tersebut (PS., 2018, hal. 21). Adapun menurut Ibn Faris, kata ini dapat mencakup tiga makna, yaitu datangnya sesuatu sesudah sesuatu lain untuk menggantikannya, dan bermakna belakang, serta perubahan. Dalam Al-Qur’an, derivasi kata khilafah adalah khalifah, khulafa, istakhlafa, khalafa, khilfah, khalaif, khalf, khilaf, serta mustakhlafin.

Dari berbagai derivasi tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an memaknai khilafah sebagai khilafat Allah (proses pergantian Allah) oleh manusia di muka bumi untuk mengatur dunia seisinya serta menegakkan hukum-hukum Allah. Secara global, terminologi Al-Qur’an terkait khilafah terfokus pada makna proses regenerasi kekuasaan dari yang sebelumnya kepada setelahnya dalam mengelola dan mengendalikan dunia (Abdurrahman, 2018, hal. 27, 29-31).

Dalam gramatika bahasa Arab, kata khilafah menjadi bentuk kata benda verbal yang menunjukkan adanya subjek ataupun eksekutor aktif yang kerap disebut khalifah. Dengan ini, khilafah mengisyaratkan pada rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang khalifah. Sehingga, tidak akan ada sebuah khilafah tanpa seorang khalifah yang memimpinnya. Ganai mengemukakan bahwa secara literal khilafah bermakna penggantian terhadap pendahulu, baik individual maupun kelompok.

Adapun secara teknis, khilafah merupakan lembaga pemerintahan Islam yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Khilafah sendiri menjadi media dalam penegakan agama dan perkembangan syariat (Sudrajat, 2009, hal. 2). Istilah khilafah ini muncul tepatnya pada saat khalifah Abu Bakar terpilih menjadi pemimpin menggantikan Nabi, yaitu sehari setelah wafatnya Rasulullah yang kemudian dilanjutkan oleh Umar, Usman, dan Ali, atau kerap disebut al-Khulafa ar-Rasyidin (Zain, 2019, hal. 49).

Selain itu, Ibnu Khaldun juga mengemukakan bahwa khilafah ialah memerintah rakyat berdasarkan pada hukum syariat untuk mewujudkan kebaikan hidup dunia dan akhirat. Maka pada hakikatnya, khilafah merupakan pergantian penyusun hukum syariat tersebut (sahib asy-syara’) guna memelihara agama dan percaturan politik dunia (PS., 2018, hal. 21)

Baca Juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Melalui berbagai penjelasan tersebut, maka dapat ditarik benang merah bahwa khalifah berdasarkan sudut pandang Al-Qur’an adalah sebuah wewenang yang dilimpahkan Allah kepada seluruh umat manusia untuk melakukan tugas otonom dalam mengendalikan dan mengontrol segala bentuk percaturan di muka bumi yang tentunya harus berlandaskan pada ketetapan yang telah diatur oleh sang Maha Pengatur, Allah Swt.

Sedangkan khilafah sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari khalifah tersebut, yaitu sebagai badan struktural yang terorganisir untuk menjalankan segala bentuk kewenangan yang telah dilimpahkan tersebut dengan berbagai aspek aturan dan ketetapan yang harus dipenuhi, demi terwujudnya kehidupan umat manusia dan dunia yang lebih baik lagi. Wallahu A’lam.

Bagas Maulana Ihza Al Akbar
Bagas Maulana Ihza Al Akbar
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...