Di tengah percakapan panjang tentang kesenjangan gender, kekerasan domestik, dan kultur yang masih sering menempatkan perempuan sebagai pihak yang paling mudah disudutkan, Alquran menghadirkan satu seruan yang terasa melampaui zaman. QS. An-Nisa’ [4]: 19 tidak hanya menegur praktik, praktik yang sejak lama menormalisasi ketidakadilan, tetapi membangun fondasi etika relasi yang benar, benar manusiawi: relasi yang memuliakan perempuan sebagai pribadi merdeka dengan martabat yang utuh.
Ayat ini hadir sebagai pengingat bahwa nilai, nilai kasih, penghormatan, dan keadilan bukanlah sekadar konsep, melainkan prinsip hidup yang harus dihidupkan dalam relasi sosial dan keluarga.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا
Wahai orang,orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa. Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa’: 19)
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa
Sabab Nuzul dan Konteks Sejarah
Riwayat dari Ibn ‘Abbas menggambarkan betapa perempuan Arab Jahiliyah diperlakukan layaknya harta warisan. Ketika seorang laki-laki meninggal, putranya atau kerabatnya bisa begitu saja “mengambil ahli” istri almarhum, tanpa memedulikan kehendak perempuan tersebut. Ia dapat dipaksa menikah, ditahan tanpa kejelasan, atau dimanfaatkan untuk mengambil kembali mahar yang pernah diberikan. (Tafsir Ibn Katsir, 1/475)
Ayat ini turun untuk menghentikan seluruh praktik tersebut. Ia bukan hanya perubahan hukum, tetapi perubahan cara pandang. Perempuan, yang sebelumnya diperlakukan sebagai objek, kini dipulihkan sebagai manusia yang penuh kehendak dan kehormatan. Dalam tradisi yang sudah mengakar ratusan tahun, larangan ini menjadi deklarasi moral Islam: penghentian kekerasan struktural melalui perubahan akidah, akhlak, dan sistem hukum.
Penafsiran Mufassir Terhadap Pesan Etis Ayat
Al-Tabari menafsirkan larangan لَا يَحِلُّ لَكُمْ sebagai penegasan tegas bahwa segala bentuk pemaksaan terhadap perempuan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan syariat. Ayat ini, menurutnya, menghentikan tradisi pewarisan perempuan dan menolak perlakuan yang menempatkan perempuan setara barang. (Jami’ al-Bayan, 8/145)
Ia menjelaskan bahwa ta’dhuluhunna merujuk pada tindakan menekan perempuan agar menyerahkan mahar atau menggantungkan nasibnya tanpa nafkah dan tanpa perceraian. Ini adalah bentuk kezaliman yang bertentangan dengan nilai ma’ruf, nilai hidup yang seharusnya menjadi pijakan dalam rumah tangga.
Al-Qurtubi menegaskan bahwa ayat ini menjadi fondasi larangan memaksa perempuan dalam pernikahan. Baginya, ayat ini adalah pembelaan Alquran terhadap hak, hak personal perempuan, hak memilih, hak mendapat perlakuan baik, dan hak bebas dari manipulasi maupun tekanan emosional. (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 5/99)
Ibn Katsir memandang perintah وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ sebagai prinsip akhlak utama dalam rumah tangga: memuliakan istri, bersikap lembut, menjaga hak dan perasaan mereka. Ia menambahkan bahwa ketidaksukaan bukan alasan untuk berlaku zalim, sebab sering kali kesabaran membuka pintu kebaikan yang tidak disangka. (Tafsir Ibn Katsir, 1/476)
Hamka, dengan pendekatan psikologisnya, melihat ayat ini sebagai pelajaran tentang kedewasaan emosional. Ketidaksukaan adalah manusiawi, tetapi tidak boleh berubah menjadi kekerasan. Ma’ruf adalah keseimbangan yang menjaga martabat kedua pihak. Hamka menekankan bahwa siapa pun tidak berhak menjadikan pasangan sebagai objek pelampiasan emosi. (Tafsir Al-Azhar, Juz 5)
Baca Juga: Alasan Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender dalam Tafsir
Analisis Kritis Terhadap Ayat Ini sebagai Gerakan Peradaban
QS. An-Nisa’ [4]: 19 bukan hanya larangan atas praktik Jahiliyah, tetapi penataan ulang cara manusia memahami relasi gender. Ketika ayat ini memutus tradisi pewarisan perempuan, Alquran sedang merombak logika kepemilikan yang membuat perempuan selamanya berada di bawah bayang,bayang dominasi. Gagasan ini tidak berhenti di masa lalu; ia mengajak kita menyoroti bentuk,bentuk modern dari pengobjektifan perempuan, relasi yang digantung, kontrol emosional, tekanan finansial, atau pembatasan mobilitas yang terselubung.
Larangan ta’dhul juga menyentuh fenomena kontemporer: hubungan tanpa kepastian, manipulasi halus yang menggerus harga diri, atau penciptaan rasa bersalah sebagai alat pengendalian. Semua ini adalah tindakan yang mencederai martabat manusia dan tidak sejalan dengan etika Qur’ani.
Di atas semua itu, konsep ma’ruf menjadi standar etis yang tidak pernah lekang. Ma’ruf bukan sekadar kebaikan minimal, melainkan kelayakan moral, penghormatan hak, keamanan emosional, komunikasi yang sehat, dan relasi yang tidak dibangun atas ketakutan. Inilah kerangka rumah tangga yang ingin ditegakkan Alquran, bukan ruang kekuasaan, tetapi ruang tumbuh bersama.
Ayat ini, pada akhirnya, hadir sebagai manifesto moral: Islam menolak dominasi, mengutuk manipulasi, dan menegakkan martabat setiap manusia, terutama mereka yang secara sosial rentan.
Baca Juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain
Relevansi dengan Fenomena Kekinian
Walaupun lahir dari konteks Jahiliyah, pesan QS. An-Nisa’ [4]: 19 justru semakin relevan ketika dilihat dari relasi sosial hari ini. Perempuan mungkin tidak lagi “diwarisi,” tetapi tekanan yang setara masih terjadi dalam bentuk lain: hubungan manipulatif, standar moralitas yang menekan satu pihak, atau beban emosional yang tidak adil.
Semua pola relasi yang merendahkan martabat perempuan merupakan sisa,sisa budaya lama yang belum tuntas kita tinggalkan. Ayat ini memberi landasan keagamaan untuk mengkritik pola relasi semacam itu: bukan hanya melarang secara teknis, tetapi membongkar pola pikir yang menormalisasi ketimpangan. Di sini Alquran berdiri sebagai pembela kemanusiaan: agama tidak pernah membenarkan relasi yang melukai martabat.
Kesimpulan
QS. An-Nisa’ [4]: 19 menawarkan fondasi etis yang melampaui konteks sejarahnya. Ayat ini menegaskan bahwa martabat perempuan adalah hak ilahiah yang tidak boleh dinegosiasi. Dengan melarang praktik pengekangan dan manipulasi, Alquran menghapus mentalitas kepemilikan yang sering menjadi akar ketidakadilan.
Ayat ini juga memberikan pelajaran mendalam tentang etika emosional: perasaan berubah, tetapi itu bukan alasan untuk menyakiti atau mempermainkan. Alquran meminta manusia bersikap ma’ruf, membingkai relasi dengan keadilan, kelayakan, dan empati. Ini menjadi kritik kuat terhadap pola hubungan modern yang sering menggantung atau menekan secara halus.
Lebih jauh, ayat ini bersifat transformasional: ia menggerakkan kita menuju relasi yang jujur, setara, dan berakar pada kemanusiaan. Pesannya sederhana namun mendalam: lihatlah manusia sebagaimana adanya, bukan sebagai objek ekspektasi, tetapi sebagai pribadi yang membawa nilai.
Pada akhirnya, QS. An-Nisa’ [4]: 19 berdiri sebagai deklarasi peradaban. Ukuran keberadaban bukan pada simbol, tetapi pada cara memperlakukan manusia yang paling dekat. Relasi yang menindas berarti mengkhianati nilai Qur’ani. Dengan pesan sekuat ini, ayat tersebut menjadi panggilan untuk membangun kehidupan dan masyarakat yang benar-benar memanusiakan.
![Merevolusi Martabat Perempuan: Pesan QS. An-Nisa’ [4]: 19](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/3-1888568577-218x150.webp)















![Jahiliyah Modern: Membaca Ulang Al-Mā’idah [5]:50 sebagai Kritik Hedonisme, Materialisme dan Kemerosotan Moral](https://tafsiralquran.id/wp-content/uploads/2025/12/2807131-100x70.jpg)
