Mohamed Talbi adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim kontemporer asal Tunisia. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 13 Muharam 1340 bertepatan dengan tanggal 16 September 1921. Talbi memiliki karier yang mentereng, baik sebagai sejarawan Afrika Utara abad pertengahan maupun sebagai pemikir teoretis utama tentang sifat dan misi Islam di dunia modern.
Mohamed Talbi mengenyam pendidikan di Tunis dan Prancis. Ia menyelesaikan program doktor dalam bidang sejarah di Universitas Sorbone, Paris, dengan disertasi berjudul “L’Emirat Aghlabide: Histoire Politique 184-296/ 800-900 (Imarat Aghlabiyah: sejarah politik 184-296 / 800-900).” Karyanya ini memiliki tebal 765 halaman dan berisi tentang analisis sejarah.
Secara umum, disertasi Mohamed Talbi berbicara mengenai sejarah politik dinasti Aghlabiyah yang berkuasa antara 800-909 Masehi mencakup Tunisia, Aljazair timur, Tripolitania dan Sisilia (Ifriqiyyah). Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Al-Aghlab, seorang panglima militer setempat yang mengakui kekuasaan dinasti Abbasiyah dan pada tahun 800 mengambil kekuasaan atas wilayah Ifriqiyyah di Tunisia (A History of the Maghrib in the Islamic Period).
Mohamed Talbi dalam tulisannya berusaha menggali dinamika politik dan agama dinasti Aghlabiyah. Hasil analisis tersebut kemudian ia coba hubungkan dengan kondisi sosial-politik dan agama masyarakat Muslim modern. Inilah yang membuatnya memutuskan untuk mengabdikan diri demi melaksanakan tugas dialog antara-budaya dan agama serta berbagai hal penting di dalamnya.
Bagi Mohamed Talbi, dialog adalah langkah yang paling jitu dalam mengatasi berbagai problem sosial yang selama ini sering berkecamuk di antara masyarakat dunia, khususnya umat antar agama seperti Islam, Yahudi, dan Kristen. Dalam beberapa kesempatan – seperti pada Groupe de Rehercehe Islam-Chretion (GRIC) Talbi kerap menyuarakan kebebasan beragama dan menerangkan akar kesalahpahaman dari konflik-konflik antar agama yang tak berkesudahan.
Ide-ide Mohamed Talbi perdamaian dan kedamaian antar umat beragama dapat dilihat dalam banyak karyanya seperti Islam et dialouge: reflexion sur un theme d’actualite yang berisi tentang keniscayaan dialog antara Islam dan umat agama lain, Iyal Allāh: Afkār Jadīdah fī Alāqat al-Muslim binafsihi wa bi al-Ākharīn yang berbicara mengenai relasi antara muslim dengan orang lain dan Al-Islām: Ḥurriyah wa Ḥiwār yang berisi mengenai kebebasan beragama dan dialog.
Qira’ah Tarikhiyyah Maqashidiyyah Dalam Perspektif Mohamed Talbi
Selain berkonsentrasi mengenai sejarah dan dialog antar agama, Mohamed Talbi juga concern terhadap kajian Al-Qur’an. Dalam bidang ini ia mengarang beberapa buku, yakni Reflexions sur le Coran (Refleksi tentang Al-Qur’an) yang ia tulis bersama Maurice Bucaille dan Universalite du Coran (Universalitas Al-Qur’an) yang berjumlah 58 halaman dan berisi tentang pandangan umumnya mengenai penafsiran Al-Qur’an.
Dalam memahami Al-Qur’an, Mohamed Talbi mengacu pada metode pembacaan historis humanis, yakni qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah. Menurutnya, Al-Qur’an seyogyanya ditafsirkan dalam konteks di mana ia diturunkan. Kehilangan atau kekurangan konteks historis tersebut akan membuat ayat-ayat Al-Qur’an terdistorsi dan mudah disalahpahami sebagaimana yang terjadi di kalangan tertentu.
Pada wacana ini, Mohamed Talbi memandang sejarah sebagai ilmu yang paling komprehensif. Dia menyebutnya sebagai “syaiu adzim fil hadlarah” atau sesuatu yang penting dalam peradaban dan “asymalu ulumil insan” atau ilmu kemanusiaan yang paling komprehensif. Namun di sisi lain, ia juga menerangkan bahwa sejarah secara ambivalen memiliki potensi positif dan negatif yang bisa disalahgunakan (Hermeneutika Historis Humanistik Mohamed Talbi).
Oleh karena itu, Mohamed Talbi mengatakan, “Seorang sejarawan memiliki peran penting dalam memberikan solusi terhadap problem-problem keagamaan yang kritis.” Partisipasinya sangat penting dan mendasar, karena ia bisa meletakkan problem itu dalam dimensi historis dan humanis (ab’ab al-tarikhiyyah wa al-anasiyyah). Hal tersebut penting untuk digarisbawahi karena ini merefleksikan pendekatannya dalam menganalisis teks dan masalah.
Melalui pendekatan historis dengan perspektif kemanusiaan, Mohamed Talbi mendorong hadirnya penafsiran yang lebih terbuka terhadap Al-Qur’an (qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah). Dengan pendekatan ini, Talbi berupaya mengurai maksud-maksud teks Al-Qur’an berdasarkan prinsip dan gerak sejarah. Hal yang terpenting dari sejarah menurutnya adalah ibrah sebagaimana yang dikemukakan Al-Qur’an dalam kisah para nabi.
Dengan demikian, pendekatan historis humanis (qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah) berupaya untuk melacak tujuan syariat (law giver) dalam teks-teks keagamaan, terutama Al-Qur’an. Model pelacakan terhadap tujuan Tuhan dalam Al-Quran ini menurut Talbi tidak muncul tiba-tiba, melainkan unsur-unsurnya sudah terbangun sejak lama dan saat ini harus direvitalisasi agar dapat menguak cakrawala ayat-ayat Al-Quran dalam konteks kekinian.
Ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an dalam perspektif historis, Mohamed Talbi mengandaikan beberapa pertanyaan, di antaranya: Apa yang Allah maksud dari firmannya mengenai suatu persoalan dalam konteks tertentu? Apa yang Allah firmankan jika hal tersebut berada dalam konteks zaman ini? Melalui ini ia berusaha membaca situasi sejarah guna dijadikan starting point guna memahami ayat Al-Qur’an dan aktualisasinya (Iyal Allāh: 58).
Singkatnya, dalam pendekatan historis Mohamed Talbi mencoba membaca seluk-beluk sejarah Al-Qur’an yang mencakup konteks historis ayat dan kondisi sosial-politik masyarakat Arab. Dengan mengetahui gambaran tersebut, seseorang akan bisa melihat aspek khusus (khas) dan umum (amm) dari ayat Al-Qur’an. Inilah pijakan utama dalam menggali nilai esensial-universal Al-Qur’an.
Kemudian, Mohamed Talbi mengupas kesejarahan Al-Qur’an tersebut dalam kerangka pembacaan humanis atau qira’ah maqashidiyyah. Pada tahap ini, ia sebagai mufasir fokus pada maksud tujuan sebuah ayat Al-Qur’an (something beyond the text). Bisa dikatakan bahwa pendekatan ini adalah upaya epistemologis-hermeneutis untuk melacak fondasi, semangat dan kerangka filosofis kesejarahan Al-Quran di masa lalu untuk diadaptasi pemaknaannya sesuai konteks masa kini.
Sebagai catatan, qira’ah maqashidiyyah pada dasarnya tidak berbentuk analogi (qiyas), tetapi jauh melampauinya dalam memahami Al-Qur’an. Analogi di sini maksudnya adalah menghadirkan masa lalu sebagai model baku yang kaku bagi persoalan kekinian. Sedangkan qira’ah maqashidiyyah bagi Talbi lebih dari sekedar itu, yakni mengungkap tujuan realitas ayat Al-Qur’an, dimensi dan karakter dinamis sejarah di dalamnya serta aktualisasi dalam konteks kekinian.
Qira’ah maqashidiyyah yang digagas Mohamed Talbi bukanlah hal baru, sebab ia juga mengacu pada ulama terdahulu, khususnya al-Syatibi yang pertama kali mempopulerkan teori maqashid as-syariah. Namun bukan berarti keduanya sama, karena Talbi telah melakukan beberapa modifikasi. Dalam pendekatannya, setidaknya dua hal yang menjadi aksentuasi, yakni: konteks historis ayat sebagai titik tolak dan tujuan ayat sebagai maksud yang dituju (Hermeneutik Talbi).
Sedangkan secara teknis, pendekatan qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah berpangkal pada analisis mendalam terhadap suatu teks (tahlil al-ittijah) dan analisis sejarah yang disemangati oleh nila-nilai kemanusiaan. Analisis ini dimulai dari titik pertama, yakni masa pra-pewahyuan atau pra-Islam. Sedangkan titik kedua adalah masa setelah pewahyuan, di tengah-tengah itu adalah masa pewahyuan di mana pesan wahyu mungkin saja masih belum jelas maksudnya.
Dari dua titik tersebut, Mohamed Talbi kemudian menarik garis lurus dan kesimpulan tentang maksud akhir dari wahyu Allah swt (gayah al-ayah). Melalui pendekatan yang dipaparkan inilah seseorang dapat menghasilkan pandangan yang berkontribusi bagi perkembangan pemikiran Islam, selaras dengan tujuan wahyu, tidak memaksakan kehendak dan sesuai dengan konteks kekinian. Wallahu a’lam.