Mudik lebaran sebagaimana yang ditradisikan oleh masyarakat kita sesungguhnya merupakan harmonisasi ajaran agama dan budaya. Dalam bahasa Emha Ainun Nadjib, “mudik adalah rutinitas tahunan untuk membangun keterampilan budaya agar kelak siap menjadi penduduk surga.”
Mudik lebaran merupakan starting point dari pembelajaran ‘ilaihi raji’un (kembali kepada Allah), itulah fitrah manusia sesungguhnya. Tradisi mudik lebaran menjadi bukti betapa indahnya harmonisasi keberagamaan dan keberagaman di masyarakat Indonesia yang telah berlangsung berabad-abad silam. Spirit memadukan keislaman dengan unsur kebudayaan tergambar dalam tradisi ini sehingga mudik sampai saat ini masih tetap lestari dan dinikmati oleh masyarakat kita. Karena itu, artikel ini mengulas tradisi mudik lebaran, yang sesungguhnya memiliki jangkar dalam ajaran agama dan menggabungan unsur kearifan lokal Indonesia. Untuk membedah bahasan ini, kami membaginya dalam tiga sub seperti di bawah ini.
Rasulullah pun “mudik” lebaran
Jika dirunut ke belakang, sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabatnya juga pernah “mudik” ke kampung halaman. Sebagaimana dijelaskan Muchlis Hanafi dalam Pengantin Ramadhan, bahwa Rasulullah SAW “mudik” ke Mekah selama 19 hari setelah delapan tahun meninggalkan kampung halamannya tersebut pada tanggal 10 Ramadan abad ke-8 Hijriyah atau 8 Juni 632 M.
Mudik yang dilakukan Rasulullah SAW ke kampung halamannya ini, selain mengobati kerinduannya pada tanah kelahirannya. layaknya manusia biasa, beliau juga rindu akan tanah kelahirannya, Makkah al-Mukarramah sebagaimana terekam dalam sabdanya,
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِمَكَّةَ : مَا أَطْيَبَكِ مِنْ بَلَدٍ وَأَحَبَّكِ إِلَيَّ ، وَلَوْلا أَنَّ قَوْمِي أَخْرَجُونِي مِنْكِ ، مَا سَكَنْتُ غَيْرَكِ
“Berkata Rasulullah SAW, “Alangkah indahnya dirimu (Makkah). Engkaulah yang paling ku cintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini.” (HR al-Tirmidzi yang dikutip Wahbah al-Zuhaili dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu)
Dalam hadis yang lain dikatakan,
يامكة، والله، إنك لخير أرض الله، وأحب البلاد إلى الله، ولولا أني أخرجت منك ما خرجت
“Wahai Mekah, demi Allah, engkau adalah negeri terbaik milik Tuhan, dan negeri yang paling dicintai Tuhan, dan jika aku tidak diusir darimu, aku tidak akan pergi. (H.R. An-Nasa’i dari Abu Hurairah)
Selain mengobati kerinduannya, Nabi SAW juga membawa misi keagamaan dan pembebasan, yakni fathu makkah (penaklukkan kota Makkah) dari blokade kaum kafir Quraisy Makkah. Setelah misi pembebasan itu berhasil, Rasulullah SAW beserta sahabatNya bersuka cita atas kemenangan itu yang diwujudkan dengan memberi maaf dan pengampunan serta meruntuhkan berhala-berhala atau pemujaan terhadap duniawi sehingga misi utama nabi SAW untuk menyempurnakan akhlak benar-benar tercapai. Kisah ini diabadikan oleh Allah swt dalam Q.S. Annashr [110]: 1-3.
Dalam konteks ini, Rasulullah SAW membuktikan kepada kita, sesungguhnya Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Islam merupakan sistem keselamatan komprehensif bagi umat manusia dan membebaskan siapa saja dari keterbelengguan duniawi, serta pemujaan dan penghambaan kepada harta, tahta, jabatan, reputasi, kekuasaan dan semacamnya. Spirit inilah yang hendak Rasul SAW tunjukkan kepada kita, bahwa Islam tidak hanya membawa misi keagamaan dan profetik semata, melainkan misi kemanusiaan dan sosial-budaya, ekonomi, politik dan hukum yang berkeadilan.
Tradisi mudik di Nusantara
Kita tahu bahwa mudik atau pulang kampung merupakan tradisi yang sudah mengakar dalam relung hidup masyarakat Nusantara. Mudik tidak hanya sekadar pulang kampung, namun lebih dari itu ia bernilai sosiologis dan filosofis. Purnawan Basundoro, sebagaimana dikutip Zastrouw, menyebutkan tradisi mudik telah ada sejak era Majapahit. Di era Majapahit, banyak punggawa kerajaan yang ditugaskan di daerah yang jauh dari tempat asal kelahiran. Mereka ini, kata Purnawan, kembali ke daerah asal pada momen-momen tertentu. Inilah salah satu asal muasal tradisi mudik di Nusantara. Tentu banyak versi terkait latar kesejarahan tradisi mudik ini.
Kekuatan budaya dalam tradisi mudik, menurut Ngatawi al-Zastrouw, budayawan NU, bahkan mampu menggerakan manusia secara masif sekaligus menjadi perajut benang kusut perbedaan serta pendorong redistribusi (baca: pemerataan) ekonomi urban ke rural atau dari kota ke desa. Dalam bahasa Zastrouw, mudik adalah salah satu “turats” (peninggalan para pendahulu) karya ulama Nusantara dalam bentuk teks hidup.
Baca juga: Idulfitri Momentum Menguatkan Ketahanan Sosial
Menurutnya, hal ini terjadi karena mudik lebaran digerakkan oleh kekuatan kultural (cultural power). Dalam kanon ilmu-ilmu sosial, kekuatan kultural merupakan kekuatan sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan mengendalikan norma atau aturan yang berlaku dan membuat individu mematuhi budaya dominan (dominant culture) secara sukarela atau tanpa sukarela. Masyarakat Indonesia yang notabene berkarakter sosial-budaya yang tinggi, dan terkenal sebagai masyarakat yang ramah secara tidak langsung membentuk kekuatan kultural yang hegemonik sehingga tradisi mudik menjadi bukti untuk itu.
Maka tak heran kiranya, jika kekuatan ini sangat tercermin dalam tradisi mudik lebaran yang diisi dengan kegiatan bersilaturahmi kepada sanak keluarga dan kerabat di kampung halaman. Bagi kelompok minoritas, tradisi mudik ini sama sekali tidak menyinggung atau menimbulkan gesekan sosial yang berarti. Bahkan, sebagian di antara mereka larut dalam tradisi tersebut, meskipun non-muslim.
Harmonisasi ajaran agama dan budaya
Karena itu, tidak heran jika ajaran Islam disebut universal. Artinya, ajaran Islam tidak hanya diperuntukkan oleh umat Islam saja, melainkan seluruh lapisan masyarakat, baik kalangan atas, menengah maupun bawah, tak terkecuali mereka yang non-muslim. Mereka duduk sejajar, berdiri sama tinggi, tiada sekat-sekat yang membedakan, berinteraksi secara guyub-rukun dan penuh kehangatan serta suka cita.
Melalui kekuatan budaya ini (tradisi mudik lebaran), Islam benar-benar ditransformasikan menjadi rahmatan lil ‘alamin, sebuah rahmat dan cinta kasih yang tidak terbatas dan dibatasi hanya untuk rahmatan lil muslimin saja. Logika idulfitri, mengikuti Emha Ainun Nadjib, menganjurkan manusia agar bergerak naik dari titik nadir, dari “dataran bumi”, karena kemuliaannya yang berstatus sebagai manusia lebih tinggi dari bumi, dan bahkan langit.
Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah
Apalagi Allah swt selalu mengingatkan agar hamba-hamba-Nya yang berkualitas ahsanu amalan itu tidak meluruh ke derajat asfala safilin, yang terendah dari yang rendah. Dengan demikian, momentum idulfitri kali ini benar-benar kita transformasikan dan transmutasikan menjadi momentum spiritual, kemanusiaan, cinta kasih sayang antar sesama, saling berbagi kebahagiaan, dan memaafkan antar sesama. Semoga kita semua bisa istikamah dalam mempertahankan kebaikan idulfitri di sepanjang usia kita. Aamiin. Wallahu alam.