Muhammad Rasyid bin Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin Al-Qalmuni Al-Husaini dilahirkan pada tahun 1865 M di Al-Qalamun, sebuah desa yang terletak tidak jauh dari kota Tripoli, Lebanon. Di desa inilah Muhammad Rasyid Ridha dibesarkan oleh ayahnya yang terkenal alim, bersikap moderat dan sangat dihormati oleh penduduknya.
Meskipun Muhammad Rasyid Ridha dan ayahnya hidup dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama, tidak membuat mereka menunjukkan sikap eksklusif atas pemeluk agama yang berbeda. Ayahnya bahkan sering bergaul dengan pemuka-pemuka agama setempat sebagaimana ia bergaul dengan sesama Muslim. Mereka saling menghormati tanpa ada sikap saling curiga, membenci apalagi mencerca.
Rasyid Ridha kecil sering memperhatikan sikap dan cara bergaul ayahnya tersebut. Berbagai sikap baik ayahnya terhadap penduduk desa membekas dan mengakar kuat pada diri Rasyid Ridha sehingga pada masa-masa perjuangan dakwahnya di kemudian hari, ia tidak pernah bersikap fanatik dan selalu menunjukkan sifat toleransi kepada umat agama lain.
Berkat contoh dari ayahnya tersebut, Muhammad Rasyid Ridha belajar untuk melihat kebaikan-kebaikan manusia secara obyektif tanpa memaksakan kebaikan berdasarkan versi-nya sendiri. Menurutnya, eksistensi umat beragama harus dibarengi dengan adanya toleransi dan kerjasama diantara mereka atas dasar keadilan dan kebaikan yang dibenarkan oleh agama agar keamanan serta kemakmuran sebuah negara bisa tercapai.
Perjalanan Intelektual dan Kehidupan Muhammad Rasyid Ridha
Ketika belia, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke sebuah madrasah tradisional di desanya (Qalamun) untuk belajar membaca Al-Qur’an, menulis dan berhitung. Sejak kecil Rasyid Ridha dikenal berbeda dengan anak-anak seumurannya, karena ia lebih suka menghabiskan waktu untuk belajar dan membaca daripada bermain seperti anak-anak biasanya.
Setelah menyelesaikan pembelajaran di sekolah tradisional Qalamun, Rasyid Ridha kemudian meneruskan pendidikannya ke sekolah nasional Islam (Madrasah al-Wathoniyah al-Islamiyah) di Tripoli. Di Sekolah ini, Rasyid Ridha mempelajari pengetahuan agama, bahasa Arab, ilmu-ilmu modern, bahasa Perancis dan Turki. Peristiwa ini terjadi ketika ia berumur kurang lebih 17 belas tahun.
Di tengah pendidikan Rasyid Ridha di sekolah nasional Islam, terjadi gejolak politik yang cukup besar di kota Tripoli. Akibatnya, beberapa sekolah dan lembaga keislaman ditutup, termasuk sekolah yang ditempati Rasyid Ridha. Ia kemudian pindah ke sebuah sekolah agama yang ada di kota Tripoli. Meskipun Rasyid Ridha telah berpindah sekolah, namun ia selalu menjaga hubungan baik dengan guru utama sekaligus pendiri sekolah nasional Islam, yakni Syekh Muhamamd Al-Jisr.
Syekh Al-Jisr adalah seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya dipengaruhi oleh ide-ide modernisme. Beliau lah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam jiwa Rasyid Ridha muda. Berkat stimulan tersebut, Rasyid Ridha menjadi sangat concern terhadap gagasan-gagasan pembaharuan, khususnya mengenai pendidikan dan pemikiran keislaman.
Selain menekuni pembelajaran di sekolahnya, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti perkembangan dunia Islam melalui majalah al-‘Urwah al-Wusqo. Majalah ini merupakan majalah yang diterbitkan di Paris oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh pada tahun 1884. Di dalamnya terdapat berbagai macam isu menarik mengenai pengetahuan dan pembaharuan.
Baca Juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam
Dari majalah al-‘Urwa, Rasyid Ridha banyak menerima konsep pemahaman Islam yang segar. Semula ia melihat Islam hanya terbatas mengenai ajaran keimanan kepada Allah, namun berkat majalah al-‘Urwa, pandangannya terhadap ajaran Islam menjadi lebih luas dan bijaksana. Dari majalah tersebut juga Rasyid Ridha mengenal pembaharuan pemikiran Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Bahkan dikatakan bahwa ia sangat mengagumi keduanya dan sangat ingin menjadi murid Jamaluddin al-Afghani.
Pada kenyataannya, keinginan Rasyid Ridha tidak bisa tercapai karena Jamaluddin al-Afghani wafat terlebih dahulu sebelum ia dapat menemui beliau. Namun ketika Muhamad Abduh dibuang ke Beirut Rasyid Rida berkesempatan untuk berjumpa dan berdialog dengannya. Perjumpaan dan dialognya ini semakin memperkuat kesan dan semangatnya untuk mengikuti arus pemikiran pembaharuan melalui Muhamad Abduh yang kemudian menjadi guru utamanya.
Menurut Harun Nasution, Rasyid Ridha mencoba menjalankan ide-ide pembaruan dari al-Afghani dan Muhammad Abduh di Suriah, tetapi usahanya tersebut menabrak “dinding kokoh” kerajaan Usmani dan gagal. Kemudian pada bulan Januari 1898 Rasyid Ridha pindah ke Mesir agar bisa berdekatan dengan gurunya Muhammad Abduh sekaligus untuk mengembangkan pemikiran pembaruannya.
Pada tahun 1898 juga Rasyid Ridha berkeinginan menerbitkan majalah untuk meneruskan perjuangan pembaharuan al-Afghani dan Muhammad Abduh. Dengan bemodal dukungan Abduh, Rasyid Ridha menerbitkan majalah dan menamainya dengan Al-Manar. Majalah ini mempunyai haluan dan tujuan yang serupa dengan al-Urwah al-Wusqo. Selain memuat ide-ide pembaharuan secara umum, majalah ini juga secara langsung banyak memuat tulisan Muhamad Abduh.
Rasyid Ridha kemudian menyarankan agar gurunya menulis tafsir Al-Quran modern yang mendukung kerangka pikiran pembaharuan. Gagasan ini awalnya tidak ditanggapi dengan serius oleh Abduh, namun karena Rasyid Ridha terus mendesaknya, akhirnya pada tahun 1899 Abduh setuju untuk memberikan kuliah tafsir Al-Quran di Al-Azhar. Hasil kuliah tersebut lalu disusun oleh Ridha di bawah arahan gurunya dan diterbitkan di Al-Manar.
Dengan cara inilah kemudian Tafsir al-Manar tercipta. Sebagaimana diketahui, setelah gurunya wafat, Rasyid Rida meneruskan karya penafsiran tersebut yang dimulai dari surat An-Nisa ayat 126, karena Muhamad Abduh hingga wafatnya hanya berhasil menafsirkan Al-Quran sampai ayat 125 dari surat An-Nisa. Rasyid Rida seorang pembaharuan asal Libanon ini wafat pada Agustus 1935 M. Wallahu a’lam.