BerandaTokoh TafsirMuhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan

Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan

Muhammad Syahrur mungkin dikenal sebagai tokoh cendekiawan Islam modern yang diklaim menyuguhkan gagasan-gagasan “kontroversial”. Namun perlu diketahui bahwa tidak semua gagasan Syahrur dapat digeneralisir sebagai gagasan “kontroversial”, sebab banyak hal yang bisa dipelajari dari keinginannya untuk melakukan pembaharuan kajian Islam.

Salah satunya yang akan dibahas pada tulisan kali ini terkait komentarnya mengenai gerakan Salafisme dan hakikat al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan. Kedua term pembahasan ini bisa dibilang sangat berkaitan dan bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam melihat berbagai fenomena sosial-keagamaan dewasa ini.

Biografi

Muhammad Syahrur adalah salah satu tokoh cendekiawan Islam modern yang pemikirannya banyak dikaji di kalangan intelektual Islam. Syahrur memiliki nama lengkap Muhammad Da’ib Syahrur. Ia lahir di kota Damaskus, Suriah pada tanggal 11 Maret 1938.

Jika menelusuri jejak perjalanan akademiknya, maka tidak ditemukan bahwa Syahrur adalah seorang yang menekuni kajian Islam sejak dini. Di kampung halamannya, Syahrur menyelesaikan pendidikan ibtidaiyah dan tsanawiyah di madrasah atau sekolah yang tidak fokus pada kajian keilmuan Islam.

Baca Juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Selepas lulus, Syahrur melanjutkan pendidikan tingginya di Moskow, Rusia, tepatnya di Moskow Engineering Institute dan mengambil jurusan Teknik Sipil. Setelah menjadi sarjana, tahun 1965 ia diterima menjadi pengajar di Universitas Damaskus dan di tahun 1969 dikirim untuk melanjutkan studi pascasarjananya di National University of Irlandia. Ia pun lulus sebagai doktor di tahun 1972 dengan spesialisasi Teknik Tanah dan Bangunan.

Kedatangannya di Irlandia menjadi awal mula alasannya tertarik pada kajian keIslaman. Ia merasa kajian Islam di dunia Barat begitu minim dan sudah terbelenggu oleh kotak-kotak aliran yang saling mendominasi (Sunni-Muktazilah-Syiah) serta taqlid pada pandangan Fiqh Klasik. Maka ia pun mulai bergelut pada kajian keIslaman dan menuliskan gagasan-gagasannya yang dinilai sebagai gagasan pembaharuan.

Di antara karya-karya Syahrur yang menjadi buah gagasannya ialah al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Dirasah a-Mua’ashirah fi Daulah wa al-Mujtama’, al-Iman wa al-Islam: Mandzhumah al-Qiyam, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.

Muhammad Syahrur wafat di usia 81 tahun di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Sebelum wafat, ia berwasiat agar jasadnya dimakamkan di Damaskus, Suriah tempat di mana ia dilahirkan dan dibesarkan.

Salafy dan Sikap Terhadap Turats

Salah satu yang menjadi kegelisahan intelektual Muhammad Syahrur adalah kekeringan kajian Islam saat ini, khususnya di tanah Arab, yang disebabkan oleh kebergantungan umat Islam pada epistemologi Islam doktrinal era klasik-pertengahan. Lahirnya aliran-aliran konservatisme Islam yang justru mendorong umat muslim untuk kembali pada epistemologi pemikiran Islam generasi salaf menjadi bukti nyata bahwa adanya krisis ijtihad dan metodologi dalam tubuh Islam.

Dalam muqaddimah salah satu kitabnya yang fenomenal sekaligus kontroversial, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, Syahrur secara gamblang menyebut salafy sebagai salah satu aliran konservatisme sekaligus memberikan tawaran metodologi baru dalam upaya memahami al-Qur’an serta turast yang menjadi warisan intelektual masa lampau.

Bagi Syahrur, Salafy adalah sebuah aliran pemahaman yang menyerukan untuk mengikuti jalan (pemahaman) salaf al-shalih dengan tanpa membuka mata atas perbedaan realitas konteks yang ada. Salafi adalah seorang muqallid yang buta, ia tak mampu membedakan bahwa dirinya sedang hidup di zaman yang sangat jauh rentangnya dari zaman yang ia ikuti, seorang yang hidup di abad 21 dan taqlid generasi yang hidup di abad ke-7 (dalam kalender Masehi).

Padahal sikap taqlid itu seharusnya mustahil dilakukan sebab kita hanya bisa mengakses dokumen-dokumen sejarah (al-turats al-tarikhi), sehingga tidak akan bisa memahami konteks yang terjadi di abad ke-7 sebagaimana pemahaman anak zamannya.

Dalam membahas tentang tentang turats, Syahrur menjelaskan bahwa turats adalah produk material maupun pemikiran yang ditinggalkan atau diwariskan oleh generasi terdahulu kepada generasi masa kini, yang memainkan peran penting dalam pembentukan masyarakat terdahulu baik dalam membentuk pola pikir (mode of thought) maupun pola tindakan (mode of conduct).

Maka hal penting yang perlu dicatat adalah bahwa turats adalah produk atau wujud dari aktifitas manusia yang berkelindan dengan zamannya (muta’aqib bi zamanih), sehingga dalam berinteraksi dengan turats yang sifatnya nisby (relatif) dan temporal, Syahrur menginginkan agar pembacanya menggunakan metode pembacaan yang kontemporer dalam membacanya (qira’ah mu’ashirah).

Adapun yang dimaksud dengan qira’ah mu’ashirah adalah pembacaan yang mengedepankan dialektika antara produk peninggalan generasi (turats) terdahulu dengan pembaca yang terikat dengan konteksnya sendiri. Implikasinya, pembaca tidak harus berafiliasi sepenuhnya dengan turats, namun ia berhak memilah dan memilih informasi yang terdapat dalam turats yang memiliki kebermanfaatan bagi pembaca dan masanya serta bagi generasi di masa yang akan depan.

Dengan begitu, Salafy telah salah dalam mengambil sikap terhadap turats, sebab telah menempatkan turats sejajar dengan teks suci yang sakral. Implikasinya, teks al-Qur’an tidak membutuhkan lagi pengembangan pemahaman ataupun penalaran, sehingga al-Qur’an cukup dibaca saja dan adapun jika ingin memahaminya cukup kembali pada turats yang telah ada.

Maka dari sinilah terjadi vernakularisasi, yaitu terjadinya pergeseran dari al-Qur’an yang memegang otoritas tunggal terhadap maknanya menuju pada turats. Inilah justru yang menyebabkan tertutupnya karakter al-Qur’an sebagai kitab yang shalil li kulli zaman wa makan.

Al-Qur’an: Shalih li kulli Zaman wa Makan

Al-Qur’an bagi Syahrur bukanlah turats, sebab al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang di dalamnya terdapat dimensi absolusitas Tuhan dalam kandungan maknanya (al-muhtawa), sehingga otoritas kebenaran makna bukanlah milik manusia. Namun sebagai kitab yang ditujukan kepada manusia, al-Qur’an juga memuat muatan nisbiyah atau relativitas yang diwakilkan oleh pemahaman manusia atasnya.

Konsekuensi atas pendapat Syahrur di atas adalah bahwa turats yang hadir atas pemahaman terhadap al-Qur’an baik dari sisi pemaknaannya secara komprehensif yang diwakilkan oleh kitab-kitab tafsir (klasik-pertengahan) maupun dari sisi yuridisnya saja yang diwakilkan oleh kitab-kitab fiqh bersifat nisby yakni relatif dan temporal sehingga tidak sepatutnya dijadikan pegangan bagi generasi yang hidup di era modern-kontemporer.

Maka Syarur berkesimpulan bahwa semestinya untuk mengatakan bahwa al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan, al-Qur’an harus diibaratkan sebagai kitab yang turun di zaman kita dan Nabi Muhammad sebagai penyampai risalahnya diumpakan diutus di zaman kita.

Baca Juga: Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

Dengan begitu seorang pembaca akan mampu berinteraksi dengan al-Qur’an dengan menggunakan berbagai pendekatan yang berkembang di zamannya, serta mampu memproduksi pemaknaan yang tepat terhadap al-Qur’an dan relevan juga ramah dengan konteks zamannya, sehingga tidak terjebak pada pemahaman turats yang disinyalir sudah tidak relevan bagi masa kini.

Walhasil, bagaimanapun pemikiran Syahrur dengan segala “kontroversi” yang diklaim ada di dalamnya, tetap ada hikmah dan pelajaran yang bisa diambil. Adapun jika ada yang dinilai tidak sesuai di dalamnya, maka boleh ditinggalkan atau dikritisi secara akademik. Sebab sebagai muslim yang open-minded dan berwawasan sudah semestinya menyikapi perbedaan pemikiran sebagai bagian dari warna-warna yang menghiasi Islam layaknya pelangi. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...