Sebelum Rasulullah saw. dan kaum muslimim hijrah ke Madinah, beliau telah menunjuk Mus’ab bin Umair sebagai duta atau utusan untuk pertama kali mendakwahkan Islam dan mengajarkan Alquran di Madinah. Mus’ab adalah sosok pemuda yang cerdas, fasih membaca Alquran, dan dikenal dengan julukan Muqri’ al-Madinah (pembaca Alquran bagi penduduk Madinah).
Biografi Mus’ab bin Umair
Lahir dan tumbuh besar di lingkungan keluarga hartawan di Makkah, Mus’ab bin Umair dikenal sebagai pemuda tampan dan sangat dikagumi oleh masyarakat khususnya para perempuan. Beliau hidup dalam kemewahan dan selalu dimanjakan dengan segala kemudahan yang ditawarkan oleh keluarganya.
Namun hal tersebut berubah ketika Mus’ab bin Umair mendengar ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Dengan kecerdasannya, Mus’ab menyadari bahwa praktik agama yang dianut kaumnya tidaklah benar, sedang apa yang diusung oleh Nabi Muhammad kala itu merupakan suatu ajaran yang membawa kebenaran.
Tanpa ada yang mengajak dirinya, Mus’ab bin Umair datang sendiri ke rumah al-Arqam, tempat Rasulullah saw. dan para sahabat sering berkumpul untuk membaca dan mempelajari Alquran. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibnu Sa’ad, tidak seorang pun dari keluarganya yang mengetahui hal itu, termasuk ibunya sendiri yang sangat memanjakannya. (Thabaqat al-Kubra 3/117)
Baca Juga: Kisah Hijrah Shuhaib bin Sinan yang Disinggung dalam Alquran
Ketika ayat-ayat Alquran dibacakan oleh Rasulullah saw, hatinya tersentuh dan beliau merasa damai. Mus’ab pun menyatakan keisalamannya, meskipun beliau tahu bahwa keputusannya akan membawa konsekuensi besar, terutama dari keluarganya. Oleh karena hal itulah Mus’ab bin Umair termasuk salah satu dari as-Sabiqun al-Awwalun yang dibanggakan oleh Allah dalam surah at-Taubah ayat 100.
Mereka adalah kelompok yang mendahului dalam menerima kebenaran Islam, meskipun harus mengorbankan berbagai kenikmatan duniawi dan menghadapi berbagai tantangan serta penderitaan. Begitu pula Mus’ab harus menghadapi berbagai derita dan siksaan sebagaimana sahabat lainnya, bahkan beliau mendapatkan siksaan yang lebih parah.
Hal tersebut membuat Rasul saw. sangat iba dan sedih. Sebagaimana dalam kitab Kanz al-Ummah (3/321), diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, “Kami sedang duduk bersama Rasulullah di masjid, kemudian Mus’ab bin Umair datang, dia tidak mengenakan apa pun kecuali jubahnya yang ditambal bulu.”
“Rasulullah saw. melihatnya dan meneteskan air mata sebab kondisi Mus’ab yang berubah drastis dan memprihatinkan. Beliau saw. bersabda, ‘Bagaimana keadaan kalian pada suatu hari ketika kalian pergi di waktu pagi dengan satu pakaian, dan pergi di waktu petang dengan pakaian yang lain. Dan bila diberikan satu hidangan, diletakkan pula satu hidangan yang lain. Dan kamu menutupi (menghias) rumah kamu sebagaimana kamu memasang kelambu Ka’bah?”
Sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, tentunya keadaan kami di waktu itu lebih baik dari pada keadaan kami di hari ini. Kami akan memberikan perhatian sepenuhnya kepada masalah ibadah saja dan tidak bersusah payah lagi untuk mencari rezeki.” Lalu beliau bersabda, ‘Tidak! Keadaan kamu hari ini adalah lebih baik daripada keadaan kamu pada hari tersebut.” (H.R. Tirmidzi)
Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah
Menjadi Utusan ke Madinah
Salah satu momen penting dalam hidup Mus’ab bin Umair adalah ketika Rasulullah saw. menunjuknya menjadi duta pertama yang mengajarkan Alquran ke Madinah. Amanah yang diberikan kepadanya ini tidak mudah, sebab saat itu Islam belum banyak dianut oleh penduduk Madinah. Namun, dengan karunia Allah, akhlak mulia, kejujuran, kesungguhan, dan kecerdasan yang dimilikinya, Mus’ab dapat menawan hati penduduk Madinah hingga berduyun-duyun masuk Islam.
Mus’ab mengenalkan Islam kepada mereka dengan membacakan ayat-ayat Alquran dan meneladankan akhlak mulia dalam praktik kehidupan. Perjalanan dakwahnya cukup mudah di kalangan budak, pekerja, serta rakyat miskin Madinah. Mereka tertarik masuk Islam karena mereka dipandang setara, tanpa dibeda-bedakan.
Meski demikian, Abu Nua’im al-Ashbahani dalam Dala’il an-Nubuwwah h, 108, menceritakan tantangan berat dihadapi yang dialami Mus’ab bin Umair ketika hendak berdakwah kepada Bani Abdul Asyhal dan Bani Zhafar dari suku Aus dan Khazraj. Mus’ab bin Umair tetap berusaha membacakan Alquran kepada para penguasa tersebut, sehingga hati kedua pembesar itu pun luluh tatkala mendengar lantunan Alquran. Keduanya memutuskan memeluk Islam, yang kemudian diikuti oleh rakyatnya.
Semangat, dedikasi dan ketulusan dakwah Mus’ab bin Umair ini terekam dalam surah Fusshilat ayat 33:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَا إِلَىٰ اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’.
Keberhasilan Duta pertama Rasulullah tersebut menjalankan misi dakwah di Madinah menjadi pondasi penting bagi perkembangan Islam di wilayah yang sebelumnya di kenal dengan nama Yastrib.
Berkat dakwahnya, pada tahun berikutnya 70 orang Madinah datang ke Makkah untuk berbaiat kepada Rasulullah saw. di Bukit Aqabah. Hal ini menjadi awal dari hijrahnya Rasulullah saw. dan kaum muslimin ke Madinah. (Daulah Islam h. 37-38)
Baca Juga: Menelusuri Jejak Mufasir dari Kalangan Sahabat
Syuhada Perang Uhud
Selain dedikasi dan perjuangannya dalam berdakwah, Mus’ab juga turut terlibat dalam beberapa perang di awal-awal kebangkitan Islam, yakni perang Badar dan Uhud. Pada perang Uhud, Mus’ab wafat dan menjadi salah satu syuhada setelah memegang salah satu bendera panji peperangan.
Imam Al-Hakim meriwayatkan, ketika perang Uhud selesai, Rasulullah saw. menghampiri para korban perang dan ketika melihat Mus’ab, beliau berhenti di samping jasadnya kemudian membaca ayat 23 surah al-Ahzab. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. memberi penghormatan kepada Mus’ab bin Umair sebagai seorang yang benar-benar menepati janjinya kepada Allah, bahkan sampai mengorbankan nyawanya di jalan-Nya.
Dalam tafsir an-Nukat wal ‘Uyun (1/47), Imam al-Mawardi memyebutkan bahwa ketika Mus’ab bin Umair wafat, surat an-Nazi’at ayat 40-41 turun menyinggung tentangnya. Beliau wafat di usia sekitar 40 tahun, namun kisah perjuangannya sangat berkesan dan memberikan teladan yang patut dicontoh, terutama bagi pemuda dalam hal keteguhan iman, kesabaran dan kegigihan menghadapi ujian serta tantangan, juga keikhlasan dalam memperjuangankan Islam. Wallah a’lam.