Mendengar istilah mutasyabih, mungkin akan terlintas dalam pemahaman tentang konsep kajian muhkam dan mutasyabih. Dua konsep tersebut biasa dikenal dalam literatur ulumul qur’an, akan tetapi, mutasyabih yang akan dibahas dalam tulisan ini bukanlah konsep mutasyabih yang biasa dipasangkan dengan konsep muhkam tersebut, melainkan mutasyabih nadzm.
Dalam Alquran, kerap kali ditemui ayat-ayat dengan gaya bahasa yang mirip satu sama lain. Bahkan, terdapat ayat yang dinarasikan berulang dengan gaya bahasa yang sama persis, tanpa ada perbedaan dalam bagian-bagiannya. Sebagai contoh, Q.S Al-Baqarah [2]:35 mempunyai gaya bahasa yang mirip dengan Q.S Al-A’raf [7]:19.
وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَاۖ وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
وَيٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هٰذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظّٰلِمِيْنَ
Kedua ayat tersebut hanya berbeda dalam beberapa bagian kalimat saja. Salah satunya adalah penggunaan konjungsi (athaf) wawu dalam ayat pertama dan fa dalam ayat kedua.
Sedangkan ayat dengan gaya bahasa yang dinarasikan ulang sama persis adalah ayat yang cukup familiar, yaitu Q.S Ar-Rahman [55]:16.
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
Ayat ini diulang sebanyak 31 kali dalam surat tersebut. Dari ayat-ayat yang mirip dengan dua contoh pola ayat tersebut, pertanyaan analitis yang sering muncul yaitu mengapa ayat tersebut diulang-ulang? Atau mengapa dua ayat tersebut mirip, namun terdapat sedikit perbedaan bagian di antara keduanya?
Secara sederhana, keserupaan ayat-ayat dalam gaya bahasa itulah yang dimaksud sebagai mutasyabih nadzm. Sementara, sekelumit pertanyaan dan persoalan terkait kesamaan gaya bahasa tersebut dibahas dalam ilmu mutasyabih nadzm.
Dengan demikian, mutasyabih nadzm dapat didefinisikan sebagai pengulangan ayat-ayat Alquran yang memiliki gaya bahasa yang sama atau ayat-ayat yang memiliki gaya bahasa serupa, namun terdapat bagian yang sedikit berbeda di dalamnya.
Perbedaan bagian yang dimaksud di sini meliputi perbedaan dalam pendahuluan atau pengakhiran kata (at-taqdim dan at-takhir), penyebutan atau tidaknya suatu bagian tertentu dalam kalimat (ad-dzikr dan al-hadzf) dan berbagai macam lainnya. Pengulangan ayat-ayat serupa tersebut bisa terjadi dalam satu surat yang sama atau dalam surat yang berbeda (Sulaiman, 2021: 8).
Baca Juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir
Elaborasi ayat-ayat mutasyabih nadzm
Pembahasan dalam ayat-ayat mutasyabih nadzm dapat dielaborasi melalui dua sisi atau dua bagian. Bagian pertama berkaitan dengan penjelasan mengapa terdapat suatu perbedaan bagian dalam ayat-ayat yang memiliki gaya bahasa yang serupa. Sementara bagian kedua berkaitan dengan penjelasan mengapa terdapat persamaan atau pengulangan dalam suatu bagian dari ayat-ayat yang memiliki gaya bahasa yang serupa.
Sebagai contoh aplikatif, dua ayat awal yang penulis sebutkan di atas termasuk dalam elaborasi mutasyabih nadzm bagian pertama. Pada Q.S Al-Baqarah [2]:35, menurut Ismail Ali Sulaiman, makna kata uskun (اسْكُنْ) adalah perintah menetap dengan waktu yang lama (iqamah atau istiqrar), sehingga makna ayat tersebut adalah Allah memerintahkan Nabi Adam untuk menetap lama di surga dan memakan makanan yang ada di dalamnya.
Perintah tersebut diberikan secara bersamaan, karena perintah makan tidak bergantung pada perintah untuk menetap dengan waktu yang lama. Singkatnya, kedua perintah itu tidak mempunyai relasi saling ketergantungan, sehingga kata hubungnya (athaf) menggunakan huruf wawu, bukan fa.
Sementara pada Q.S Al-A’raf [7]:19, kata uskun (اسْكُنْ) dalam ayat tersebut berasal dari kata as-sukna (السُكنَى) yang artinya menjadikan suatu tempat sebagai tempat berpijak atau kediaman (ittikhadz al-maudli’ maskanan), sehingga makna ayat tersebut adalah perintah Allah kepada Nabi Adam untuk menjadikan surga sebagai tempat berpijak atau kediamannya bersama Hawa, setelah sebelumnya Allah telah mengusir Iblis dari surga. Maka dari itu, athaf yang tepat dalam ayat ini adalah huruf fa, yang mengandung makna berurutan (tartib).
Hal ini karena tidak mungkin perintah makan dilaksanakan tanpa berpijak di surga terlebih dahulu. Dan di sisi lain, proses pergerakan dari menetap menuju makan juga tidak membutuhkan waktu yang lama. Sehingga, penggunaan athaf dengan fa dalam konteks ayat tersebut menjadi relevan (Sulaiman, 2021: 127-128).
Contoh ayat yang kedua termasuk dalam elaborasi mutasyabih nadzm bagian yang kedua. Pengulangan ayat tersebut mempunyai maksud untuk mengingatkan dan menetapkan nikmat-nikmat Allah yang telah diberikan kepada manusia. Ayat tersebut disampaikan secara berulang dalam konteks penyebutan secara mendetail atas karunia yang diberikan Allah atas hambanya, sehingga pengulangan ayat tersebut mempunyai maksud mengingatkan mereka atas nikmat berlimpah yang telah diberikan Allah tersebut.
Di sisi lain, pengulangan ini juga bermaksud untuk menegur dan mencaci orang-orang yang mengingkari karunianya, padahal nikmat tersebut begitu jelas dan banyak.
Dari sinilah, mutasyabih nadzm menjadi salah satu corak pemaknaan kemukjizatan Alquran, karena menjelaskannya dari sisi keindahan bahasanya (i’jaz balaghy). Corak pemaknaan i’jaz semacam ini memang tidak begitu baru, namun elaborasi cendekiawan muslim terkait aspek ini terbilang masih sedikit.
Baca Juga: Ulumul Quran: Mengenal Konsep Manthuq dan Mafhum
Sejarah perkembangan ilmu mutasyabih nadzm
Jika dilacak, embrio ilmu mutasyabih nadzm sudah ada pada abad ke dua hijriah. Hamzah bin Habib al-Zayat sudah sedikit membahas mutasyabih nadzm pada masa itu. Kemudian ilmu ini berkembang di tangan Khatib al-Iskafi dalam karyanya, Durrat at-Tanzil wa Ghurrat at-Ta’wil pada abad ke empat hijriah.
Estafet keilmuan ini kemudian dilanjutkan oleh Ibn Zubair pada abad ke tujuh hijriah dalam karyanya, Malak at-Ta’wil. Dua karya tersebut dianggap sebagai karya terpenting dalam sejarah ilmu ini. Sampai sekarang, karya dalam genre ini terbilang tidak cukup banyak. Salah satu karya yang ditulis di masa kontemporer adalah Shafwat al-Bayan fi Mutasyabih al-Qur’an karya Ismail Ali Sulaiman.
Sampai di sini sudah cukup jelas apa yang dimaksud dengan ilmu mutasyabih nadzm dalam tulisan ini. Namun, masih terdapat pertanyaan fundamental yang layak untuk diajukan. Bagaimana cendekiawan muslim menafsirkan atau mencari penjelasan rahasia di balik ayat-ayat mutasyabih nadzm tersebut?
Cendekiawan muslim dalam mengelaborasi rahasia dibalik ayat mutasyabih nadzm berdasar pada ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Alasannya cukup logis dan jelas, yaitu bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan dirinya satu sama lain (al-qur’an yufassiru ba’dluhu ba’dlan), sebuah kaidah yang cukup ma’ruf dalam metode penafsiran.
Dari logika argumentasi tersebut, maka konsep-konsep lain dalam metode penafsiran juga dijadikan dasar dalam menyingkap mutasyabih nadzm. Di antaranya adalah asbab nuzul dan Hadits Nabi yang memang salah satu fungsinya adalah penjelas Al-Qur’an. Begitu juga bahasa Arab, yang meliputi ilmu nahwu, syair Arab dan balaghah.
Kajian tentang mutasyabih nadzm ini bisa dibilang penting dan sekaligus menarik, dengan mengetahuinya, pembaca Alquran akan lebih sensitive dengan ayat-ayat mutasyabih nadzm dan pemaknaan dibaliknya, selain memahami makna Alquran secara umum.
Di sisi lain, ilmu mutasyabih nadzm sebagai ilmu pengetahuan juga menarik untuk ditunggu perkembangannya, mengingat karya dalam genre ini terhitung masih sedikit. Penafsiran dalam ranah mutasyabih nadzm ini termasuk dalam ranah ijtihadi, sehingga sangat terbuka untuk adanya perkembangan elaborasi. Menarik untuk ditunggu kerja-kerja intelektual lebih lanjut para cendekiawan muslim yang menempuh jalan ini. Wallah a’lam.