Nazar merupakan bagian dari tradisi masyarakat kita. Banyak hal yang dilakukan oleh setiap orang agar keinginannya tercapai. Usaha yang dilakukan tidak hanya berupa kerja keras otot saja, tetapi juga berupa kerja keras yang sifatnya ibadah, seperti bersedekah, berpuasa, dan satu lagi yang juga sering dpraktikkan adalah nazar. Sadar atau tidak, seringkali seseorang yang memiliki suatu hajat atau keinginan, maka ia akan membuat janji untuk melakukan kebaikan tertentu setelah hajat tersebut tercapai.
Dalam Al-Quran Allah berfirman
وَمَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ نَّفَقَةٍ اَوْ نَذَرْتُمْ مِّنْ نَّذْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُهٗ ۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Dan bagi orang zalim tidak ada seorang penolong pun” (QS. Al-Baqarah [2]: 270)
Bagaimana mufasir dan para ulama membahas nazar dalam ayat tersebut?
Al-Qurtubi menuturkan bahwa nazar berasal dari sejarah bangsa Arab dan merupakan salah satu hal yang mereka sukai sehingga mereka sering menerapkannya. Dalam Islam, nazar merupakan hal yang diperbolehkan berdasarkan ayat di atas. Nazar sama sekali tidak bertentangan dengan konsep tauhid, sebab hal itu juga dianggap sebagai ibadah atas bukti keyakinan seorang hamba pada Tuhannya. Kendati demikian, ada beberapa pihak, seperti orang yang ‘alim yang az-zahid yang sangat berhati-hati dengan niat ibadahnya masih mempertentangkan hukum nazar. Demikian ini karena seperti memberi kesan bahwa umat Islam hanya akan taat dan melaksanakan kebaikan jika keinginannya dikabulkan oleh Allah.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 261: Keutamaan Sedekah
Islam melalui penjelasan para ulama telah mengatur segala ketentuan mengenai hukum nazar berdasarkan dalil yang memperbolehkannya (Alquran, hadis dan Ijma’ ulama). Menurut mereka, nazar berarti menyanggupi melakukan ibadah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib atau fardu ain bagi seseorang. Oleh karena itu, tidak sah bernazar untuk melakukan hal yang mubah, makruh, dan haram. Demikian juga bernazar akan melakukan sesuatu yang sifatnya wajib, seperti salat lima waktu, puasa Ramadan karena sudah menjadi kewajiban setiap individu meskipun tanpa dinazarkan.
Dari penjelasan ini, sesuatu yang dapat dinazarkan adalah sesuatu yang dihukumi oleh syara’ (berdasar Alquran, hadis dan ijma’ ulama) sebagai perbuatan sunnah atau fardu kifayah. Misal, bernazar akan bersedekah kepada orang miskin, berpuasa pada hari tertentu, dan perbuatan sunnah atau fardu kifayah yang lain. Konsekuensi dari pelaksanaan sebuah nazar adalah perkara sunnah atau fardu kifayah yang telah dinazarkan tersebut menjadi wajib bagi pelaksananya. Rasulullah saw bersabda,
(مَنْ نَذَرَ اَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ اَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ (رواه البخاري
“Barang siapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya.” (HR. Al-Bukhari)
Salah satu syarat nazar adalah lafad nazar harus mengandung sebuah kepastian untuk menyanggupi melakukan perbuatan tertentu. Seperti perkataan seseorang, “Jika saya lulus ujian, maka saya akan memberi hadiah untuk guru saya”. Orang yang bernazar harus mengucapkan nazarnya dengan kalimat yang pasti, bukan dengan kalimat yang berbunyi keraguan, seperti, “Jika saya lulus ujian, kemungkinan saya akan memberikan hadiah pada guru saya”, dan semacamnya. Dengan demikian, nazar merupakan bentuk kesanggupan sedari awal seseorang mengucapkannya. Selain itu nazar merupakan bentuk lain dari cara seseorang untuk bertanggung jawab atas apa yang telah ia janjikan.
Jika orang bernazar akan melakukan ibadah tertentu tetapi penyebutannya secara umum, maka yang wajib baginya adalah sebatas ma yaqa’u alaihil ismu (sesuatu yang dapat dinamai sebagai perbuatan ibadah tersebut). Contoh: jika seseorang bernazar puasa setelah sembuh dari sakitnya, maka yang wajib baginya adalah puasa selama satu hari saja, sebab demikian itu sudah dikatakan puasa walaupun tidak menyebutkan bilangan hari atau jenis puasanya. Berbeda ketika puasa yang dinazarkan sudah ditentukan harinya, maka itulah yang wajib untuk dilaksanakan.
Bagaimana jika seseorang melanggar nazar?
Dalam literatur fiqih dijelaskan, jika seseorang bernazar kemudian tidak melaksanakannya karena merasa tidak sanggup, maka ia terkena kafarat berupa memberi makan 10 orang fakir miskin, namun jika tidak mampu maka harus memerdekakan budak. Jika masih tidak mampu melakukan keduanya, maka ia harus berpuasa selama tiga hari berturut-turut.
Wallahu A’lam