Kebenaran Alquran sebagai kitab yang relevan untuk semua kondisi zaman dan tempat (Shâliḥ li kulli zamân wa makân), menjadikan para ulama klasik hingga cendekiawan kontemporer senantiasa menggali kandungannya dan memunculkan pandangan yang segar untuk merespons tantangan zaman. Salah satu tokoh yang turut ambil bagian dalam hal ini adalah Mahmûd Muḥammad Thahâ, seorang pemikir muslim asal Sudan dengan pemikirannya yang mencoba merekonstruksi kategorisasi dan pemaknaan Makki dan Madani. Selama hidupnya, dia aktif dalam dunia politik, menyerukan berbagai gagasannya yang terkadang kontroversial sehingga tak jarang dia harus berseberangan dengan penguasa. Puncak karier politiknya berakhir pada tahun 1985 di tiang gantungan.
Menarik untuk dicermati, meski merupakan pemikir kontemporer, Mahmûd Muḥammad Thahâ menggunakan metodologi yang mirip dengan pemikiran kaum sufi. Hal ini tentunya agak nyeleneh, mengingat para pemikir kontemporer justru lebih banyak menekankan rasionalitas dibandingkan intuisi, bahkan cenderung mengkritiknya.
Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman (2)
Di sisi lain, keunikan metodologi pemikiran Mahmûd Muḥammad Thaha juga menjadi kelemahannya. Metodologi intuisi atau ilham kerap kali menjadi sasaran kritik beberapa pihak karena sulit untuk dipertanggungjawabkan dan diverifikasi kebenarannya. Oleh karena itu, tak mengherankan jika pemikirannya selain mendapat respons negatif, juga minim mendapat sambutan positif dari pemikir lain dan masyarakat luas. Hal ini tentunya berbeda dengan pemikiran kontemporer lain seperti Syahrur, Farid Esack, Amina Wadud, dan beberapa tokoh lainnya yang masih menerima sambutan positif meskipun juga mendapatkan kritikan tajam dari pihak lain.
Dasar Konseptual Makki dan Madani
Khâlid ‘Ustman ats-Tsabt dalam kitab Qawâ’id al-Tafsîr mendefinisikan bahwa yang dimaksud Makki adalah ayat-ayat Alquran yang turun sebelum hijrah. Sebaliknya, Madani adalah ayat-ayat Alquran yang diturunkan sesudah hijrah. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah penentuan Makki dan Madani-nya suatu ayat bukan pada tempat, melainkan waktu, yakni sebelum atau sesudah hijrah. Jika ada ayat Alquran yang diturunkan sesudah hijrah, meskipun ayat tersebut diturunkan di Mekah, maka ayat tersebut termasuk dalam kategori ayat-ayat Madaniyah. (Qawâ’id al–Tafsîr: 76)
Makki dan Madani Menurut Thahâ
Berbeda dengan ulama ulûm al-Qur’ân lain, Mahmûd Muḥammad Thahâ tidak memiliki definisi yang jelas mengenai konsep Makki dan Madani. Perbedaan hanya terletak pada bagaimana dia memaknai esensi dari ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah.
Meskipun demikian, dalam hal inilah muncul perbedaan yang cukup tajam antara dia dengan ulama lain. Thahâ mengklaim memiliki pandangan yang berbeda dengan mayoritas ulama dalam memaknai apa itu ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah. Menurutnya, ayat-ayat Makiyah berisi ajaran Alquran yang esensial (ushul), yang di dalamnya terdapat nilai-nilai fundamental dan universal Islam, yakni keadilan, egaliter, toleransi, nilai dasar demokrasi, dan hak-hak asasi manusia. Adapun ayat-ayat Madaniyah merupakan ajaran Alquran yang furu’, yang berisi ajaran yang kurang toleran, kurang menimbang keadilan, bias gender dan kurang menghormati dan bertoleransi terhadap pluralisme agama.
Baca juga: Status Makkiyah dan Madaniyah Mushaf Standar Indonesia, Apakah Berbeda dengan Mushaf Lain?
Pemaknaannya terhadap ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah ini kemudian berimplikasi pada konsep nasakh. Menurutnya, selama ini para ulama dan pemikir muslim klasik telah keliru dalam memahami bahwa ayat-ayat Makiyah telah di-nasakh oleh ayat-ayat Madaniyah. Sebaliknya, dia memiliki penilaian yang 180 derajat berbeda, bahwa ayat Madaniyah-lah yang di-nasakh oleh ayat-ayat Mekah, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada perbedaan pesan yang dibawa serta watak universalitas antara keduanya.
Berbeda dengan jumhur ulama yang mempertimbangkan waktu penutupan ayat dalam menetapkan nasakh, Mahmûd Muḥammad Thahâ lebih mengedepankan aspek kebutuhan umat menghadapi tantangan zaman sebagai pertimbangan dalam menetapkan nasakh. Bisa saja ayat yang datang lebih awal yang me-nasakh ayat-ayat yang diturunkan lebih akhir.
Mahmûd Muḥammad Thahâ menganggap ayat-ayat Madaniyah hanya bersifat sementara. Sedangkan ayat yang bersifat sepanjang zaman adalah ayat Makiyah. Ayat-ayat Madaniyah hanya dianggap sebagai ayat pengganti sementara ketika umat Islam pada saat itu belum bisa menerapkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ayat Makiyah.
Baca juga: Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Tafsir Nuzuli Karya Quraish Shihab
Bisa dikatakan bahwa ajaran dalam ayat-ayat Makiyah dianggap terlalu maju untuk masyarakat Arab pada saat itu. Akibat ketidaksiapan mereka, Allah Swt. menunda penerapan ayat-ayat Makiyah, dan sebagai gantinya diturunkanlah ayat-ayat Madaniyah. (Muhammad Al-Fikri dan Ahamd Mustaniruddin, “Studi Kritis Terhadap Pemikiran Mahmud Muhammad Thaha tentang Konsep Nasakh Al-Qur’an”, Tajdid, Vol. 20, No. 2, 2021, 440-453)
Sejatinya, pemikiran-pemikiran apa pun dan dari tokoh mana pun layak diberi apresiasi, bahkan perlu dipertimbangkan selama pemikiran tersebut memiliki rujukan dan metodologi yang tepat. Mengenai ini, Mahmûd Muḥammad Thahâ tidak memiliki metodologi yang cukup kuat untuk merekonstruksi bangunan klasik teori Makiyah dan Madaniyah yang dibangun oleh ulama selama ini.
Selain itu, banyak ditemukan miskonsepsi yang dilakukan Mahmûd Muḥammad Thahâ mengenai pemikiran ulama terdahulu, salah satunya tentang kategorisasi Makiyah dan Madaniyah serta definisi mengenai nâsikh dan mansûkh. Sehingga, pada tahap pra-wacana sudah ditemukan cacat dalam pemikirannya
Terlepas dari hal tersebut, Mahmûd Muḥammad Thahâ telah memberikan kontribusi terhadap khazanah pemikiran keislaman, khususnya mengenai ulûm al-Qur’an dan Tafsir. Wallâhu a’lam.